Selasa, 26 Agustus 2014

Makalah sejarah perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

BAB II
PEMBAHASAN


A. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada beberapa periode yaitu :
1.      Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang dibagi kepada 2 masa[1] :
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberi penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat hukum yang di turunkan.
Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada masa ini terbentuklah Negara islam yang dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat yang berisi hukum turun, baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya kaum muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul terjadi.
Sumber hukum pada periode ini adalah Al Quran dan Hadist.[2]

2.      Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat) sampai abad pertama hijriyah ( kurang lebih 101 H )
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul. Tetapi tidak semua orang memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena :
1.      Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi.
2.      Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah.
3.      Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya tidak di temukan dalam nash syariat.[3]
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini bertambah dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena :
1.      Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.
2.       Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan menyeluruh.
3.      Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang di alami dan di hadapi sahabat itu berbeda beda.[4]

3.  Periode Kesempurnaan
Perode ini d sebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqih
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya[5], seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing.
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1.  Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2.  Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para         ulama.
3.  Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah    rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan muridnya Mujahid(wafat 104H) dan kitab-kitab lainnya.[6]

4. Periode Kemunduran
            Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadist. Mereka  puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran yang jumud dan statis.[7]
            Semenjak pertengahan abad VI sampai akhir periode ini, umat islam benar-benar berada dalam suasana taklid,statis,dan jumud. Meraka meninggalkan ijtihad dalam segala tingkatnya. Sehingga perkembangan ilmu fiqih terhenti, statis dan semakin lama semakin tertinggal jauh dari arus perkrmbanga jaman. Masa inilah disebut sebagai masa kemunduran, di mana duania islam bagaikan tenggelam ditelan kemajuan dunia lainnya(terutama barat) yang semakin hari semakin cemerlang dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemuduran adalah :
a.  Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh ulama-ulama sebelumya, baik itu persoalan yang benar-benar telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu. Ketergantungan seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas dan hanya mencari yang mudah-mudah.
b.  Fanatisme mahab yang sempit
Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil untuk menguatkan mazhabnya saja, berupaya menangkis setiap serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya , mereka tenggelam dalam suasana chauvinisme yang tinggi,  jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber hukum islam yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
c.  Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertaklid, bukan para ulama mujtahid seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu. Sehingga kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.[8]
5.   Periode Kebangkitan kembali
Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya.[9]

B.  Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode yaitu:
1.  Zaman Rasulullah
2.  Zaman sahabat
3.  Zaman tabi’in






1.      Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul [10]. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.[11]

Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut:
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya[12]. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.[13]
2.    Zaman Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50 H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat mursalah[14].
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik[15], penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru”

            Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[16] itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.

3.    Zaman Tabi’in
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.[17]
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.[18] Pada masa tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.

 a. Tahap-tahap perkembangan usul fiqh
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1.      Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(wafat 218H), Al-Mu’tashim(wafat 227H), Al Wasiq(wafat 232H), dan Al-Mutawakil(wafat 247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.[19]
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjihkanya maka datanglah Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(wafat 221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (wafat 221H\835M) menulis kitab An-Nakl[20] dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqaha pada zaman itu.
2.      Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap eksitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
a. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
b  Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah
c.  Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf.[21]
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terkenal adalah[22]:
a.  Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi(wafat 340H)
b.   Kitab Al Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (wafat 305H)
c.    Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul fi al ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4H., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.[23]
3.      Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain[24]. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.[25]
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.

b.   PEMBUKUAN USHUL FIQH
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.[26]
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.[27]
Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”.




















DAFTAR PUSTAKA

ü Prof. Dr.H. Alaiddin koto, M.A,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2006)
ü  Prof.Dr. Abdul Wahhab Khallaf,Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih,(Kuwait:Darul Qalam,2003) cetakan XI
ü  Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung:cv pustaka setia bandung,2007)
ü  Hasim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1996)






















[1] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 14
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
[3] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal. 15
[4] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 16
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
[6] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 18
[7] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 21
[8] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 23
[9] Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 24
[10] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal.29
[11] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.11
[12] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.27
[13] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 330
[14] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal 110
[15] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.31
[16] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.260

[17] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.32
[18] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 24
[19] Muhammad Hasim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam.hal  31
[20] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[21] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 31
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[23] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 32
[24] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[25] Muhammad Hasim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam.hal 36
[26] Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.33
[27] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.9