Selasa, 21 April 2015

NORMA HUKUM DALAM NEGARA

NAMA                         : RIDHA MAULANA
NIM                             : 111309719
FAK/JUR                    : SYARI’AH DAN HUKUM/HUKUM KELUARGA
MATA KULIAH          : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

NORMA HUKUM DALAM NEGARA

A.       Hierarki Norma Hukum
(Stufentheorie – Hans Kelsen)
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie). Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed [1].
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relative, oleh karena msa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma hukum yang ada diatasnya.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya [2].



B.       Hierarki Norma Hukum Negara
(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans Nawiasky)
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
            Kelompok I      :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
            Kelompok II     :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
            Kelompok III    :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
            Kelompok IV   :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).[3]
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen  dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.  Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2.  Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan
3.  Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah  hingga Keputusan Bupati atau Walikota.[4]

C.       Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) 
Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum Negara adalah “staatsfundamentalnorm”. Istilah staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama ( 10 November 1995) dengan Pokok kaidah fundamental Negara kemudian joeniarto, dalam bukunya yang berjudul ‘ sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia ‘ menyebutnya dengan istilah norma pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan istilah ‘staatsfundamentalnorm’ ini dengan ‘ Norma Fundamental Negara’.
Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ atau ‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan merupakan norma yang tertinggi.
Menurut hans Nawisky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara (staatsfundamentalnorm),termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form einer politischen einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.
Selain hal itu norma dasar (grundnorm atau disebut juga ursprungsnorm atau urnorm) sebagaimana yang disebutkan bersifat ‘pre-supposed’ dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya.
Di dalam suatu Negara norma dasar ini disebut juga staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm suatu Negara merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan Negara lebih lanjut [5].
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang norma hukum (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) dari hans nawiasky.
Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis–lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’.
Perbedaanya adalah 1) hans kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan hans nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang berlainan. Perbedaan lainya adalah 2) teori hans kelsen membahas jenjang norma secaraumum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma ( termasuk norma hukum Negara), sedangkan hans nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu dihubungkan dengan suatu Negara.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, 3)di dalam teorinya hans nawiasky menyebutkan norma dasar Negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan dengan istilah staatsfundamentalnorm. Hans nawiasky berpendapat bahwa istilah staatsgrundnorm tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut norma dasar Negara, oleh karena pengertian grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Pendapat nawiasky ini dinyatakan sebagai berikut :
Norma tertinggi dalam Negara sebaiknya tidak disebut staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm, norma fundamental Negara. Pertimbangannya adalah karena grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu Negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, coup d’etat, putsch, Anschluss dan sebagainya[6].

D.       Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Staatsgrundgesetz)
            Aturan dasar negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari aturan dasar Negara/aturan pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.
Menurut hans nawiasky, suatu dasar Negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen Negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubungan antara lembaga-lembaga Negara, serta mengatur Negara dengan warga negaranya, atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanva pemerintahan, karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, menurut Thomas Paine:
A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and a government without a constitution is power without right”.
Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.
Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam Batang  Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang  (formell gesetz) atau aturan yang lebih rendah[7].
Dalam Penjelasan Umum Angka IV UUD 1945 menyebutkan :
Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagai Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat,mengubah dan mencabut.”
Dengan demikian jelaslah bahwa Batang  Tubuh UUD 1945 merupakan aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu Undang-Undang (formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.
Aturan dasar Negara/aturan  pokok Negara yang lainnya adalah aturan-aturan yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan garis-garis besar haluan Negara. Ketetapan ini juga masih merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan ketetapan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta belum disertai norma sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam pembrentukan peraturan perundang-undangan walau hanya secara material.
Selain Batang  Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR, masih dikenal pula adanya Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu Konvensi Ketatanegaraan yang merupakan hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya hukum dasar tidak tertulis di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Angka I UUD 1945 yang berbunyi :
Undang-Undang Dasar satu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dari praktek penelenggara Negara meskipun tidak tertulis”
Contoh dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya kebiasaaan penyelengaraan pidato kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus.

E.        UNDANG-UNDANG “FORMAL”
(formell Gesetz).
            Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) adalah formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-Undang ‘formal’. Norma dasar Negara yaitu norma-norma dalam suatu Undang-Undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan rinci, serta sudah dapat lansung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu undang-undang (wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena itu suatu undang-undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.[8]
Di Indonesia istilah formell Gesetz atau formell wetten ini sayogjanya diartikan dengan undang-undang saja tampa menambah kata formal dibelakangnya. Oleh karena itu apabila formell gesetz diartikan Undang-Undang formal, hal itu tidak sesuai dengan penyebutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat langsung setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud dengan UU dalam arti luas adalah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai tingkat yang rendah yang isinya mengikat setiap penduduk.
Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Naskah hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act, karena dalam proses pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.
F.        Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan Otonom
(Verordnung & Autonome Satzung)
            Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet (Undang-Undang dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga pemerintahan/Negara. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.
Contohnya :
1.    Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) member kewenangan kepada presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
2.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 136 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah dengan sanksi pidana setinggi-tingginya 6 (enam) bulan kurungan dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Delegasi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perunang-undangan yang lebih rendah., baik pelimpahan dilakukan dengan tegas atau tindakan.
Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Contohnya :
1.    Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.”
2.    Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merumuskan,” untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepada Daerah menetapkan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010. Ilmu Perundang-Undangan.Yogyakarta: Kanisius.
Jimly Asshiddiqie, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.






