Jumat, 09 Juni 2017

Makalah Hukum Acara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Maka dari itu, Indonesiamembutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara. 
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.
Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyelidikan, penyidikan sampai kepada putusan hakim.
1.2.            Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Hukum Acara Pidana?
2.      Apa Saja Dasar Hukum Acara Pidana?
3.      Apa Saja Asas Hukum Acara Pidana?
4.      Bagaimana Proses Hukum Acara Pidana?
5.      Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana?
6.      Apa Saja Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Dalam Hukum Acara Pidana?
1.3.            Tujuan Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mengetahui dan pemahami segala aspek tentang hukum acara pidana.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1.      Pengetian Hukum Acara Pidana
Menurut R. Soeroso[1] “Hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil”.
Demikian pula menurut Moelyatno[2] dengan memberikan batasan tentang pengertian hukum formil (hukum acara) adalah “hukum yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiel (hukum pidana), dan hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/ mempertahankan hukum pidana materiel.”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) tidak disebutkan secara tegas dan jelas tentang pengertian atau definisi hukum acara pidana itu, namun hanya dijelaskan dalam beberapa bagian dari hukum acara pidana yaitu antara lain pengertian penyelidikan/penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain sebagainya.
             Secara singkat dikatakan, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiel, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.





2.2.      Dasar Hukum
Di dalam pelaksanaan hukum acara pidana di Indonesia,maka sumber dan dasar hukumnya antara lain sebagai berikut[3]:
1.      Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
 (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeleng-garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan per-adilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkunga peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuahMahkamah Konstitusi.
2.      Pasal 24 ayat (1) A Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945:
“ Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
3.      Pasal 5 ayat (1) UU (drt) No. 1 tahun 1951 (sudah dicabut):
a.       HIR (het herziene indlandsche/indonesisch reglement) atau disebut juga RIB (reglemen indonesia yang di baharui) (s.1848 No. 16, s 1941 No. 44) untuk daerah jawa & madura.
b.      Rbg. (rechtreglement buitengewesten) atau disebut juga reglement untuk daerah seberang (s.1927 no. 227) untuk luar jawa & madura.
c.       Landgerechts reglement (S. 1914 No. 317, S. 1917 no. 323 untuk perkara ringan (rol).
4.      Undang-undang RI No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang - undang Hukum Acara pidana disingkat KUHAP (LN.. 1981 -76 & TLN – 3209) dan Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. dan Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
5.      Undang-undang RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, diubah dengan Undang-undang no. 35 Tahun 1999, kemudian diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
6.      Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian diubah dengan Undang-undang RI No. 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
7.      Undang-undang RI No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, kemudian diubah dengan Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 dan Undang-undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undnag-undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
8.      Undang-undang RI No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kemudian diubah dengan Undangundang RI No. 2 Tahun 2002.
9.      Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian diubah dengan Undang-undang RI No.16 Tahun 2004.
10.  Undang-undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
11.  Undang-undang RI No. 22 tahun 2002 tentang Grasi yang kemudian diubah UU RI dengan No. 5 tahun 2010.
2.3. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia yang ditegakkan, sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain sebagai berikut[4]:
(1). Asas persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di muka Hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)25.
(2). Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009)
(3). Asas perintah tertulis dari yang berwenang, artinya segala tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeladahan, penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh undang-undang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2009).
(4). Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), artinya setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(5). Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(6). Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan atau lazim disebut contante justitie (Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).
(7). Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya, artinya bahwa setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaanguna kepentingan pembelaan.28 (Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)[5]
(8). Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan, serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta bantun penasihat hukum.
(9). Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. (Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(10). Asas pemeriksaan terbuka untuk umum, artinya pengadilan dalam pemerik-saan perkara terbuka untuk umum, jadi setiap orang diperbolehkan hadir dan mendegarkan pemeriksaan dipersidangan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan, serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat.
(11). Asas pembacaan putusan, yaitu semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuataan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (Pasal 13 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
(12). Asas pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan, artinya langsung kepada terdakwa dan tidak secara tertulis antara hakim dengan terdakwa (Pasal 154 KUHAP dan seterusnya)
(13). Asas putusan harus disertai alasan-alasan, artinya segala putusan pengadil-an selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (Pasal 50ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(14) Asas tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)[6]
(15) Asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili dan memutus perkara, artinya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(16) Asas pengawasan pelaksanaan putusan, artinya dalam menjalankan putusan pidana, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap Pasal 55 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
Selain asas-asas yang tersurat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdapat asas-asas yang secara tersirat dalam KUHAP, yaitu[7]:
(1). Asas oportunitas dalam penuntutan, artinya meskipun terdapat bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar suatu peraturan hukum pidana, namun Penuntut Umum mempunyai kekuasaan untuk mengenyampingkan perkara yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan negara atau umum (mendeponeer).
(2) Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi sebagai penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannya tidak tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa yang memajukan perkara ke muka hakim pidana adalah pejabat lain dari pejabat penyidik.
(3) Asas praperadilan, artinya pemeriksaan dan putusan tentang sahnya atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang berperkara pidana-nya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
(4) Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana, Hakim Pidana seberapa boleh harus boleh berhubungan langsung dengan terdakwa, yang berarti Hakim harus mendengar sendiri terdakwa, tidak cukup dengan adanya surat-surat pencatatan yang memuat keterangan-keterangan terdakwa di muka penyidik. Asas ini berlaku bagi saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akandiperoleh keterangan-keterangan yang perlu yang memberikan gambaran apa yang benar-benar terjadi.
(5) Asas personalitas aktif dan asas personalitas passif, artinya dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia dapat diadili menurut hukum pidana Republik Indonesia.

