Minggu, 25 Januari 2015

Telaah Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu tentang Ukuran Mahar

Nama         : RIDHA MAULANA ( 111309719)
Jurusan      : Hukum Keluarga (SHK)
                                                                          

Telaah Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Karya Wahbah Az-Zuhayli
(Ukuran Standar Mahar)

A.      Biografi Pengarang Kitab
Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya untuk menuntut ilmu[1].
          Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
  1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956.
  2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957.
  3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.

            Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo
yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
        Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.
           Antara guru-gurunya ialah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
           Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat al-Muslimin.
           Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti. diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut:
  1. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.
  2. Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.
  3. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984
  4. Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq, 1986.
  5. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1991.
  6. Al-Islam wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
  7. DLL.

B.       Tentang Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (الإسلامي وأدلته الفقه  ) merupakan sebuah kitab fiqh agung zaman mutakhir ini, yang masyhur menjadi telaah para ulama dan rujukan di pusat-pusat pengajian Islam. Kitab yang dianggap sebagai sebuah ensiklopedia fiqh dan perundangan Islam ini adalah karya Dr. Wahbah al-Zuhaily - seorang ulama kontemporari yang terkenal di dunia Islam.
Kandungan kitab ini menyentuh keseluruhan aspek tentang fiqh yang bermula daripada persoalan taharah, ibadat, muamalat dan juga aspek-aspek undang-undang jinayah, wasiat, undang-undang keluarga, undang-undang kontrak dan lain-lain.
Pembahasan kitab ini menekankan metode fiqh perbandingan mazhab fiqh, khususnya empat mazhab Ahl al-Sunnah wa Jama’ah, iaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Namun begitu, terkadang Dr.  Wahbah al-Zuhaily ada menyebut juga madzhab lain seperti Imamiyah dari Syi’ah dan Ibadhiyah dari Khawarij. 
Antara keistimewaan kitab  ini ialah ia juga disertai dengan  pentarjihan hukum yang dilakukan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaily terhadap sesuatu masalah yang dibincangkan berdasarkan  yang  sumber hukum Islam, baik yang naqli maupun aqli yang didasarkan pada prinsip umum dan semangat tasyri’. Sejalan dengan sikap kritis dan praktis ummah, kemasyhuran kitab ini telah mengungguli kitab-kitab fiqh perbandingan karya ulama sebelumnya.
            Kitab ini telah mengharumkan nama Dr. Wahbah al-Zuhaili di peringkat internasional.  Kitab fiqh perbandingan ini memiliki pembahasan yang luas dengan bahasa yang jelas dan susunan yang sistematik.  Keterangannya disertai dengan dalil yang jelas dan rujukan yang lengkap serta penjelasan nilai hadis yang dikemukakan.  Pada saat ini kitab al-Fiqh Islami wa Adillatuhu telah mendominasi pengkajian fiqh perbandingan di berbagai institusi pengajian tinggi, dalam berbagai forum ilmiah fiqh dan pengajian serta menjadi rujukan utama para ulama fiqh kontemporari dalam kajian-kajian fiqh mereka.
Perbahasan kitab ini dimulakan dengan seluk-beluk fiqh Islam dan keistimewaannya, sejarah ringkas tokoh-tokoh mazhab, perspektif perbedaan ijtihad fiqh dalam Islam, dan seterusnya dimulakan dengan perbahasan thaharah, solat, sehinggalah kepada perbahasan yang lebih kompleks lainnya[2].

C.      Mengkritisi Permasalahan Standar Ukuran Mahar dalam Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan paling tinggi untuk mahar[3], karena tidak disebutkan di dalam syariat yang menunjukkan batasan yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah SWT :
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (Q.S An Nisa’ : 20)
Sebagian ulama berpendapat bahwa bunyi ayat “qinthar” (sejumlah harta berapa saja besarnya) menunjukkan atas bolehnya mengambil mahar yang tinggi.
Sedangkan mengenai standar yang paling rendah bagi mahar, maka para fuqaha’ saling berpendapat mengenai masalah ini, yang terbagi kepada tiga pendapat yaitu :
Mazhab Hanafi berpendapat, standar mahar yang paling rendah adalah 10 dirham, berdasarkan hadits :
ﻭﻋﻦﻋﻠﻰﺭﺿﻰﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﻞ:"ﻻﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻬﺮﺃﻗﻞﻣﻦﻋﺸﺮﺓﺩﺭﺍﻫﻢ" ﴿ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻂﻨﻰ ﴾
Artinya : “ Dari Ali ra., ia berkata : “Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham” (HR.Daruquthni)[4]
Hadist Ali ra. Ini menunjukkan bahwa maskawin minimal adalah 10 dirham, namun hadits ini mauquf dan dhaif dan tidak bisa melawan hadits-hadits shahih marfu’ yang tidak membatasi maskawin, bahkan sebagian ahli hadits menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu (maudhu’)[5].
Juga diqiyaskan kepada ukuran pencurian, yaitu yang membuat tangan si pencuri dipotong. Menurut mazhab ini ukuran pencurian satu dinar atau 10 dirham ini untuk menampakkan/menunjukkan posisi perempuan. Maka penetapan mahar dengan harta suami memiliki nilai kepentingan.
Sedangkan hadits :
حَدِيْدٍ مِنْ خَاتَمًا وَلَوْ اِلْتَمِسْ
Artinya: “carilah, walaupun sekadar cincin yang terbuat dari besi”(HR. Muttafaqun ‘Alaih)[6] (“potongan hadits, hadits lengkapnya akan pemakalah paparkan pada pendapat Mazhab Syafi’I”)
Mazhab ini menafsirkan hadits ini sebagai mahar yang dipercepat. Karena adat mereka adalah mempercepat penyerahan sebagian mahar sebelum melakukan hubungan badan, sebagaiman Sabda Nabi SAW :
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱﺭ ﺹ ﻋﺒﻪ ﻗﺎﻝ : اَنَّ عَلِيًّا رض لَمَّا تَزَوَّجَ فَاطِمَةَ اَرَادَ اَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَمَنَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص حَتَّى يُعْطِيَهَا شَيْئًا. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ لِيْ شَيْءٌ. فَقَالَ لَهُ: اَعْطِهَا دِرْعَكَ اْلحُطَمِيَّةَ، فَاَعْطَاهَا دِرْعَهُ، ثُمَّ دَخَلَ بِهَا
Artinya: “ Dari Ibnu Abbas ra. Berkata: “Bahwa sesungguhnya Ali ra. Setelah menikahi Fathimah ra., ketika ia ingin serumah dengannya lalu Rasulullah SAW mencegahnya sehingga Ali memberi sesuatu. Lalu Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “berikan baju besimu dari Huthamiyah itu kepadanya”. Maka Ali memberikan baju besi itu ke Fathimah, lalu ia serumah dengan Fathimah. (HR. Abu Daud)[7]
“Kedudukan Hadits ini Shahih Lighairihi”
Mazhab Maliki berpendapat[8], standar mahar yang paling rendah adalah seperempat dinar (1/4 dinar) atau tiga dirham perak murni yang sama sekali tidak mengandung kepalsuan. Atau dengan barang-barang yang suci dan terbebas dari najis yang sebanding dengan harganya yang berupa barang, hewan, atau bangunan yang bermanfaat menurut syariat. Maksudnya bisa dimanfaatkan bukan seperti peralatan hiburan. Juga mampu diserahkan kepada istri yang kadar, jenis dan macamnya jelas.
Dalil mazhab ini adalah mahar wajib diberikan di dalam perkawinan untuk menunjukkan harga diri dan posisi perempuan. Jika seorang laki-laki menikah dengan perempuan dengan mahar kurang dari standar ini, maka si suami harus menyempurnakan maharnya jika dia setubuhi istrinya tersebut. Jika dia tidak setubuhi istrinya, maka dikatakan kepadanya :  apakah kamu sempurnakah mahar atau kamu  batalkan akad(pernikahan).
Mazhab syafi’I dan Hambali berpendapat[9], tidak ada batasan terendah bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Oleh karena itu, sah apabila mahar adalah harta yang sedikit atau banyak. Batasannya adalah, semua yang sah untuk dijual atau yang memiliki nilai sah untuk dijadikan mahar. Dan yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa dijadikan mahar, selama tidak sampai pada batasan yang tidak bisa dinilai.
Maka jika dilakukan akad dengan sesuatu yang tidak bisa dinilai dan tidak bisa diterima dengan nilai, seperti biji dan batu kerikil maka penentuannya rusak, dan diwajibkan kepadanya untuk memberikan mahar mitsil.
Dalil yang digunakan mazhab ini adalah :
1.      Firman Allah SWT :
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian  (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S An Nisa’ : 24)
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” Syariat tidak memberikan batasan akan jumlah mahar oleh karena itu dijalankan sesuai dengan kemutlakannya dan kerelaan antara kedua belah pihak[10].

2.      Hadits yang telah disebutkan :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Artinya : “Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diri untukmu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, Kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sabagai mahar untuknya?”. Ia menjawab,”saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaian itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak mempunyai pakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al Quran?”. Ia menjawab, “Ya, surat ini dan ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al Quran itu”. (HR. Muttafaqun ‘alaihi)[11]
“Kedudukan Hadits ini Shahih Lidzhatihi”
Mazhab ini berpendapat, sabda nabi SAW, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Sebagai dalil bahwa tidak ada batasan minimal dalam mahar, karena jika ada batasannya, maka pasti Beliau jelaskan, karena tidak boleh menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan.


3.      Hadits :
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
 اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَ مَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَجَازَهُ
Artinya : “Dari  ‘Amir bin Rabi’ah bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang dinikahkan dengan (mahar) sepasang sandal, lalu rasulullah SAW bertanya, “Ridhakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang sandal?”. Ia menjawab, “ya”. Maka Rasulullah memperkenankannya. (HR. Tirmidzi)[12]
“Kedudukan Hadits ini Hasan Lidzhatihi”
عَنْ جَابِرٍ رضﻋﺒﻪ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى امْرَأَةً صَدَقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلاَلاً
Artinya : “Dari Jabir ra., Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Kalau seorang laki-laki memberikan mahar berupa makanan sepenuh dua telapak tangannya, maka halal lah wanita itu baginya”. (HR. Abu Daud)[13]

“Kedudukan Hadits ini Hasan, hadits ini diriwayatkan secara Marfu’“

4.      Sesungguhnya mahar adalah hak perempuan yang disyariatkan oleh Allah SWT untuk menunjukkan harga diri dan posisinya dan ukurannya sesuai keridhaan kedua belah pihak. Karena mahar adalah pengganti untuk mengauli perempuan, maka ukuran penganti yang diberikan kepadanya adalah seperti bayaran berbagai manfaatnya.
Ini adalah pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya diambil dari Al Qur’an dan Sunnah.

D.      Pandangan Pemakalah tentang Permasalahan dan Kitab
Menurut pemakalah batasan standar  untuk ukuran mahar tidak ada batasan maksimal maupun minimalnya, karena ukurannya itu diserahkan kepada kedua belah pihak mempelai, kedua pihak bebas menentukan ukuran mahar yang disepakati sesuai dengan kemampuan dan kerelaan. Sebagaimana firman Allah SWT :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS.An-Nisa’:4)

            Maka sah mahar dengan apapun yang mempunyai nilai materi, baik itu sedikit maupun banyak, dan pendapat pemakalah ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Syafi’I dan Hambali karena pendapat mazhab ini disandarkan kepada ayat Al Quran dan hadits yang lebih kuat daripada sandaran pendapat mazhab yang lain dalam permasalahan ini.
            Adapun rincian mengenai mahar yang diberikan Rasulullah SAW kepada istri-istrinya yaitu 12 uqiyah. 1 uqiyah = 40 dirham, maka 12 uqiyah adalah 12 x 40 = 480 dirham. Maka jika dirupiahkan 1 dirham = Rp 74.784,-. Maka 480 dirham jika dibulatkan sekitar Rp 35.700.000,-
Kelebihan Kitab
-          Menggunakan metode perbandingan Mazhab, sehingga mempermudah pembaca dalam membandingkan hukum berdasarkan pendapat mazhab terkemuka.
-          Adanya pentarjihan hukum yang dilakukan pengarang kitab.
-          Pembahasan yang sistematis.   
Kekurangan Kitab
-          Dalil yang digunakan tidak di cantumkan secara lengkap.
-          Tidak dicantumkan kedudukan/kualitas sebuah dalil sebagai rujukan suatu hukum.
-          Adanya kekeliruan dalam mencantumkan dalil sebagai rujukan suatu hukum.

Demikian paparan kritik pemakalah terhadap Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu dan pemakalah sudah berusaha memperbaiki segala kekurangan dalam kitab dengan paparan pemakalah pada poin ( C ), kalau masih terdapat kekurangan atau kekeliruan pemakalah mohon maaf atas hal tersebut.
Wassalamualaikum.Wr.Wb





DAFTAR PUSTAKA

Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud (jilid 1), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Albani, Muhammad  Nashiruddin, Shahih Sunan Tirmidzi (jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Amin, Syaikh Muhammad, Ad-Durrul Mukhtar (jilid 2),(Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003)
Az-Zuhaily, Wahbah, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007)
Hamka, Buya, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2006)
Manshur, Abdul Qadir, Fiqih Wanita(terj), (Jakarta: Zaman, 2009)
Mansyur, Majdi bin, Sunan Ad-Daruqhuthni(jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Nawawi, Imam, Syarh al-Muhazzab(jilid 2).
Syarhush Shaghir, jilid 2.
http://abusyahmin.blogspot.com/2013/06/al-fiqh-al-islami-wa-adillatuh_7458.html



























[1] Wahbah az-Zuhaily, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007)
[2] http://abusyahmin.blogspot.com/2013/06/al-fiqh-al-islami-wa-adillatuh_7458.html
               [3] Syaikh Muhammad Amin, Ad-Durrul Mukhtar(jilid 2), (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003)   hlm. 452
[4] Majdi bin Mansyur, Sunan Ad-Daruqhuthni(jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 313
[5] Abdul Qadir Manshur, Fiqih Wanita(terj), (Jakarta: Zaman, 2009), hlm.246
[6] Muhammad  Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Abu Daud (jilid 1), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 818
[7] Muhammad  Nashiruddin Albani, Shahih  Sunan Abu Daud (jilid 1), . . . . , hlm. 824
[8] Syarhush Shaghir, jilid 2, hlm. 428
[9] Imam Nawawi, Syarh al-Muhazzab(jilid 2), hlm 55
[10] Buya Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2006) hlm. 1161
[11] Muhammad  Nashiruddin Albani, Shahih  Sunan Abu Daud (jilid 1), . . . . , hlm. 818
[12] Muhammad  Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Tirmidzi (jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm.
[13] Muhammad  Nashiruddin Albani, Shahih  Sunan Abu Daud (jilid 1), . . . . , hlm. 819