Nama : RIDHA MAULANA (
111309719)
Jurusan : Hukum Keluarga (SHK)
Telaah Kitab
Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Karya Wahbah
Az-Zuhayli
(Ukuran
Standar Mahar)
A.
Biografi Pengarang Kitab
Wahbah
az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun,
Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang
merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz
al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya untuk
menuntut ilmu[1].
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat
menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga
pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia
masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di
Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh
tiga Ijazah antara lain :
- Ijazah
B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956.
- Ijazah
Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada
tahun 1957.
- Ijazah
B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.
Antara guru-gurunya ialah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat al-Muslimin.
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti. diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut:
- Atsar
al-Harb fi al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq,
1963.
- Al-Alaqat
al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.
- Al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984
- Usul
al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq, 1986.
- al-Tafsir
al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar
al-Fikr, Damsyiq, 1991.
- Al-Islam
wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
- DLL.
B.
Tentang Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Kitab
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (الإسلامي وأدلته الفقه )
merupakan sebuah kitab fiqh agung zaman mutakhir ini, yang masyhur menjadi
telaah para ulama dan rujukan di pusat-pusat pengajian Islam. Kitab yang
dianggap sebagai sebuah ensiklopedia fiqh dan perundangan Islam ini adalah
karya Dr. Wahbah al-Zuhaily - seorang ulama kontemporari yang terkenal di dunia
Islam.
Kandungan
kitab ini menyentuh keseluruhan aspek tentang fiqh yang bermula daripada
persoalan taharah, ibadat, muamalat dan juga aspek-aspek undang-undang jinayah,
wasiat, undang-undang keluarga, undang-undang kontrak dan lain-lain.
Pembahasan
kitab ini menekankan metode fiqh perbandingan mazhab fiqh, khususnya empat mazhab Ahl al-Sunnah wa Jama’ah, iaitu
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Namun begitu, terkadang Dr. Wahbah al-Zuhaily ada menyebut juga madzhab
lain seperti Imamiyah dari Syi’ah dan Ibadhiyah dari Khawarij.
Antara
keistimewaan kitab ini ialah ia juga
disertai dengan pentarjihan hukum yang
dilakukan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaily terhadap sesuatu masalah yang dibincangkan
berdasarkan yang sumber hukum Islam, baik yang naqli maupun
aqli yang didasarkan pada prinsip umum dan semangat tasyri’. Sejalan dengan
sikap kritis dan praktis ummah, kemasyhuran kitab ini telah mengungguli
kitab-kitab fiqh perbandingan karya ulama sebelumnya.
Kitab ini telah mengharumkan nama Dr. Wahbah al-Zuhaili di peringkat internasional. Kitab fiqh perbandingan ini memiliki pembahasan yang luas dengan bahasa yang jelas dan susunan yang sistematik. Keterangannya disertai dengan dalil yang jelas dan rujukan yang lengkap serta penjelasan nilai hadis yang dikemukakan. Pada saat ini kitab al-Fiqh Islami wa Adillatuhu telah mendominasi pengkajian fiqh perbandingan di berbagai institusi pengajian tinggi, dalam berbagai forum ilmiah fiqh dan pengajian serta menjadi rujukan utama para ulama fiqh kontemporari dalam kajian-kajian fiqh mereka.
Kitab ini telah mengharumkan nama Dr. Wahbah al-Zuhaili di peringkat internasional. Kitab fiqh perbandingan ini memiliki pembahasan yang luas dengan bahasa yang jelas dan susunan yang sistematik. Keterangannya disertai dengan dalil yang jelas dan rujukan yang lengkap serta penjelasan nilai hadis yang dikemukakan. Pada saat ini kitab al-Fiqh Islami wa Adillatuhu telah mendominasi pengkajian fiqh perbandingan di berbagai institusi pengajian tinggi, dalam berbagai forum ilmiah fiqh dan pengajian serta menjadi rujukan utama para ulama fiqh kontemporari dalam kajian-kajian fiqh mereka.
Perbahasan
kitab ini dimulakan dengan seluk-beluk fiqh Islam dan keistimewaannya, sejarah
ringkas tokoh-tokoh mazhab, perspektif perbedaan ijtihad fiqh dalam Islam, dan
seterusnya dimulakan dengan perbahasan thaharah, solat, sehinggalah kepada
perbahasan yang lebih kompleks lainnya[2].