2.4. Prosedur Hukum Acara Pidana.
Hukum acara pidana mengenal beberapa proses Tahapan dalam menyelesaiakan perkara pidana, sekalipun secara tegas tidak ditentukan didalam KUHAP, namun berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP maka beberapa ahli hukum acara pidana yang ditemukan dalam berbagai literatur membagi tahapan itu menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu:
1.        Tahapan pemeriksaan Pendahuluan
Menurut S Tanusubroto yang dimaksud dengan Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan sebelum dilakukan di muka persidangan pengadilan. Seperti halnya dengan yang disampaikan oleh Soedjono D. yaitu Pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan.
Adapun tahap pemeriksaan perndahuluan terdiri dari:
a.         Penyelidikan
Dalam ketentuan umum KUHAP Pasal 1 butir 5 menjelaskan bahwa Penyelidikan adalah “serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Adapun pihak yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan dalam pasal 4 KUHAP adalah “setiap Pejabat polisi negara Republik Indonesia”. dalam pasal ini ditegaskan hanya polisilah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pejabat diluar kepolisian tidak diperkenankan oleh undang-undang[8].

b.        Penyidikan
Definisi penyidikan menurut KUHAP adalah “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penjabat yang terdiri dari POLRI dan penjabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu[9].
c.         Penangkapan
Definisi Penangkapan menurut KUHAP pasal 1 butir 20 adalah “Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.[10]
Adapun pihak yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik, namun dalam pasal 16 ayat (1) penyelidik dapat juga melakukan penangkapan asalkan terdapat perintah dari penyidik. Dan berdasarkan pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa penangkapan dilakukan maksimum satu hari.
d.        Penahanan
Dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan sebagai berikut:
                   “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal”:
a.    perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.    perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 335, 351 dan sebagainya.
Adapun alasan Subyektif dilakukan penahanan dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu[11]:
a.       adanya dugaan keras bahwa tersangka terdakwa melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup;
b.      adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka dan terdakwa kan melarikan diri;
c.       adanyakekhawatiran tersangka atau terdakwa merusak dan atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Pejabat yang berwenang malakukan penahanan adalah Penyidik, Penuntut umum, Hakim pengadilan negeri, Hakim pegadilan Tinggi dan Hakim mahkamah Agung.
e.         Penggeledahan
pada prinsipnya tak seorangpun yang boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, keluarganya, rumahnya atau surat menyuratnya. sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.
KUHAPmembagi penggeledahan menjadi dua yaitu:penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian dan badan. kedua penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik dan dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip atau syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang[12].
f.          Penyitaan
Definisi penyitaan menurut KUHAP pada pasal 1 butir 16 adalah: “serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.
Adapun pihak yang berwenang melakukan penyitaan adalah penyidik.bentuk-bentuk penyitaan dapat dibagi menjadi 3 yaitu[13]:
1.      penyitaan biasa atau umum;
2.      penyitaan dalam keadaa perlu dan mendesak;
3.      penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan.
2.        Tahapan Penuntutan
Ketika pemeriksaan pendahuluan selesai, maka untuk selanjutnya adalah tahapan penuntutan. tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan. penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara pidana kepengadilan. didalam melimpahkan perkara itu tidak sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal yang dilakukan sebelum perkara itu disampaikan ke pengadilan yaitu:
a.         Pra Penuntutan
         Istilah Pra penuntutan terdapat dalam pasal 14 KUHAP yaitu: “mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuarangan pada penyidikan dengan memperhatikanketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaanya penyidikan dari penyidik”. Waktu yang diberikan kepada penuntut umum untuk “meneliti dan mempelajari” adalah 7 hari.
b.        Penuntutan
         Pada pasal 1 butir 7 KUHAP menyebutkan definisi penuntutan adalah: “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan[14]”.
