Jumat, 09 Juni 2017

MAKALAH JARIMAH ZINA

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini banyak sekali kita temukan hal hal yang melanggar aturan agama, pelanggaran aturan agama yang pada saat era globalisasi saat ini yang sering terjadi adalah Zina, dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan perkawinan yang sah dan hanya menuruti kehendak  hawa nafsu dan kenikmatan seasaat. Terhadap perbuatan semacam ini perlu adanya ‘uqubah (Hukuman) yang harus di tetapkan pemerintah untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menghindari perbuatan tersebut diulangi oleh orang lain.
            Aceh sebagai provinsi yang menerapkan Syari’at Islam sudah mengatur tentang ‘uqubat terhadap jarimah zina (perbuatan zina) ini dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, yang hak mengadilinya diwewenangkan kepada Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga Peradilan Agama, dan tata cara beracaranya diatur dalam Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayah.
B.                Rumusan masalah
1.      Apa Pengertian Jarimah Zina ?
2.      Apa Dasar Hukum Jarimah Zina?
3.      Bagaimana Hukuman (‘Uqubat) dan Syarat Hukuman Bagi Pelaku Zina?





BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Jarimah Zina
1.      Pengertian Jarimah
Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama" kemudian menjadi bentuk masdar "jaramatan" yang artinya adalah perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim", dan yang dikenai perbuatan itu adalah "mujaram 'alaihi".[1] Menurut istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah adalah "Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta'zir".[2]
Pengertian jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau sama dengan tindak pidana atau delik dalam hukum positif.[3] Hanya bedanya hukum positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran mengingat berat ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya disebut jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.
Sedangkan menurut Qanun Jinayah Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah,  jarimah adalah “perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam Qanun ini diancam dengan ‘Uqubat hudud dan / atau tak’zir.”[4]

2.      Pengertian Zina
Zina berarti hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan.[5] Tidak masalah apakah salah satu pihak atau keduanya telah memiliki pasangan hidupnya masing masing ataupun belum menikah sama sekali. Selain itu zina juga berarti  setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena persetubuhan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena karena kepemilikan (budak).[6]
Sedangkan pengertian zina dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah adalah “persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.”[7]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa  Jarimah Zina yaitu suatu  perbuatan dosa yang dilakukan melalui hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dan hal tersebut sangat dilarang dan merupakan dosa yang amat besar, selain itu perbuatan itu  juga akan memberikan peluang bagi berbagai perbuatan yang memalukan lainnya yang akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, yang akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, menghancurkan nama baik dan harta benda, serta menyebarkan berbagai macam penyakit baik jasmani maupun rohani.

B.                 Dasar-Dasar Hukum Larangan Zina
1.      Q.S An-Nur ayat 2, yang berbunyi:
 èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$#
Artinya :“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-Nur :2).
2.      Hadits Nabi SAW bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اْلجُهَنِيّ اَنَّهُمَا قَالاَ: اِنَّ رَجُلاً مِنَ اْلاَعْرَابِ اَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اَنْشُدُكَ اللهَ اِلاَّ قَضَيْتَ لِى بِكِتَابِ اللهِ. وَ قَالَ اْلخَصْمُ اْلآخَرُ وَ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ: نَعَمْ، فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَ ائْذَنْ لِى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: قُلْ، قَالَ: اِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ، وَ اِنِّى اُخْبِرْتُ اَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَ وَلِيْدَةٍفَسَأَلْتُ اَهْلَ اْلعِلْمِ، فَاَخْبَرُوْنِى اَنَّمَا عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبُ عَامٍ، وَ اَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هذَا الرَّجْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: وَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ َلأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ. اْلوَلِيْدَةُ وَ اْلغَنَمُ رَدٌّ. وَ عَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبُ عَامٍ. وَ اغْدُ يَا أُنَيْسُ اِلَى امْرَأَةِ هذَا، فَاِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. قَالَفَغَدَا عَلَيْهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَاَمَرَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ ص، فَرُجِمَتْ. مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhaniy, mereka berkata: Bahwa ada seorang laki-laki Badui datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, Demi Allah, sungguh aku tidak meminta kepadamu kecuali engkau memutuskan hukum untukku dengan kitab Allah”. Sedang yang lain berkata (dan dia lebih pintar dari padanya), “Ya, putuskanlah hukum antara kami berdua ini menurut kitab Allah, dan ijinkanlah aku (untuk berkata)”. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Silakan”. Maka orang yang kedua itu berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja pada orang ini, lalu berzina dengan istrinya, sedang aku diberitahu bahwa anakku itu harus dirajam. Maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang hamba perempuan, lalu aku bertanya kepada orang-orang ahli ilmu, maka mereka memberi tahu bahwa anakku hanya didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang istri orang ini harus dirajam”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitab Allah. Hamba perempuan dan kambing itu kembali kepadamu, sedang anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais, pergilah ke tempat istri orang ini, dan tanyakan, jika dia mengaku, maka rajamlah dia”. Abu Hurairah berkata, “Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan tersebut, dan perempuan tersebut mengaku”. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya, kemudian ia pun dirajam. [HR. Muslim juz 3, hal. 1324]
3.      Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayah yang menyatakan bahwasannya Zina merupakah perbuatan yang dilarang agama dan merupakan salah satu Jarimah yang mendapat ‘Uqubat (hukuman) Hudud dan Ta’zir sesuai pasal 3 Qanun ini.[8]