C. Mengkritisi Permasalahan
Standar Ukuran Mahar dalam Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Para
fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan paling tinggi untuk mahar[3],
karena tidak disebutkan di dalam syariat yang menunjukkan batasan yang paling
tinggi, berdasarkan firman Allah SWT :
÷bÎ)ur
ãN?ur&
tA#yö7ÏGó$#
8l÷ry
c%x6¨B
8l÷ry
óOçF÷s?#uäur
£`ßg1y÷nÎ)
#Y$sÜZÏ%
xsù
(#räè{ù's?
çm÷ZÏB
$º«øx©
4
¼çmtRrääzù's?r&
$YY»tGôgç/
$VJøOÎ)ur
$YYÎ6B
Artinya:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?” (Q.S An Nisa’ : 20)
Sebagian ulama berpendapat bahwa bunyi ayat “qinthar”
(sejumlah harta berapa saja besarnya) menunjukkan atas bolehnya mengambil mahar
yang tinggi.
Sedangkan
mengenai standar yang paling rendah bagi mahar, maka para fuqaha’ saling
berpendapat mengenai masalah ini, yang terbagi kepada tiga pendapat yaitu :
Mazhab
Hanafi berpendapat, standar mahar yang paling
rendah adalah 10 dirham, berdasarkan hadits :
ﻭﻋﻦﻋﻠﻰﺭﺿﻰﺍﷲ
ﻋﻨﻪ ﻗﻞ:"ﻻﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻬﺮﺃﻗﻞﻣﻦﻋﺸﺮﺓﺩﺭﺍﻫﻢ" ﴿ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻂﻨﻰ ﴾
Artinya : “ Dari Ali
ra., ia berkata : “Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”
(HR.Daruquthni)[4]
Hadist
Ali ra. Ini menunjukkan bahwa maskawin minimal adalah 10 dirham, namun hadits
ini mauquf dan dhaif dan tidak bisa melawan hadits-hadits shahih marfu’ yang
tidak membatasi maskawin, bahkan sebagian ahli hadits menghukumi hadits ini
sebagai hadits palsu (maudhu’)[5].
Juga
diqiyaskan kepada ukuran pencurian, yaitu yang membuat tangan si pencuri
dipotong. Menurut mazhab ini ukuran pencurian satu dinar atau 10 dirham ini
untuk menampakkan/menunjukkan posisi perempuan. Maka penetapan mahar dengan
harta suami memiliki nilai kepentingan.
Sedangkan
hadits :
حَدِيْدٍ مِنْ خَاتَمًا وَلَوْ اِلْتَمِسْ
Artinya:
“carilah, walaupun sekadar cincin yang terbuat dari besi”(HR. Muttafaqun
‘Alaih)[6] (“potongan hadits, hadits lengkapnya akan
pemakalah paparkan pada pendapat Mazhab Syafi’I”)
Mazhab
ini menafsirkan hadits ini sebagai mahar yang dipercepat. Karena adat mereka
adalah mempercepat penyerahan sebagian mahar sebelum melakukan hubungan badan,
sebagaiman Sabda Nabi SAW :
ﻋﻦ
ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱﺭ ﺹ ﻋﺒﻪ ﻗﺎﻝ : اَنَّ عَلِيًّا رض لَمَّا تَزَوَّجَ فَاطِمَةَ
اَرَادَ اَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَمَنَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص حَتَّى يُعْطِيَهَا
شَيْئًا. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ لِيْ شَيْءٌ. فَقَالَ لَهُ:
اَعْطِهَا دِرْعَكَ اْلحُطَمِيَّةَ، فَاَعْطَاهَا دِرْعَهُ، ثُمَّ دَخَلَ بِهَا
Artinya: “ Dari Ibnu
Abbas ra. Berkata: “Bahwa sesungguhnya Ali ra. Setelah menikahi Fathimah ra.,
ketika ia ingin serumah dengannya lalu Rasulullah SAW mencegahnya sehingga Ali
memberi sesuatu. Lalu Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai
apa-apa”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “berikan baju besimu dari
Huthamiyah itu kepadanya”. Maka Ali memberikan baju besi itu ke Fathimah, lalu
ia serumah dengan Fathimah. (HR. Abu Daud)[7]
“Kedudukan
Hadits ini Shahih Lighairihi”
Mazhab
Maliki berpendapat[8],
standar mahar yang paling rendah adalah seperempat dinar (1/4 dinar) atau tiga
dirham perak murni yang sama sekali tidak mengandung kepalsuan. Atau dengan
barang-barang yang suci dan terbebas dari najis yang sebanding dengan harganya
yang berupa barang, hewan, atau bangunan yang bermanfaat menurut syariat.