         Tujuan melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan penetapan dari penuntut umum, tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut seseorang terdakwa dimuka hakim.
penuntut umumberwenang melakukan peuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadilinya. Yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri.
c.         Surat Dakwaan
         Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan setiap penuntut umum melimpahan perkara kepengadilan selalu disertaidengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.
         KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) yakni[15]:
“surat dakwaan yang diberi tangal dan ditandatangani serta berisi:
1.      Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
2.       uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”.
3.        Tahapan pemeriksaan dan putusan pengadilan.
a.       Pra Peradilan.
Secara bahasa Pra artinya sebelum atau mendahului, maka praperadilan adalah pemeriksaan sebelum sidang pengadilan, praperadilan dilakukan oleh hakim yang tugasnya terdapat dalam pasal 79,80,81 KUHAP yang menyatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negari untuk memeriksa dan memutuskan tentang[16]:
a.       Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
b.      Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
c.       Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
b.        Pemeriksaan di sidang Pengadilan
UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) secara umum mengatur mengenai tata cara sidang, yang secara garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertam di Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap, namun seringkali tahapan-tahapan dan tata cara dalam persidangandalam prakteknya disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak –pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana. Dan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut[17] :
1.        Sidang Pertama Pada Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:
a.       Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang
b.      Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang
c.       Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua mengajukan pertanyaan mengenai kesiapan dan indentitasnya.
d.      Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh penasehat hukum. Dan bertanya kepada penasehat hukumnya apakah benar dia bertindak sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim anggota perihal dokumen tersebut.
2.        Pembacaan Surat Dakwaan[18].
a.       Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan.
b.      Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk.
c.       Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa.
d.      Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali.


3.        Pengajuan Eksepsi (Keberatan)[19]
a.       Setelah terdakwa menyaakan paham dan mengerti tentang maksud dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang menyangkut kompetensi pengadilan.
b.      Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya.
c.       Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi, maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap dengan nota eksepsi.
d.      Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya baik itu lisan maupun tulisan.
e.       Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (Replik).
f.       Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi (Duplik).
g.      Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
4.        Pembacaan/pengucapan putusan sela.
a.        Putusan sela biasanya menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut;
·         Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan.
·         Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara tersebut dilanjutkan.
·         Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus.
5.        Pembuktian dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
          Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana,
6.        Pengajuan Saksi yang meringankan (Adcharge) oleh terdakwa/Penasehat Hukumnya.
7.        Pemeriksaan Terdakwa[20]
a.         Dalam pemeriksaan terdakwa ada perbedaan menyangkut sumpah, pada saat pemeriksaan saksi, perlu dilakukan sumpah sedangkan untuk terdakwa tidak perlu sumpah.
b.        Selanjutnya ketua majelis hakim mulai menyampaikan pertanyaan-pertanyaan disusul hakim anggota kalau perlu hakim menunjukkan barang bukti untuk memperjelas pemeriksaan, kalau majelis hakim dirasa cukup maka kesempatan selanjutnya diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk bertanya dilanjutkan oleh penasehat hukum mengenai tatacara pemeriksaan terdakwa sama dengan ketika pemeriksaan terhadap saksi-saksi.