C.                Hukuman dan Syarat Hukuman untuk Pezina
Dalam kitab hadis-hadis seperti shahih Bukhari dan Muslim, banyak sekali hadis-hadis tentang hukuman yang diperuntukkan bagi para pezina. Di dalam Islam tidak ada istilah mantan pezina. Karena hukuman bagi para pezina dalam Islam adalah sangat jelas, seorang pezina yang telah menikah (muhsan) lebih berat dari yang belum menikah (ghairu muhsan) yaitu dibunuh dengan cara dirajam sedangkan bagi orang yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Konsekuensinya bagi yang dijatuhi hukuman rajam adalah kematian sedangkan bagi yang dicambuk, apabila masih dapat bertahan hidup maka dia telah menjalani pertobatan dan semoga Allah mengampuni dosa perzinahan di masa lalunya selama si pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Ada beberapa syarat untuk dapat menerapkan hukum cambuk hukum-hukum hudud lainnya, yaitu:
1.      Wilayah Hukum Resmi
Hukum rajam dan hukum-hukum syariah lainnya harus diberlakukan secara resmi terlebih dahulu sebuah wilayah hukum yang resmi menjalankan hukum Islam. Di dalam wilayah hukum itu harus ada masyarakat yang memeluk hukum syariah, sadar, paham, mengerti dan tahu persis segala ketentuan dan jenis hukuman yang berlaku. Ditambahkan lagi mereka setuju dan ridha atas keberlakuan hukum itu.
2.      Adanya Mahkamah Syar'iyah
Pelaksanaan hukum rajam itu hanya boleh dijalankan oleh perangkat Mahkamah Syar'iyah yang resmi dan sah. Mahkamah ini hanya boleh dipimpin oleh qadhi (Hakim) yang ahli di bidang syariah Islam. Qadhi (Hakim) ini harus ditunjuk dan diangkat secara sah dan resmi oleh negara, bukan sekedar pemimpin non formal.
3.      Peristiwa Terjadi di Dalam Wilayah Hukum
Kasus zina dan kasus-kasus jarimah lainnya hanya bisa diproses hukumnya bila kejadiannya terjadi di dalam wilayah hukum yang sudah menerapkan syariah Islam. Sebagai contoh, bila ada orang Aceh berzina di luar wilayah Aceh, maka tidak bisa diproses hukumnya di wilayah hukum Aceh.
4.      Kesaksian 4 Orang Atau Pengakuan Sendiri
Untuk bisa diproses di dalam Mahkamah Syar'iyah, kasus zina itu harus diajukan ke meja hijau. Hanya ada dua pintu, yaitu lewat kesaksian dan pengakuan diri sendiri pelaku zina. Bila lewat kesaksian, syaratnya para saksi itu harus minimal berjumlah 4 orang, apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktian nya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain.
Adapun kententuan mengenai ‘Uqubat (Hukuman) dan syarat hukuman pelaku Zina diatur dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah pasal 33-45 yang menyatakan sebagai berikut:[9]
Pasal 33
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali.
(2) Setiap Orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau ‘Uqubat Ta’zir penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.
(3) Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.

Pasal 34
Setiap Orang dewasa yang melakukan Zina dengan anak, selain diancam dengan ‘Uqubat Hudud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.

Pasal 35
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina dengan orang yang berhubungan Mahram dengannya, selain diancam dengan ‘Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau “uqubat Ta’zir penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.

Pasal 36
Perempuan yang hamil di luar nikah tidak dapat dituduh telah melakukan Jarimah Zina tanpa dukungan alat bukti yang cukup.




Pasal 37
(1) Setiap Orang yang diperiksa dalam perkara khalwat atau Ikhtilath, kemudian mengaku telah melakukan perbuatan Zina, pengakuannya dianggap sebagai permohonan untuk dijatuhi ‘Uqubat Zina.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk orang yang membuat pengakuan.
(3) Penyidik dan/atau penuntut umum mencatat pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam berita acara dan meneruskannya kepada hakim.

Pasal 38
(1) Hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, setelah mempelajari berita acara yang diajukan oleh penuntut umum, akan bertanya apakah tersangka meneruskan pengakuannya atau mencabutnya.
(2) Dalam hal tersangka meneruskan pengakuannya, hakim menyuruhnya bersumpah bahwa dia telah melakukan Jarimah Zina.
(3) Apabila tersangka bersumpah bahwa dia telah melakukan Zina, hakim menjatuhkan ‘Uqubat Hudud dicambuk 100 (seratus) kali.

Pasal 39
(1) Apabila tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 mencabut pengakuannya atau tetap dalam pengakuannya, tetapi tidak mau bersumpah maka perkara tersebut akan dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara asal (Jarimah khalwat atau Ikhtilath).
(2) Pelaku Jarimah khalwat atau Ikhtilath yang tidak mengaku melakukan Jarimah Zina akan diperiksa dalam perkara yang dituduhkan kepadanya.