Maksudnya bisa dimanfaatkan bukan seperti peralatan hiburan. Juga mampu
diserahkan kepada istri yang kadar, jenis dan macamnya jelas.
Dalil
mazhab ini adalah mahar wajib diberikan di dalam perkawinan untuk menunjukkan
harga diri dan posisi perempuan. Jika seorang laki-laki menikah dengan
perempuan dengan mahar kurang dari standar ini, maka si suami harus
menyempurnakan maharnya jika dia setubuhi istrinya tersebut. Jika dia tidak
setubuhi istrinya, maka dikatakan kepadanya :
apakah kamu sempurnakah mahar atau kamu
batalkan akad(pernikahan).
Mazhab
syafi’I dan Hambali berpendapat[9],
tidak ada batasan terendah bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan
sesuatu. Oleh karena itu, sah apabila mahar adalah harta yang sedikit atau
banyak. Batasannya adalah, semua yang sah untuk dijual atau yang memiliki nilai
sah untuk dijadikan mahar. Dan yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa
dijadikan mahar, selama tidak sampai pada batasan yang tidak bisa dinilai.
Maka
jika dilakukan akad dengan sesuatu yang tidak bisa dinilai dan tidak bisa
diterima dengan nilai, seperti biji dan batu kerikil maka penentuannya rusak,
dan diwajibkan kepadanya untuk memberikan mahar mitsil.
Dalil
yang digunakan mazhab ini adalah :
1. Firman
Allah SWT :
àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpÒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym
Artinya :
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S An Nisa’ : 24)
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” Syariat
tidak memberikan batasan akan jumlah mahar oleh karena itu dijalankan sesuai
dengan kemutlakannya dan kerelaan antara kedua belah pihak[10].
2. Hadits
yang telah disebutkan :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ
قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ
قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا
اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ
مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا.
فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ،
فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ
النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا
وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Artinya : “Dari Sahl
bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu
berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diri untukmu”. Lalu
wanita itu berdiri cukup lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan
berkata, “Ya Rasulullah, Kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berminat
kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu
yang dapat kamu pergunakan sabagai mahar untuknya?”. Ia menjawab,”saya tidak memiliki
apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaian itu kamu
berikan kepadanya maka kamu tidak mempunyai pakaian lagi. Maka carilah sesuatu
yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “saya tidak mendapatkan sesuatu
yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu
laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW
bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al Quran?”. Ia menjawab,
“Ya, surat ini dan ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi
SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa
yang kamu miliki dari Al Quran itu”. (HR. Muttafaqun ‘alaihi)[11]
“Kedudukan Hadits ini
Shahih Lidzhatihi”
Mazhab ini berpendapat, sabda nabi SAW, “Carilah, meskipun
cincin dari besi”. Sebagai
dalil bahwa tidak ada batasan minimal dalam mahar, karena jika ada batasannya,
maka pasti Beliau jelaskan, karena tidak boleh menunda penjelasan pada waktu
yang dibutuhkan.
3. Hadits
:
عَنْ
عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى
نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَ مَالِكِ
بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَجَازَهُ
Artinya : “Dari ‘Amir bin Rabi’ah bahwa sesungguhnya pernah
ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang dinikahkan dengan (mahar) sepasang
sandal, lalu rasulullah SAW bertanya, “Ridhakah kamu atas dirimu dan hartamu
dengan (mahar) sepasang sandal?”. Ia menjawab, “ya”. Maka Rasulullah
memperkenankannya. (HR. Tirmidzi)[12]
“Kedudukan
Hadits ini Hasan Lidzhatihi”
عَنْ جَابِرٍ رضﻋﺒﻪ اَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ ص قَالَ: لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى امْرَأَةً صَدَقًا مِلْءَ يَدَيْهِ
طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلاَلاً
Artinya : “Dari Jabir ra., Bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Kalau seorang laki-laki memberikan mahar
berupa makanan sepenuh dua telapak tangannya, maka halal lah wanita itu
baginya”. (HR. Abu Daud)[13]
“Kedudukan Hadits ini Hasan, hadits ini diriwayatkan
secara Marfu’“
4. Sesungguhnya mahar adalah hak perempuan yang disyariatkan
oleh Allah SWT untuk menunjukkan harga diri dan posisinya dan ukurannya sesuai
keridhaan kedua belah pihak. Karena mahar adalah
pengganti untuk mengauli perempuan, maka ukuran penganti yang diberikan
kepadanya adalah seperti bayaran berbagai manfaatnya.