8.        Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana (Requisitioir)
a.         Setelah selesai pembacaan tuntutan, hakim menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham dengan isi tuntutan, jika perlu hakim sedikit menjelaskan poin-poin tuntutan jaksa, selanjutnya berkas tuntutan/surat tuntutan yang asli diserahkan kepada majelis hakim, dan salinannya diserahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya.
b.        Hakim bertanya pada terdakwa dan penasehat hukum apakah akan mengajukan pembelaan (pleidooi) kalau akan mengajukan maka hakim meminta kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk mempersiapkan nota pembelaan yang akan dibacakan pada sidang berikutnya.
9.        Pembacaan Pembelaan (Pleidooi).[21]
a.         Kalau akan mengajukan pembelaan maka dalam hal mengajukan pembelaan terdakwa dapat dengan cara lisan maupun tertulis.
b.        Setelah pembacaan pembelaan selesai selanjutnya naskah nota pembelaan yang asli diserahkan kepada ketua majelis.
10.    Pengujian tanggapan-tanggapan (Replik, Dublik, Rereplik, Reduplik)
a.         Kesempatan selanjutnya hakim bertanya pada penasehat hukum apakah akan memberitanggapan juga (duplik) kalau akan megajukan, maka hakim bertanya apakah telah siap dengan tanggapannya, selanjutnya hakim mempersilahkan pada penasehat hukum untuk membacakan tanggapannya. Tatacaranya sama dengan waktu membacakan pembelaan.
b.        Setelah tanggapan pertama sudah selesai kalau dirasa masih ada yang perlu ditanggapi maka hakim mempersilahkan untuk memberikan tanggapan berikutnya (rereplik dan reduplik) kesempatan pertama diberikan pada jaksa penuntut umum dilanjutkan oleh penasehat hukum.
c.         Pembacaan Putusan Hakim (Vonis).[22]
Dalam hal putusan hakim diatur dalam pasal 182 KUHP ayat (3) sampai ayat (7) yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus mendasarkan pada surat dakwaan, eksepsi requisitoir, pleidooi serta tanggapan-tanggapan. Dilakukan dengan cara musyawarah tertutup. Dalam mengajukan analisis serta argument hukum (legal reasoning) maka kesempatan pertama diberikan kepada hakim yuniour selanjutnya diberikan kesempatan kepada hakim senior dan terakhir kesempatan kepada ketua. Dalam mengambil keputusan selalu menggunakan suara terbanyak sebagai hasil putusan kecuali dalam hal tidak tercapai yang diatas maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Putusan dituangkan dalam bentuk naskah dan dibukukan dalam buku khusus di Pengadilan Negeri dan buku ini sifatnya rahasia yang sering disebut dissenting opinion.
2.5.      Alat Bukti
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan (hakim) terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili terdakwa. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan alatalat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:[23]
1.        Keterangan Saksi (Pemeriksaan Saksi)
Adapun yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.[24]
2.        Keterangan Ahli
Adapun yang dimaksud dengan keterangan ahli, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP, yang berbunyi bahwa: ”Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Jadi keterangan ahli dapat merupakan alat bukti yang sah apabila menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.[25]
3.        Alat Bukti Surat
Adapun surat yang digunakan sebagai alat bukti surat yang sah dalam persidangan adalah alat bukti surat sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi bahwa: ”surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah”, adalah:[26]
a.         Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b.         Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.         Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai susuatu hal yang atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat, antara lain berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik (Polisi), berita acara pemeriksaan pengadilan (BAPP), berita acara penyitaan, surat perintah penangkapan, surat perintah penyitaan, surat perintah penahanan, surat izin penggeledahan, surat izin penyitaan dan lain sebagainya.
4.        Alat Bukti Petunjuk
Adapun tentang petunjuk sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:[27]
1.         Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.         Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
·         keterangan saksi;
·         surat;
·         keterangan terdakwa.
3.         Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.          
5.        Keterangan Terdakwa
Adapun alat bukti keterangan terdakwa adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi bahwa:[28]
a.         Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b.         Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c.         Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d.        Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