[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta, Kanisius, 2010), hal 41
[2] Ibid, hal 42
[3]  Ibid. hal 44-45
[4] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,  2006), hal. 171.
[5] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, . . . . , Hal 45-47
[6] Ibid. Hal 48
[7] Ibid. Hal 49
[8] Ibid. Hal 52

Senin, 20 April 2015

Dasar – Dasar / Prinsip-prinsip Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).
Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".











BAB II
PEMBAHASAN


A.  Dasar – Dasar / Prinsip-prinsip Perkawinan
1.   menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974
BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
                                                                        Pasal 2                            
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Maka dasar-dasar/Prinsip-prinsip perkawinan menurut UU nomor 1 tahun 1974 adalah :
1.   Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2.    Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3.   Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
4.   Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5.   Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
6.   Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
2.   Menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
                                                                        Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.        
                        Pasal 5
a.  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b.  Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
                                                                        Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
                                                                        Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
    (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
   (b) Hilangnya Akta Nikah;
   (c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
   (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
   (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
        menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
                                    Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.
                                                                        Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.
                                                                        Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.

Ada beberapa prinsip pernikahan menurut ajaran Islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia dalam melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.
Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam itu:
1.      Memenuhi dan Melaksanakan Perintah Agama.
Perkawinan adalah Sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.
2.      Kerelaan dan Persetujuan.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan ialah “Ikhtiyar” (tidak dipaksa) yang ditandai dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka. Untuk kesempurnaan itulah perlu adanyaKhithbah atau peminangan yang merupakan salah satu langkah sebelum mereka melangsungkan perkawinan, sehingga semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.
3.      Perkawinan untuk Selamanya.
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
Karena prinsip perkawinan dalam Islam itu untuk selamanya, bukan untuk suatu masa tertentu saja, maka Islam tidak membenarkan:
Ø  Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, seperti ucapan wali: “Aku nikahkan engkau dengan anak saya Maimunah dengan mahar Mushaf Al-Qur’an untuk selama 3 bulan atau 1 tahun”, dan sebagainya.

Ø  Nikah Mut’ah. Nikah mut’ah hukumnya haram. Nikah mut’ah disebut juga “Ziwaj Muwaqqat” atau “Ziwaj Munqathi”, artinya nikah yang ditentukan untuk suatu waktu tertentu dengan maksud untuk dapat bersenang-senang melepaskan keperluan syahwatnya. Perkawinan mut’ah pernah dibolehkan dalam keadaan darurat, yakni pada waktu peperangan Autas, dan pembukaan kota Mekah, di mana pada waktu itu tentara Islam telah lama pisah dengan keluarga, agar mereka tidak melakukan perbuatan terlarang, maka diizinkan oleh Nabi melakukan nikah Mut’ah. Kemudian Nabi melarang untuk selama-lamanya. Hal itu dapat diikuti dari hadits:
Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya."

Ø  Nikah Muhallil. Nikah Muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap wanita yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah selesai iddahnya. Oleh suami kedua, wanita itu dikumpuli dan dicerainya agar dapat kawin lagi dengan suami pertama. Jadi dalam nikah muhallil itu ada unsur perencanaan dan niat bukan untuk selamanya. Hukum perkawinan itu haram dan akibatnya tidak sah. Bahkan perkawinan muhallil ini dilaknat oleh Allah SWT dan Rasulullah, sebagaimana sabdanya :
عن ابي هريرة أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: لعن الله المحلّل والمحلّل له (روه أحمد)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah melaknati orang yang menghalalkan (muhallil) dan orang yang dihalalkan baginya (muhallalah)”.

4.       Monogami dan Poligami.
Monogami artinya seseorang kawin dengan satu istri, sedang polygami artinya seorang laki-laki kawin dengan lebih dari satu istri. Sebaliknya seorang wanita yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut “polyandri”.
Islam membolehkan kawin poligami, tetapi membatasi jumlahnya tidak lebih dari empat dan dengan syarat harus berlaku adil. Kalau sekiranya khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hanya satu istri saja, yang disebut monogami. Mengenai peraturan polygami ini disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 3.
Prinsip polygami dan monogami adalah sebagai berikut:
Ø  Dalam Islam dilarang hubungan seksual di luar perkawinan, dengan larangan yang nyata.
Ø  Dalam Islam diwajibkan orang bertindak adil dan bertanggung jawab.
Ø  Dalam membolehkan poligami, Islam mensyaratkan keadilan dan tanggung jawab supaya dipenuhi. Sementara itu, apabila faktor-faktor yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan dengan istri yang pertama belum terpenuhi, misalnya tidak mendapat keturunan, hubungan seksual yang tidak seimbang, dan sebagainya, maka polygami boleh dilakukan.
Ø  Tidak tercapainya tujuan berkeluarga merupakan persoalan keluarga. Dalam mengatasi persoalan keluarga tersebut, Islam menggariskan adanya musyawarah antara suami istri. Termasuk dalam polygami pun hendaknya dilakukan atas dasar musyawarah dengan istri yang pertama.
Ø  Kalau suami tidak bertanggung jawab dan tidak akan berlaku adil, maka hendaknya melaksanakan monogami.

5.      Suami Sebagai Penanggung Jawab Umum dalam Rumah Tangga.
Sekalipun suami istri masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang telah ditentukan, namun menurut ketentuan hukum Islam, suami mempunyai kedudukan lebih dari istri, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnyalah pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga. Disamping itu, pada umumnya laki-laki dikaruniai jasmani lebih kuat dan lebih lincah serta lebih cenderung banyak menggunakan pikiran daripada perasaan.  

Maka kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.





















BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan
Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan Perkawinan menurut KHI adalah yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya perkawinan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya perkawinan tersebut. Dan kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.














DAFTAR PUSTAKA

Tim Citra Umbara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2011).

Hilman Hadikusuma,  Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju. 2003)