Minggu, 23 November 2014

Makalah Sejarah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Dalam hukum Indonesia hukum kelurga mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan.            Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif lainnya. Maka dalam makalah ini penulis mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum kelurga islam ini.



  1. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Pembaruan Hukum keluarga Islam Di Idonesia
2. Apa latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Apa latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam

  1. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam







BAB II
PEMBAHASAN


A.       Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam DI Indonesia
Dalam literatur hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan” silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan tajdid. Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi, islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation” yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki.
            Maka pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan)[1].
            Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :
1.      Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
2.      Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya.
3.      Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4.      Pengaruh pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional.
Pembaruan hukum keluarga islam disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaru hukum keluarga islam di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya[2].
Adapun fase-fase pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut :
1.     Sebelum Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam). Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim. Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam)[3].

2.     Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek. Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium  tersendiri, begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa  hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda, penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit, dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji. Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang berlaku hanya hukum adat[4].

3.     Masa Kemerdekaan
a.      Masa Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun 1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama, keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk[5].
Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu. Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR beku karena Dekrit 5 juli 1959.

b.      Masa Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3) bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1 fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan). Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal[6]. RUU ini bertujuan:
  1. Memberikan kepastian hukum bagi masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge made law.
  2. Melindungi hak kaum wanita dan keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU Perkawinan  ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan  PP No. 10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun 1991.

c.       Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998 yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983,  mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :
  1. Menghendaki PP dihapus dan membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional.
  2. Setuju PP dihapus dengan alasan poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
  3. PP dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
  4. PP dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
  5. golongan mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah Muhammadiyah seluruh Indonesia.
Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun 1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama[7].
Lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan wewenang peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sama seperti lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.

B.       Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang sebelumnya telah dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang melelahkan. Perjuangan dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU Nomor 1 tahun 1974 disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU perkawinan yang masuk dan dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan Umat Islam (22 Mei 1967) dan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan (7 September 1968). Namun kedua RUU tersebut tidak bisa diselesaikan sebagaimana yang diharapkan karena tidak ada kata sepakat di antara anggota Parlemen ketika itu sehingga Presiden menarik kembali kedua RUU tersebut pada tanggal 31 Juli 1973.
Ketidaksepakatan anggota parlemen tersebut lebih disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula telah menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan agama, adat, dan suku bangsa[8].
Sebagai respon atas kegagalan diundangkannya dua RUU perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk segera membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia. Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia)[9].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Pemerintah mengajukan kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR kurang lebih selama tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada sidang paripurna (tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan sebagai UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa secara historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:
1.  Kebutuhan Bersama
2.  Semangat Nasionalisme (menjaga kebinnekaan)
3.  Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4.  Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam

C.       Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan harapan suatu saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang lebih permanen. Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak dan dibutuhkan, dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara nasional, sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara pengadilan agama yang satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping itu juga membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi tidak terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD 1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft RUU-nya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu singkat, jika jalur yang ditempuh melalui saluran formil perundang-undangan[10].
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut, serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi, maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian dijadikan orientasi,  bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai negara-negara yang berbasis Islam[11].
Untuk melegalkan, maka direkayasalah Kompilasi tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan benang merah sebagai gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:


1.  Kekosongan Hukum
2.  Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3.  Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum Islam, antara syariat dengan fiqh 




















BAB III
PENUTUP



  1. Kesimpulan

 Hukum Islam selalu mampu bergerak dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah yang dipenuhi oleh mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri, serta anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan pada masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara muslim di dunia untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk perundang-undangan sehingga ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat adalah upaya yang sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata undang-undang dan aturan yang dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan, itu adalah suatu proses yang harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua kalangan untuk mewujudkannya.


