Pasal 40
(1) Setiap Orang yang telah melakukan Jarimah Zina dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk dijatuhi ‘Uqubat Hudud.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu menyebutkan identitas pemohon secara lengkap, dan tidak perlu menyebutkan tempat dan waktu kejadian.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk diri pemohon.
(4) Hakim setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukannya secara tertulis kepada jaksa penuntut umum sekaligus dengan penetapan hari sidang.
(5) Dalam sidang yang diadakan untuk itu, hakim meminta pemohon mengulangi permohonannya secara lisan dan melakukan sumpah untuk menguatkannya.
(6) Hakim mengeluarkan penetapan menjatuhkan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali dan memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melaksanakannya.
(7) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) langsung berkekuatan hukum tetap. (8) Setelah penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hakim dapat memerintahkan penahanan pemohon untuk pelaksanaan ‘Uqubat.

Pasal 41
Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 tidak hadir pada hari persidangan yang telah ditentukan atau mencabut permohonannya, perkara tersebut dianggap dicabut dan tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 42
(1) Setiap Orang yang mengaku telah melakukan Zina di tempat terbuka atau secara terbuka, secara lisan atau tertulis, dianggap telah melakukan permohonan untuk dijatuhi ‘Uqubat Hudud.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicabut.
(3) Penyidik akan memeriksa orang tersebut untuk membuktikan bahwa pengakuan tersebut betul-betul telah diberikan.
(4) Penyidik tidak perlu mengetahui siapa yang menjadi pasangannya melakukan Zina.
(5) Penyidik akan mengajukan tersangka ke Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota setelah mendapat bukti bahwa pengakuan tersebut benar telah diberikan.
(6) Hakim akan menjatuhkan ‘Uqubat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 33, apabila pengakuan tersebut terbukti telah diucapkan/disampaikan.
(7) Setelah penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hakim dapat memerintahkan penahanan pemohon untuk pelaksanaan ‘Uqubat.

Pasal 43
(1) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42 menyebutkan nama orang yang menjadi pasangannya melakukan Zina, hakim akan memanggil orang yang disebutkan namanya tersebut untuk diperiksa di persidangan.
(2) Dalam hal orang yang disebutkan namanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkal, pemohon wajib menghadirkan paling kurang 4 (empat) orang saksi yang melihat perbuatan Zina tersebut benar telah terjadi.
(3) Dalam hal orang yang disebutkan namanya sebagai pasangan Zina mengakui atau pemohon dapat menghadirkan paling kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dan pasangannya dianggap terbukti melakukan Zina.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadirkan paling kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dianggap terbukti melakukan Qadzaf.

Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dalam keadaan hamil, hakim menunda pelaksanaan ‘Uqubat hingga pemohon melahirkan dan berada dalam kondisi yang sehat.
(2) Pemohon yang menyebutkan nama pasangan Zinanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 yang sedang dalam keadaan hamil dapat membuktikan tuduhannya melalui tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dari bayi yang dilahirkannya.
(3) Hasil tes DNA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggantikan kewajiban pemohon untuk menghadirkan 4 (empat) orang saksi.

Pasal 45
Orang yang dituduh sebagai pasangan berzina oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dapat mengajukan pembelaan.




























BAB III
PENUTUP
                                                          
A.                Kesimpulan
Jarimah Zina yaitu suatu  perbuatan dosa yang dilakukan melalui hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak dan hal tersebut sangat dilarang dan merupakan pelanggaran terhadap hukum agama dan dosa yang amat besar.
Perbuatan ini merupakan Jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam) yang larangannya telah ditegaskan dalam banyak ayat al- Quran, Hadis dan juga Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayah yang berlaku di provinsi Aceh yang wewenang mengadilinya diserahkan kepada Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai Lembaga Peradilan Agama di Aceh.
Dalam konteks fiqh hukuman (‘uqubat) bagi para pezina dalam Islam adalah sangat jelas, seorang pezina yang telah menikah (muhsan) lebih berat dari yang belum menikah (ghairu muhsan) yaitu dibunuh dengan cara dirajam sedangkan bagi orang yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Hukum hudud ini bisa dilaksanakan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu: Wilayah hukum resmi, adanya Mahkamah Syar’iyah, Peristiwa Terjadi di Dalam Wilayah Hukum, dan Kesaksian 4 Orang Atau Pengakuan Sendiri. Sedangkan dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, ‘uqubat (hukuman) dan syaratnya bagi pelaku zina telah diatur dalam Pasal 33 – 45 Qanun ini.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
A. Jazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH UII, 1991.
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayah





[1] Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Bag. Penerbitan FH UII, 1991), hlm. 2.
[2] A. Jazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 11.
[3] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 1
[4] Ketentuan Umum, Pasal 1 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah.
[5] A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 308
[6] Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 600
[7] Ketentuan Umum, Pasal 1 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Jinayah.
[8] Pasal 3 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Jinayah.
[9] Pasal  33-35 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Jinayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar