Rabu, 20 Mei 2015

UNDANG UNDANG KEKERASAN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang Masalah
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.





BAB II
PEMBAHASAN

A.            Sejarah Terbentuknya  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tanggal  22  September  2004  bisa  jadi  merupakan  tanggal  bersejarah  bagi  kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan  isu  perempuan,  yakni  upaya  pencegahan  dan  penghapusan  kekerasan  dalam  rumah tangga   akhirnya   membuahkan   hasil.   Pemerintah   dan   DPR   RI   akhirnya   sepakat   untuk mengesahkan  Undang-undang  No.  23  Tahun  2004  tentang  Penghapusan  Kekerasan  Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan undang-undang PKDRT.  
Kelahiran Undang-undang No. 23 Tahun 2004 ini dipelopori oleh sejumlah LSM / Ormas Perempuan yang tergabung dalam Jangkar ( 1998-1999). LSM ini terdiri dari LBH APIK Jakarta (Sebagai  penggagas  dan  pembuat  draft  awal  sejak  tahun  1997),  Rifka  An-Nisa,  Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Fatayat dan Muslimat NU, Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta dan  Derapwarapsari.  Selanjutnya  ketika  melebur  menjadi  jangka  PKTP  (  Jaringan  Advokasi Kebijakan   Penghapusan   Kekerasan   Terhadap   Perempuan   )   (2000-2004),   anggota   jaringan semakin  bertambah  menjadi  92  LSM/Ormas  Perempuan,  lembaga-lembaga  Profesional  seperti lembaga advokat juga turut terlibat dalam mengadvokasikan undang-undang PKDRT ini[1].
Pada  tahun  2001,  Rencana  Aksi  Nasional  untuk  Penghapusan  Kekerasan  Terhadap Perempuan  (RAN-PKTP)  dicanangkan  oleh  Kementerian  Pemberdayaan  Perempuan.  Dan  pada tahun  2002,  ditandatangani   sebuah  Surat  Kesepakatan  Bersama  (  SKB  )   antara  Menteri Pemberdayaan  Perempuan  RI,  Menteri  Kesehatan  RI  dan  Kepala  Kepolisian  Negara  Republik Indonesia.  Kesepakatan  ini  menyangkut  pelayanan  terpadu  bagi  korban  kekerasan  terhadap perempuan dan anak-anak  yang dilaksanakan  bersama dalam  bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.
Di  tingkat  daerah,  Gubernur  Provinsi  Bengkulu  mengeluarkan  Surat  Keputusan  (  SK  ) No.  751  tahun  2003  tentang  pembentukan  tim  penanganan  terpadu  bagi  perempuan  dan  anak korban kekerasan. SK tersebut ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003. Ini pada  intinya membentuk   tim   penanganan   terpadu   bagi   perempuan   dan   anak   korban   kekerasan   yang mempunyai  cakupan  kerja  di  bidang  pencegahan,  penanganan  dan  pemulihan,  serta  pendidikan dan  advokasi.  Tim   ini  beranggotakan  wakil-wakil  dari  lingkungan  pemerintah,  LSM  dan Lembaga Professional lainnya.
Di   tingkat   regional,   Menteri   Luar   Negeri   Negara-negara   ASEAN   menandatangani Deklarasi  Penghapusan  Kekerasan  Terhadap  Perempuan,  di  Jakarta  pada  tanggal  13  Juni  2004. Deklarasi  ini  berisi  dorongan  kerjasama  regional  dalam  mengumpulkan  dan  mendeseminasikan data   untuk   memerangi   kekerasan   terhadap   perempuan.   Promosi   pendekatan   holistik   dan terintegrasi  dalam  mengeliminasi  kekerasan  terhadap  perempuan,  dorongan  untuk  melakukan pengarusutamaan   gender,   dan   membuat   serta   mengubah   undang-undang   domestik   untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Adapun  yang  menjadi  gagasan  dan  latar  belakang  pentingnya  pembentukan  sebuah undang-undang  PKDRT  didasarkan  atas  pengalaman  para  perempuan  korban  kekerasan  yang terjadi  di  ranah  domestik,  rumah  tangga  ataupun  keluarga.  Kekerasan  dalam  rumah  tangga semakin  menunjukkan  peningkatan  yang  signifikan  dari  hari  kehari,  baik  kekerasan  dalam bentuk  fisik,  psikologis,  maupun  kekerasan  seksual  dan  kekerasan  ekonomi.  Bentuk-bentuk kekerasan  tersebut  sudah  menjurus  dalam  bentuk  tindak  pidana  penganiayaan  dan  ancaman kepada korban, yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.
Berdasarkan  catatan  tahunan  tentang  kekerasan  terhadap  perempuan  yang  disampaikan oleh  Komnas  Perempuan,  tercatat  angka  kekerasan  terhadap  perempuan  mulai  dari  tahun  2001 hingga 2004 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2001 tercatat 3.160 kasus dan  pada  tahun  2002  meningkat  menjadi  5.163  kasus,  tahun  2003  meningkat  menjadi  7.787 kasus, dan tahun 2004 mengalami peningkatan hampir seratus persen menjadi 13.968 kasus, dari jumlah 13.968 kasus ini, 4.310 kasus terjadi di dalam rumah tangga.
Tahun   2002,   RUU   diajukan   ke   komisi   VII   DPR   RI   dan   diseminarkan   di   DPR. Perkembangan  penting  itu  muncul  setelah  Rapat  Paripurna  DPR  lalu  memutuskan  membahas RUU  KDRT  ke  dalam  bamus  DPR.  Puncaknya  pada  tanggal  13  Mei  2003,  melalui  sidang paripurna di DPR, RUU Anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi RUU Inisiatif DPR[2].
Meskipun  bermula  dari  desakan  aktivis  perempuan,  selanjutnya  menjadi  penting  untuk dipahmi  oleh  berbagai  kalangan  di  negeri  ini  bahwa  legislasi  RUU  Anti  KDRT  merupakan keharusan   bagi   Indonesia   sebagai   Negara   yang   telah   meratifikasi   beberapa   konvensi Internasional  tentang  perempuan,  terutama  setelah  disetujuinya  konvensi  tentang  Penghapusan Segala  Bentuk  Diskriminasi  Terhadap  Perempuan  tahun  1979,  yang  diratifikasi  oleh  Undang-undang No. 7 Tahun 1984 dan bukan karena desakan aktivis perempuan.

Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia harus melakukan :
1.  Pembentuk  hukum  dan  atau  harmonisasi  hukum  sesuai  kaidah  hukum  yang  terdapat  dalam konvensi   tersebut.   Kewajiban   ini dilakukan dengan   mengkaji   peraturan   perundang   – undangan  atau  membuat  peraturan  perundangan  baru  berdasarkan  konvensi  yang  telah diratifikasi.
2.  Penegakan  hukum  mengenai  hak-  hak perempuan  melalui  pengadilan  nasional  dan  lembaga                 pemerintah lainnya.
Pembahasan RUU anti KDRT di DPR ( Pansus Komisi VII ) yang mulai pada tanggal 22 Agustus 2004 berlangsung cepat ( tidak sampai 1 bulan),  namun cukup alot. Khususnya karena penolakan  beberapa  anggota  dewan  terhadap  terobosan  hukum  yang  menjadi  dasar  munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/ jenis KDRT yang mencakup marital rape ( perkosaan dalam perkawinan),  hukum  acara  tentang  pembuktian  dan  peran  –  peran  aparat.  Pemerintah  juga mempunyai  versi  tandingan  mengenai  draft    RUU  KDRT,  namun  draft  tersebut  dianggap mengecewakan, bisa dikatakan hampir memangkas semua hal- hal krusial yang menjadi ruh dari RUU  tersebut.  Alsannya  karena  semua  usulan  baru  dalam  RUU  pada  dasarnya  sudah  diatur dalam  KUHP/  KUHAP.  Beberapa  catatan  dari  RUU  versi  pemerintah,  yang  tidak  responsive antara lain :
1.  Judul dan keseluruhan pengaturan undang-undang, terbatas hanya mengatur soal perlindungan terhadap korban. Judul RUU sandingan pemerintah adalah RUU perlindungan korban KDRT. 
2.  Tidak  mengakui  dua  bentuk  kekerasan  :  kekerasan  ekonomi  dan  kekerasan  seksual  yang terjadi dalam lingkup perkawinan ( diskualifikasi terhadap marital rape dan inses ). 
3.  Mengembalikan  hampir  semua  terobosan  hukum  acara  pada  KUHAP,  seperti      “  satu  saksi adalah saksi “.
4.  Tidak menerima ketentuan tentang kompensasi dan saksi alternative[3].
Meskipun  demikian,  upaya   loby  ke  pemerintah  untuk   memperbaiki  draftnya  terus dilakukan  secara  intensif  melalui  forum  pertemuan  (Posko  Informasi  )  yang  diselenggarakan  di rumah  Menteri  Pemberdayaan  Perempuan.  Pada  akhirnya  berjalan  efektif  dalam  menjembatani perbedaan pendapat antara kelompok perempuan dan pemerintah.
Setelah  melalui  sidang  pleno,  RUU  KDRT  tersebut  dilanjutkan  ke  sidang  paripurna melalui  pendapat  dari  berbagai  fraksi dalam  rangka  memutuskan  apakah  DPR  menolak  atau mengesahkan RUU KDRT menjadi Undang-undang.