DAFTAR PUSTAKA




Hasan, Sofyan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1994)
Manan, Abdul,  Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)      
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009)
Wahid, Abdurrahman,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990)




[1] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)      hal. 152-153
[2] Ibid. hal 180
[3] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal 15-18
[4] Ibid. hal. 18-23
[5] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)  hal. 3
[6] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal 38-40
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal 10
[8] Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 122.
[9] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006), hal. 4
[10] Abdurrahman Wahid,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990), hal.235
[11] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hal. 57-59

Makalah TARIKH TASYRI' Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dengan wafatnya nabi Muhammad SAW, berhentilah wahyu yang diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau berada di mekkah maupun di madinah. Demikian pula halnya dengan sunnah, berakhir pula denga meninggalnya Rasulullah. Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT tidak mungkin digantikan, tapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi sebagai kepala negara dan pemimpin umat islam ini disebut dengan khalifah.
Perkembangan Tasyri’ pada masa khalifah pertama yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq mengalami sedikit masalah dengan munculnya pemberontakan, orang murtad dan muncul beberapa masalah hukum  baru yang tidak terdapat dalam Nash Al Quran dan Hadist sehingga muncul metode penyelesaian masalah baru berupa ijtihad sahabat (Ijma’ dan Qiyas). Setelah Abu Bakar Wafat, tongkat kekhalifahan di pegang oleh Umar bin Khattab, Perkembangan Tasyri’ pada masa ini dipengaruhi oleh perluasan wilayah islam sehingga muncul bebagai masalah-masalah baru.
Maka pada makalah ini pemakalah ingin mencoba memaparkan perkembangan Tasyri’ pada masa khalifah Umar bi Khattab.

B.     Rumusan Masalah
1.        Riwayat Singkat Khalifah Umar Bin Khattab.
2.        Pengangkatan Khalifah Umar Bin Khattab.
3.        Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Umar Bin Khattab.
4.        Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab.
5.        Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab.

C.    Tujuan Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mengenal khalifah Umar Bin Khattab dan mengetahui perkembangan tasyri’ pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Khattab.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Riwayat Singkat Khalifah Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab (583-644 M) memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq[1]. Umar bin khattab lahir di Mekkah pada tahun 583 M, dua belas tahun lebih muda dari Rasulullah Umar juga termasuk kelurga dari keturunan Bani Suku Ady (Bani Ady). Suku yang sangat terpandang dan berkedudukan tinggi dikalangan orang-orang Qurais sebelum Islam. Umar memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, pemberani dan tidak mengenal gentar, pandai berkelahi, siapapun musuh yang berhadapan dengannya akan bertekuk lutut. Ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi dimasa yang akan datang, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih.
Umar bin Khatthab adalah salah satu sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi Muhammad SAW. Peranan umar dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol kerena perluasan wilayahnya, disamping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarahwan. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa jika tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Isalm belum tentu bisa berkembang seperti zaman sekarang.
            Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Dalam banyak hal Umar bin Khatthab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius. Beberapa keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan masyarakat Arab, sehingga kaum Qurais memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”[2].

B.     Pengangkatan Khalifah Umar Bin Khattab
Pada musim panas tahun 364 M Abu Bakar menderita sakit dan akhirnya wafat pada hari senin 21 Jumadil Akhir 13 H/22Agustus 634 M dalam usia 63 tahun. Sebelum beliau wafat telah menunjuk Umar bin Khatab sebagai penggantinya sebagai khalifah. Penunjukan ini berdasarkan pada kenangan beliau tentang pertentangan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan Ansor. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajal segera datang, akan timbul pertentangan dikalangan umat islam yang mungkin dapat lebih parah dari pada ketika Nabi wafat dahulu[3].
Dengan demikian, ada perbedaan antara prosedur pengangkatan Umar bin Khatab sebagai khalifah dengan khalifah sebelumnya yaitu Abu Bakar. Umar mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam system musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau watsiat oleh pendahulunya (Abu Bakar).
            Pada saat itu pula Umar di bai’at oleh kaum muslimin, dan secara langsung beliau diterima sebagai khalifah yang resmi yang akan menuntun umat Islam pada masa yang penuh dengan kemajuan dan akan siap membuka cakrawala di dunia muslim. Beliau diangkat sebagai khalifah pada tahun 13H/634M.

C.    Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Khalifah Umar Bin Khattab
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan islam pada jaman Umar. Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus. 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Ada beberapa perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Umar bin Khathab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama.


1.        Perkembangan Politik
Pada masa khalifah Umar bin khatab, kondisi politik islam dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu  segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Perluasan penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit tantangan yang dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan[4]. Kekuasaan Islam sampai ke Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masa Umar bin khatab mulai dirintis tata cara menata struktur pemerintahan yang bercorak desentralisasi. Mulai sejak masa Umar pemerintahan dikelola oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan propinsi.
Karena telah banyak daerah yang dikuasai Islam maka sangat membutuhkan penataan administrasi pemerintahan, maka khalifah Umar membentuk lembaga pengadilan, dimana kekuasaan seorang hakim (yudikatif) terlepas dari pengaruh badan pemerintahan (eksekutif). Adapun hakim yang ditunjuk oleh Umar adalah seorang yang mempunyai reputasi yang baik dan mempunyai integritas dan keperibadian yang luhur. Zaid ibn Tsabit ditetapkan sebagai Qadhi Madinah, Ka’bah ibn Sur al-Azdi sebagai Qadhi Basrah, Ubadah ibn Shamit sebagai Qadhi Palestina, Abdullah ibn mas’ud sebagai Qadhi kufah.
Pada masa Umar ibn Khatab juga mulai berkembang suatu lembaga formal yang disebut lembaga penerangan dan pembinaan hukum islam. Dimasa ini juga terbentuknya sistem atau badan kemiliteran.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab ekspansi Islam meliputi daerah Arabia, syiria, Mesir, dan Persia. Karena wilayah Islam bertambah luas maka Umar berusaha mengadakan penyusunan pemerintah Islam dan peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
2.        Perkembangan Ekonomi
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, dan setelah Khalifah Umar mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Pada masa ini juga mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijriah[5]. Dan menghapuskan zakat bagi para Mu’allaf. Ada beberapa kemajuan dibidang ekonomi antara lain :
a.  Al kharaj
Kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (Al kharaj).
b.  Ghanimah
Semua harta rampasan perang (Ghanimah), dimasukkan kedalam Baitul Maal Sebagai salah satu pemasukan negara untuk membantu rakyat. Ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola harta tersebut.
c.   Pemerataan zakat
Umar bin Khatab juga melakukan pemerataan terhadap rakyatnya dan meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang diperjinakan hatinya (al-muallafatu qulubuhum).
d.  Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak dan Syria serta Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan, baik yang menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang mengatur pemasukan dan pengeluaran[6].
3.        Perkembangan Pengetahuan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi kalau ada diantaa umat Islam yang ingin belajar hadis harus perdi ke Madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di Madinah. Dengan meluasnya wilayah Islam sampai keluar jazirah Arab, nampaknya khalifah memikirkan pendidikan Islam didaerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Untuk itu Umar bin Khatab memerintahkan para panglima perangnya, apabila mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka mendirikan Mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.
Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan ajaran Islam lainnya seperti fiqh kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar, karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam ini yang kemudian mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin keagamaan.
Dengan demikian  pelaksanaan pendidikan dimasa khalifah umar bin khatab lebih maju, sebab selama Umar memerintah Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, ini disebabkan, disamping telah ditetapkannya mesjid sebagai pusat pendidikan, juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam diberbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis dan pokok ilmu-ilmu lainnya.
4.        Perkembangan Sosial
Pada masa Khalifah Umar ibn Khatthab ahli al-dzimmah yaitu penduduk yang memeluk agama selain Islam dan berdiam diwilayah kekuasaan Islam. Al-dzimmah terdiri dari pemeluk Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka mendapat perhatian, pelayanan serta perlindungan pada masa Umar. Dengan membuat perjanjian, yang antara lain berbunyi ;
Keharusan orang-orang Nasrani menyiapkan akomodasi dan konsumsi bagi para tentara Muslim yang memasuki kota mereka, selama tiga hari berturut-turut.
Pada masa umar sangat memerhatikan keadaan sekitarnya, seperti kaum fakir, miskin dan anak yatim piatu, juga mendapat perhatian yang besar dari Umar ibn Khathab.
5.        Perkembangan Agama
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)  pertama terjadi ; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam[7].
Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Dalam kata lain. Islam pada zaman Umar semakin berkembang.
Jadi dapat disimpulkan, keadaan agama Islam pada masa Umar bin Khatthab sudah mulai kondusif, dikarenakan karena kepemimpinannya yang loyal, adil, dan bijaksana. Pada masa ini Islam mulai merambah ke dunia luar, yaitu dengan menaklukan negara-negara yang kuat, agar islam dapat tersebar kepenjuru dunia.

