BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam hukum Indonesia hukum kelurga mendapatkan perhatian tersendiri. Secara
substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum
keuarga dalam Islam. Sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam
sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. Dalam tujuannya, UU perkawinan
berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai
luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga
yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara
spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan
memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai
makhluk yang taat beragama. Dan secara material keluarga memberikan
kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga.
UU Perkawinan disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU
Perkawinan itu diberikan perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai
keluhurannya. Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan
kewajiban masing-masing anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan
dan hal-hal destruktif lainnya. Maka dalam makalah
ini penulis mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari
hukum kelurga islam ini.
- Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembaruan Hukum keluarga Islam Di
Idonesia
2. Apa latar
belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Apa latar
belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
- Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Pembaruan
Hukum
Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Pembaruan Hukum Keluarga Islam DI Indonesia
Dalam literatur
hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan”
silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi,
modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan
tajdid. Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah
kata reformasi, islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation” yang berarti membentuk atau
menyusun kembali. Tajdid mengandung
arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki
agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan dengan perbaikan atau
memperbaiki.
Maka
pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan
melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam
dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum
yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil lebih
segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi
al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan)[1].
Adapun
yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :
1.
Untuk
mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah
yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga
perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah yang belum ada aturan
hukumnya.
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang
yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat
hukum nasional.
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum
keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional
maupun tingkat nasional.
Pembaruan hukum
keluarga islam disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan
waktu sebagai akibat dari faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang
pembaru hukum keluarga islam di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam
perkembangan hukum keluarga islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan
Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul
Arifin dan pembaru lainnya[2].
Adapun fase-fase
pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut :
1. Sebelum
Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di
kalangan kaum muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk
perdamaian (hakam). Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia
adalah lembaga tahkim. Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa
al-‘aqd, dalam bentuk peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja
pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama
sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia
dapat dilihat dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang
menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam
harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem
Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di
Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah
hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC
mengeluarkanperaturan Resolutie der Indische Regeering (mengakui
keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan
memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi
aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam)[3].
2. Masa
Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku
Compedium Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan
waris menurut Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul
residen Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce
Rechtboek. Untuk Landraad (sekarang
Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri, begitu
juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808
yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri
perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan
berbagai pendapat yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat
bahwa hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa
diselesaikan di Pengadilan agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak
ditentukan lain oleh ordonansi.
Pada masa
kekuasaan Belanda, penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu;
pertama orang-orang eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa
berlaku BW dengan sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan
Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak
ada aturan khusus bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda
datang ke Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan
kedatangannya ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit
demi sedikit, dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat
terbatas. Begitu juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama
tidak digaji. Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun
lambat laun sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan
hingga yang berlaku hanya hukum adat[4].
3. Masa
Kemerdekaan
a.
Masa Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang
perkawinan pertama lahir pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah
UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini
diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954.
Keberadaan UU No. 22 tahun 1946 merupakan pengganti dari Huwelijks
Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse
Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun
1946 ada dua pasal, pertama, keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan
rujuk. Kedua, penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan,
perceraian dan rujuk[5].
Ada kebijaksanaan lain sebagai
penghargaan kepada muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946
tentang perpindahan Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen
Kehakiman dialihkan kepada Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama
dahulu pada Residen dan Bupati diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU
pertama yang berisi materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi
masyarakat telah lama menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita
yang sampai membicarakan di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada
RA.kartini dan Rohana kudus yang mengkritik perkawinan di bawah umur,
perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada juga kerjasama antara puteri
Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan Isteri dan Wanita Sejati di
Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang poligami dan pelacuran. Tahun 1931
Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu. Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan
Panasehat Pambinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang didorong karena praktek
perkawinan di bawah umur, talak semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab.
Sebagai respon positif tuntutan tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai
diajukan ke DPR dikarenakan DPR beku karena Dekrit 5 juli 1959.
b.
Masa Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada
masa orde baru (masa pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di
orde lama, pada tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal
1 ayat (3) bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan
1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU
kepada DPR Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam.
Kedua, RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat
persetujuan DPR (1 fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah
menarik RUU tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan
kembali RUU pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal
disahkan (DPR tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai
pandangan). Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya
pemerintah menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73
pasal[6].
RUU ini bertujuan:
- Memberikan
kepastian hukum bagi masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan
hanya bersifat judge made law.
- Melindungi
hak kaum wanita dan keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Di samping tuntutan-tuntutan
tersebut ada pulan tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat
isteri Jakarta, dan Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan
terhadap RUU Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah
hindia Belanda yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua,
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang
merupakan respon terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1
tahun 1974 merupakan kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun
1974 yang berlaku secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan
67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi
perubahan PP No. 10 tahun 1983. Tahun 1991
berhasil disusun KHI mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku
dengan Inpres No. 1 tahun 1991.
c.
Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde
baru bulan Mei 1998 yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH.
Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0.
10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :
- Menghendaki
PP dihapus dan membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama
konvensional.
- Setuju
PP dihapus dengan alasan poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur
Negara.
- PP
dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
- PP
dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara
berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
- golongan
mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat
menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah
Muhammadiyah seluruh Indonesia.
Selain itu ada usulan revisi isi UU
No. 1 tahun 1974 dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen
UU No.7 tahun 1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama[7].
Lahirnya
Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama membawa perubahan besar
terhadap kedudukan dan wewenang peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak
lagi dianggap sebagai “peradilan semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai
lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sama seperti lembaga peradilan
yang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
B.
Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang
sebelumnya telah dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang
melelahkan. Perjuangan dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU
Nomor 1 tahun 1974 disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU
perkawinan yang masuk dan dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan
Umat Islam (22 Mei 1967) dan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan
(7 September 1968). Namun kedua RUU tersebut tidak bisa diselesaikan
sebagaimana yang diharapkan karena tidak ada kata sepakat di antara anggota
Parlemen ketika itu sehingga Presiden menarik kembali kedua RUU tersebut pada
tanggal 31 Juli 1973.
Ketidaksepakatan anggota parlemen
tersebut lebih disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula
telah menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah
Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU
Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana
kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal
perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan
bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan
agama, adat, dan suku bangsa[8].
Sebagai respon atas kegagalan
diundangkannya dua RUU perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada
pemerintah untuk segera membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada
seluruh warga Indonesia. Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan
Sarjana Wanita Indonesia) dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita
Islam Indonesia)[9].
Pada tanggal 22 Desember 1973,
Pemerintah mengajukan kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR
kurang lebih selama tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada
sidang paripurna (tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan
sebagai UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1
Tahun 1974, Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.
Dari uraian di atas, kelihatan
sekali bahwa secara historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU
Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:
1. Kebutuhan Bersama
2. Semangat Nasionalisme (menjaga kebinnekaan)
3. Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4. Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
C.
Latar
Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor
1 Tahun 1991) hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan
harapan suatu saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang
lebih permanen. Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak
dan dibutuhkan, dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri
sejajar dengan badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7
tahun 1989, ternyata tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif)
secara nasional, sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara
pengadilan agama yang satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa,
disamping itu juga membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman
menjadi tidak terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
ada wacana agar menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1
jo pasal 20 UUD 1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki
berbentuk hukum positif yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya
benar-benar bersifat legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa jauhnya jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus
ditempuh, mulai dari menyusun draft RUU-nya sampai kepada pembahasannya di
Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor non teknis pun sangat sulit untuk
ditembus, seperti iklim politik yang kurang mendukung, serta faktor psikologis.
Memang satu segi secara konstitusional kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama
telah diakui semua pihak, namun di segi lain barangkali belum terpupus sikap
alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya Hukum
Perdata Islam dalam jangka waktu singkat, jika jalur yang ditempuh melalui
saluran formil perundang-undangan[10].
Menyikapi dan juga memperhatikan
kondisi tersebut, serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi
lain, maka dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung
saat itu untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk
Kompilasi, maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua
mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25
tahun 1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab
Hukum Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji
sedalam dan seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam
al-Quran dan Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian
dijadikan orientasi, bahkan juga sempat melakukan studi banding ke
berbagai negara-negara yang berbasis Islam[11].
Untuk melegalkan, maka direkayasalah
Kompilasi tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991.
Dan pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154
tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab
Kompilasi Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan
diterapkan oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam
penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan
kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan
benang merah sebagai gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI
tersebut antara lain:
1. Kekosongan Hukum
2. Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di
Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum
Islam, antara syariat dengan fiqh
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum Islam selalu mampu bergerak dan
berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat
dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip
ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat
pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan
berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena
nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok
saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah
yang dipenuhi oleh mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami
dan istri, serta anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya
aturan yang telah ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan
pada masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara
muslim di dunia untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk
perundang-undangan sehingga ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah
masyarakat adalah upaya yang sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata
undang-undang dan aturan yang dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan,
itu adalah suatu proses yang harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua
kalangan untuk mewujudkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Sofyan dan
Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
Usaha Nasional, 1994)
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009)
Wahid,
Abdurrahman,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990)
[1] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam
Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal. 152-153
[3] Khoiruddin
Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal 15-18
[5] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam
Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal. 3
[6] Khoiruddin
Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal 38-40
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam
Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal 10
[8] Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar
Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal.
122.
[11] Khoiruddin
Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal. 57-59
mantap sekali ridha maulana :)
BalasHapuscukup membantu syukron
BalasHapuscukup membantu syukron
BalasHapuscukup membantu syukron
BalasHapus