B.      Dasar Dan Tujuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
 1. Dasar dari Undang-undang PKDRT adalah :
a.Penghormatan Terhadap HAM.
b.Keadilan dan kesetaraan gender.
c.Non Diskriminasi, dan
d.Perlindungan Korban.
 2. Sedangkan tujuan UU PKDRT ialah :
a.Mencegah segala bentuk KDRT.
b.Melindungi Korban KDRT.
c.Menindak Pelaku KDRT.
d.Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera[4].








C.            ISI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.                 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.                 bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c.                 bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan system hokum di Indonesia belum menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
d.                 bahwa berdasarkan pertimbangan seba¬gaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :   Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal  28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.     Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.
2.     Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3.     Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
4.     Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5.     Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6.     Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7.     Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.     suami, isteri, dan anak;
b.     orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud  ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.     orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

BAB II
ASAS DAN TUJ UAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a.     penghormatan hak asasi manusia;
b.     keadilan dan kesetaraan gender;
c.     nondiskriminasi; dan
d.     perlindungan korban

Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a.     mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b.     melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c.     menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.     memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.     kekerasan fisik;
b.     kekerasan psikis;
c.     kekerasan seksual; atau
d.     penelantaran rumah tangga

Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang  mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang  mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.     pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.    pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/at
c.     a
d.    u tujuan tertentu.

Pasal 9
1.     Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2.     Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang  mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a.     perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga  sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah  perlindungan dari pengadilan;
b.     pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.     penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.     pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses  pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.     pelayanan bimbingan rohani.

BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1)     Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
a.     merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b.     menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam  rumah tangga;
c.     menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah  tangga; dan
d.     menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkari standar dan akreditasi pelayanan yang  sensitif gender.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakah oleh menteri.
(3)     Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat mei kukan upaya:
a.     penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b.     penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.     pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.     memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.


Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a.     mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.     memberikan perlindungan kepada korban;
c.     memberikan pertolongan darurat; dan
d.     membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
1.     Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
2.     Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
3.     Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
a.     identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b.     kekerasan dalam rumah tangga adaiah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c.     kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:
a.     memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b.     membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a.     melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
b.     memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
c.     mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d.     melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2)     Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
a.     menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b.     mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c.     mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d.     memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a.     memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b.     mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c.     melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1)     Korban berhak melaporkan secara Iangsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian balk di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
(2)     Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban clan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
a.     korban atau keluarga korban;
b.     teman korban;
c.     kepolisian;
d.     relawan pendamping; atau
e.     pembimbing rohani
Pasal 30
1.     Permohonan perintah perlindungai disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
2.     Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohorian tersebut.
3.     Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya.Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
a.     menetapkan suatu kondisi khusus;
b.     mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pewpajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
1.     Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
2.     Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
3.     Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.

Pasal 33
1.     Pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan perintah perlindungan.
2.     Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
1.     Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
2.     Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
1.     Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
2.     Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
3.     Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
1.     Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
2.     Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
1.     Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
2.     Dalam hal pengadilan mendapatka: aporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
3.     Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
1.     Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
2.     Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
3.     Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a.     tenaga kesehatan;
b.     pekerja sosial;
c.     relawan pendamping; dan/atau
d.     pembimbing rohani.
Pasal 40
1.     Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
2.     Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeienggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
1.     Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2.     Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3.     Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4.     Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
1.     Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2.     Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
a.     menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.     menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a.     pembatasan gerak pelaku balk yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b.     penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
                    pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95.


BAB III
PENUTUP

Dari uraian-uraian pada pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.  KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2.  KDRT dapat berdampak pada korban, yang mayoritas korbannya ialah kaum perempuan,   anak, dan masyarakat lainnya.
3.  Ketentuan pidana untuk pelaku KDRT dapat dikenakan ancaman penjara maupun denda,     sesuai dengan kekerasan yang dilakukan terhadap korban.






















DAFTAR PUSTAKA

Nursyahid, Lima Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia & Pengadilan Anak, ( Jakarta : BP. Panca Usaha, 2007)
Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk  Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, (Jakarta: LBH-APIK, 2005)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004








[1] Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk  Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, (Jakarta: LBH-APIK, 2005) hal. 3.
[2] Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga . . .  hal. 5.
[3] Ibid
[4] Nursyahid, Lima Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia & Pengadilan Anak, ( Jakarta : BP. Panca Usaha, 2007), hal 34