D.    Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Setelah Umar bin Khattab mengantikan Abu Bakar sebagai khalifah, beliau melanjutkan apa yang dicita-citakan Abu Bakar untuk menyebarkan islam ke berbagai wilayah. Umar pun mampu melaksanakannya dengan menguasai beberapa daerah seperti persia, syiria, kuffah, basrah, mesir dan armenia. Islam pun menyebar sehingga banyak orang mawalli (bukan orang arab) bnyak yang masuk islam dengan beraneka latar belakang kehidupan sosial budaya. Permaslahan baru pun muncul, tidak hanya menyangkut pada masalah kehidupan sosial tetapi juga berhubungan dengan pemerintahan dan ketahanan pangan. Harta rampasan perang yang seharusnya 1/5 untuk Allah dan Rasul Nya, dan 4/5 dihabiskan untuk pasukan perang , oleh beliau itu tidak dilaksanakan seperti yang sudah diatur pada masa rasul. Beliau berpandangan bahwa lebih maslahat jika tanah itu tetap dikelola oleh pemiliknya. Namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, temasuk untuk keperluan perang[8].
Disamping itu, berbagai persoalan banyak bermunculan setelah terjadinya penyebaran islam ke berbagai daerah yang memiliki sosio historis berbeda dengan bangsa arab. Ditambah lagi dengan munculnya persoalan sunnah nabi yang datang dari umat islam sendiri dan dari kelompok lain (munafiq). Dari dalam umat islam sendiri banyak hadist yang berubah karena faktor lupa dan keliru dalam menerima dan menyampaikannya. Sedangkan dari kelompok munafik, mereka sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam. Oleh karena itu pada masa Umar, para sahabat dilarang keluar dari madinah agar tidak menyebarkan hadist secara sembarangan dan dapat melakukan musyawarah dalam menghadapi persoalan hukum yang penting[9].
Adapun yang menjadi faktor-faktor perkembangan tasyri’ pada periode ini adalah :
       1.      Kebanyakan umat Islam adalah orang awam yang belum mampu memahami nas-nas Al quran dan hadist kecuali dengan bantuan orang-orang yang mengajarkan kepadanya.
      2.      Materi undang-undang tersebut belum tersebar luas dikalangan umat Islam sehingga setiap individu belum dapat mempelajarinya, sebab teks Al-Qur'an pada awal periode ini baru dihimpun dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah kediaman Rasulullah saw dan di rumah sebagian sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum dikodifikasikan sama sekali.
      3.      Materi undang-undang hanya mensyariatkan hukum-hukum tentang berbagai peristiwa dan urusan-urusan peradilan yang terjadi itu dan belum mensyariatkan hukum-hukum tentang peristiwa yang belum dan yang mungkin akan terjadi. Sementara umat Islam terus menerus akan dihadapkan oleh sejumlah kebutuhan hukum tentang kejadian baru serta urusan peradilan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi saw, dan ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan dalam nas-nas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka para ulama dari kalangan sahabat dan tokoh-tokoh pada periode ini berkewajiban menegakkan Tasyri’ itu. Kewajiban tersebut berupa:
      1.      Menjelaskan kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
      2.      Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
3.      Menfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang belum ada ketetapan hukumnya.
E.     Sumber-Sumber Tasyri Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
a.      Al-Quran
               Al- Qu’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan maknanya. Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-Qur’an, karena ini adalah sumber pertama bagi penentuan aqidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum- hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
  Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
  Jika ada masalah yang muncul dan memang sudah ada hukumnya serta kandungan dalil yang tepat maka mereka akan mengambil dalil ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka dalam masalah ini. Perbedaan terkadang muncul dalam beberpa hukum yang diambil dari Al-Qur’an walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memilki makna lebih dari satu, seperti adanya kata musytarak    ( beragam makna ) yaitu kata yang mengandung dua makna atau lebih, maupun kata yang  bermakna majaz ( kiasan ).
  Contoh kata quru’ dalam firman Allah QS : Al-Baqarah : 228
  Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
  Kata tersebut adalah bentuk jama’ dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan Haid dan bisa juga Suci.