Ini
adalah pendapat yang rajih karena kekuatan dalilnya diambil dari Al Qur’an dan
Sunnah.
D.
Pandangan
Pemakalah tentang Permasalahan dan Kitab
Menurut pemakalah
batasan standar untuk ukuran mahar tidak
ada batasan maksimal maupun minimalnya, karena ukurannya itu diserahkan kepada
kedua belah pihak mempelai, kedua pihak bebas menentukan ukuran mahar yang
disepakati sesuai dengan kemampuan dan kerelaan. Sebagaimana firman Allah SWT :
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%ß|¹
\'s#øtÏU
4
bÎ*sù
tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã
&äóÓx«
çm÷ZÏiB
$T¡øÿtR
çnqè=ä3sù
$\«ÿÏZyd
$\«ÿÍ£D
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS.An-Nisa’:4)
Maka sah mahar dengan apapun yang
mempunyai nilai materi, baik itu sedikit maupun banyak, dan pendapat pemakalah
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Syafi’I dan Hambali
karena pendapat mazhab ini disandarkan kepada ayat Al Quran dan hadits yang
lebih kuat daripada sandaran pendapat mazhab yang lain dalam permasalahan ini.
Adapun rincian mengenai mahar yang
diberikan Rasulullah SAW kepada istri-istrinya yaitu 12 uqiyah. 1 uqiyah = 40
dirham, maka 12 uqiyah adalah 12 x 40 = 480 dirham. Maka jika dirupiahkan 1
dirham = Rp 74.784,-.
Maka 480 dirham jika dibulatkan sekitar Rp 35.700.000,-
Kelebihan Kitab
-
Menggunakan metode
perbandingan Mazhab, sehingga mempermudah pembaca dalam membandingkan hukum
berdasarkan pendapat mazhab terkemuka.
-
Adanya pentarjihan
hukum yang dilakukan pengarang kitab.
-
Pembahasan yang
sistematis.
Kekurangan Kitab
-
Dalil yang digunakan
tidak di cantumkan secara lengkap.
-
Tidak dicantumkan
kedudukan/kualitas sebuah dalil sebagai rujukan suatu hukum.
-
Adanya kekeliruan dalam
mencantumkan dalil sebagai rujukan suatu hukum.
Demikian
paparan kritik pemakalah terhadap Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu dan
pemakalah sudah berusaha memperbaiki segala kekurangan dalam kitab dengan paparan pemakalah pada poin ( C ), kalau masih
terdapat kekurangan atau kekeliruan pemakalah
mohon maaf atas hal tersebut.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
DAFTAR PUSTAKA
Albani,
Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu
Daud (jilid 1), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Albani, Muhammad
Nashiruddin, Shahih Sunan Tirmidzi (jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007)
Amin, Syaikh Muhammad, Ad-Durrul Mukhtar (jilid 2),(Beirut:
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003)
Az-Zuhaily, Wahbah, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007)
Hamka, Buya, Tafsir
Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2006)
Manshur, Abdul Qadir, Fiqih Wanita(terj), (Jakarta: Zaman, 2009)
Mansyur, Majdi bin,
Sunan Ad-Daruqhuthni(jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Nawawi,
Imam, Syarh al-Muhazzab(jilid 2).
Syarhush Shaghir,
jilid 2.
http://abusyahmin.blogspot.com/2013/06/al-fiqh-al-islami-wa-adillatuh_7458.html
[4] Majdi bin Mansyur,
Sunan Ad-Daruqhuthni(jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 313
[5] Abdul Qadir Manshur, Fiqih Wanita(terj), (Jakarta: Zaman,
2009), hlm.246
[6] Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Abu Daud (jilid 1), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
hlm. 818
[7]
Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih
Sunan Abu Daud (jilid 1), . . . . , hlm. 824
[8] Syarhush Shaghir, jilid 2, hlm. 428
[10] Buya Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2006) hlm. 1161
[12] Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Tirmidzi
(jilid 2), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm.
[13]
Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih
Sunan Abu Daud (jilid 1), . . . . , hlm. 819
Tidak ada komentar:
Posting Komentar