2.6.      Upaya Hukum
Di dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), bahwa ”upaya hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan”.
Demikian pula menurut Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu ”Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasiatau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi upaya hukum menurut Pasal 1 butir 12 KUHAP di atas telah membeda-kan antara upaya hukum biasa (Bab XVII) dan upaya hukum luar biasa (Bab XVIII), terdiri atas dua, yaitu:[29]
1.         Upaya hukum biasa
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie). Adapun upaya hukum biasa terdiri atas:[30]
a.         Pemeriksaan Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan tinggi, maka pengertian banding sebagaimana menurut J.C.T. Simorangkir, adalah “suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan dari pada hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama.
b.        Pemeriksaan Kasasi.
Menurut Wirjono Prodjodikoro9 , bahwa kasasi adalah pembatalan, yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilanpengadilan lain. Jadi kasasi sendiri berarti pembatalan/vernietiging dan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai yang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain (Pasal 39 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman).
Kasasi diadakan dengan maksud untuk menyelenggarakan dalam kesatuan hukum, demikian pula menurut M.H. Tirtaamidjaja10 bahwa tujuan utama daripada lembaga kasasi itu adalah usaha untuk mencapai kesatuan hukum”.
2.         Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa hanya dapat dilakukan apabila putusan hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:[31]
a.         Kasasi demi kepentingan hukum
Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuataan hukum yang tetap, yang hanya dapat diajukan oleh oleh Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum. Adapun putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dapat dimintakan kasasi demi kpenetingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusam Mahkamah Agung.[32]
b.        Peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telahberkekuatan hukum tetap (herziening)
Masalah herziening atau peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah lama dikenal, yaitu setidak-tidaknya telah ada sejak tahun 1848 dengan diundangkannya Reglement op de Strafvordering pada tanggal 1 Mei 1848. Istilah herziening telah dimuat dalam Reglement op de Strafvordering Titel 18, antara lain berbunyi “Herziening van arresten en vonnissen”, yang dicakup di dalam Pasal 356 sampai dengan 360…”.[33]
Munculnya kembali masalah herziening atau peninjauan kembali adanya suatu peristiwa pada tahun 1980 dengan terjadi suatu keheboan sangat luar biasa yang telah menggoyahkan sendi-sendi hukum di Indonesia, para ahli hukum dan para penegak hukum lainnya yaitu kasus “Sengkon dan Karta” yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977, tapi sudah ditahan sejak tahun 1974. Berdasarkan tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri Suleman dan berdasarkan alat bukti yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi, maka keduanya diajtuhi hukuman masing-masing 10 dan 7 tahun penjara, tetapi pada tahun 1980 pengadilan negeri yang sama telah menjatuhkan hukuman penjara kepada Gunei, Silih dan Wasita sebagai pelaku sebenarnya sebagaimana dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.[34]
Selain upaya hukum tersebut di atas, masih terdapat upaya hukum lainnya diatur dalam KUHAP, yaitu upaya hukum verzet atau upaya hukum perlawanan. Disamping itu, selain upaya hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut di atas, terdapat pula upaya hukum yang tidak diatur dalam KUHAP, yaitu grasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang RI No. 22 Tahun 2002 dan terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
3.         Upaya Hukum Grasi
Grasi berasal dari kata “Gratie”, yang menurut J.C.T. Simorangkir berarti wewenang dari kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuman itu”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5 tahun 2010 tentang Grasi, bahwa grasi adalah “pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.[35]

















BAB III
PENUTUPAN


3.1.            Kesimpulan
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.
Proses beracara dalam acara pidana adalah sebuah pedoman untuk mengumpulkan data, mengolahnya, menganalisa serta mengkonstruksikannya. Proses beracara dalam hukum pidana mencakup tiga hal, yaitu sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal & KUHAP), pemeriksaaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) sampai kepada pembaca putusan hakim.





DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996)
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)
Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013)
Moelyatno, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1985)



[1]Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hlm. 13.
[2]Moelyatno, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1985), hlm. 4.
[3]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996) hlm. 27-31.
[4]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), hlm. 15-18
[5]Ibid.
[6] Ibid
[7]Ibid., hlm. 18-19
[8]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . . . , hlm. 121.
[9]Ibid.
[10]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana . . . , hlm. 136.
[11]Ibid., hlm. 144
[12]Ibid., hlm. 164
[13]Ibid., hlm. 166
[14]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . . . , hlm. 164
[15] Ibid., hlm. 170.
[16]Ibid., hlm. 195.
[17]Ibid., hlm. 245-251.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana . . . , hlm. 249.
[24]Ibid.
[25]Ibid.Hlm. 259.
[26]Ibid.
[27]Ibid.Hlm. 285.  
[28]Ibid.
[29]Ibid.Hlm. 289.
[30]Ibid.
[31]Ibid.Hlm. 308.
[32]Ibid.Hlm. 308.
[33]Ibid.Hlm. 311.
[34]Ibid.Hlm. 310.
[35]Ibid.Hlm. 318.