b.      Al-Hadits
Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada Hadist dalam mengishtinbatkan hukum ketika tidak menemukan nash dalam Al- Qur’an, karena Hadist adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Adapun cara para sahabat dalam mengamalkan Hadist  pada zaman ini adalah jika ada hadist dan perwainya yakin karena ia mengetahuinya, atau karena perawinya bisa dipercaya atau ada yang memberi persaksian dan tidak diketahui dia sudah meninggal sebelum periwayatan, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu- ragu untuk menerima dan mengamalkan dan berfatwa dengannya.
Namun jika kepercayaan terhadap perawinya lemah apalagi ia hanya sendirian, maka inilah yang akan mereka tolak, termasuk ketika Hadistnya kuat dan perawinya terbukti. Namun, ada sahabat yang mengatakan bahwa itu sudah dimansukh oleh Rasulullah maka mereka tidak ragu untuk menolak hadist tersebut. Atau ketika ada Hadist yang kuat perawinya, namun ada dalil lain yang lebih kuat dan bertentangan dengan hal itu maka inipun akan ditolak. Semua sesuai dengan kondisi perawi dan cara penganbilan hadist atau ada yang menolaknya. Mungkin saja seorang sahabat menilai hadist ni kuat, namun sahabat lain menganggap hadist ini lemah sehinga mereka pun berbeda pendapat dalam menetapkan hukum dan sumber perbedaan berasal dari kepastian sebelah pihak dan tidak adanya kepercayaan dari pihak lain sesuai dengan apa yang didengar, diyakini dan dipahami dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan Hadist, atau dari Hadist yang lebih kuat menurut penilaiannya.
Contoh adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, siapa yang membawa jenazah, maka hendaklah ia berwudu’. Hadist ini tidak dapakai oleh Abdullah bin Abbas dan ia berkata, kita tidak wajib berwudu’ karena membawa tiang rumahnya.
c.       Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ra’yu / buah pemikiran mereka. ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru kemudian maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’i terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya metode sendiri-sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya / subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Mekkah dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi SAW, sbelum mengutusnya Nabi menanyainya,bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz pun menjawab aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.
Contoh Ijtihad Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
·         Tentang satu orang yang dibunuh oleh beberapa orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?” “Ya”, jawab Umar. Ali pun berkata:”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir / analogi terebut, maka umar menetapkan hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”.
·         Tentang Pencuri Dalam Masa Panceklik
Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri yang mencuri makanan di musim paceklik karena mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa) itu lebih didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia saat itu lebih dipentingakan daripada harta.
·         Bagian zakat orang muallaf
Terhadap orang muallaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi Muhammad muallaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mualalf umar berkata:”Sesungguhnya Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat/harta kepada orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.











BAB III
                                                                    PENUTUP                      




A.    Kesimpulan
Umar bin Khattab (583-644 M) memiliki nama lengkap Umar bin Khathab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, beliau adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Adapun kamajuan-kemajuan yang dicapai pada masa khalifah umar meliputi bidang sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama. Perkembangan tasyri’ pada masa khalifah Umar Bin Khattab menimbulkan berbagai permasalahan baru yang manyoritas disebabkan oleh peluasan wilayah islam yang semakin luas sehingga pemeluk agama islam bukan saja dari orang arab tapi juga orang mawalli (orang yang bukan bangsa arab)’ sehingga pada masa ini yang menjadi sumber tasyri’ adalah Al Quran, Hadist, dan Ijtihad Sahabat (ijma dan Qiyas).





















DAFTAR PUSTAKA


Agama, Departemen, Ensiklopedi Islam,( Jakarta : Departemen Agama, 1993), jilid ke III.
Haikal, Muhammad Husein, Umar bin Khatthab, sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan islam dan kedaulatannya dimasa itu, (Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002).
Mubarok, Jaih, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000).
Setiawan, Arif, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002).
Syaifuddin, Amir, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000) .
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008).




[1] Departemen Agama, Ensiklopedi Islam,( Jakarta : Departemen Agama, 1993), jilid ke III. Hal 1256
[2]  Arif Setiawan, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002). Hal 2
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 37
[4]  Arif Setiawan, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002). hal 4
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 38
[6] Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khatthab, sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan islam dan kedaulatannya dimasa itu, (Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002). Hal 45
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 37
[8] Amir Syaifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000) . hal 23
[9] Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000). Hal 55