BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan,
yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial
ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan
kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam
bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan
manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada
maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi
penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan
wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik
kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).
Aplikasi
rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya
kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Karena dalam image masyarakat
beranggapan bahwa wakaf sebagai sedekah jariyah. Pemahaman “manfaat” atas harta
wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta
tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf
menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah
hilang.Mengantisipasi hal ini, Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan bagi
umat Islam di Indonesia telah memberanikan diri untuk membuka kemungkinan
dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak dapat dirasakan
lagi oleh masyarakat.
Terhadap jaminan kemungkinan pengalihfungsian ini perlu
ditela’ah lebih jauh, baik dari tataran dalil pensyariatannya ataupun dari
sudut wacana yang pernah dikemukakan oleh para ulama klasik. Wacana yang berkembang
di tengah para ulama menyangkut persoalan pengalihfungsian ini tak dapat
dilepaskan dari hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد
الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن
الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول
الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت
حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها
… (رواه البخارى)
“Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said,
menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada
kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku Ibn Umar
R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk mohon petunjuk. Umar berkata : “Ya
Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila engkau mau engkau dapat
menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya. Kemudian Umar
mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak menghibahkan dan
tidak mewariskannya (H.R al-Bukhari).
Hadis di atas secara tegas
menjelaskan bahwa fisik harta yang diwakafkan tidak dapat ditasharrufkan. Hak
sosial dari harta tersebut hanya menyangkut manfaat yang ada pada harta
tersebut. Hanya saja sebagian ulama mencoba memberikan penalaran akan
terbukanya kemungkinan mengalihfungsikan harta yang telah diwakafkan ke bentuk
baru dengan manfaat yang lebih terukur. Sebagai wakil dari pemikiran
kemungkinan ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiah, meskipun mereka
mengecualikan wakaf mesjid. Padahal Kompilasi Hukum Islam sama sekali tidak
memberikan pengecualian akan hal ini.
Untuk menjawab persoalan ini, maka
pemakalah mencoba menganalisanya melalui Makalah yang berjudul “Pengalihan
Harta Wakaf”
1.2.
Rumusan
Masalah
a. Apa
Pengertian Wakaf dan Dalil Tentang Wakaf ?
b. Apa Rukun
dan Syarat Wakaf ?
c. Bagaimana
Hukum Pengalihan Harta Wakaf ?
1.3.
Tujuan
Penulisan
a. Mengetahui Pengertian
dan Dalil Tentang Wakaf.
b. Mengetahui Rukun
dan Syarat Wakaf.
c. Mengetahui dan
Memahami Hukum Pengalihan Harta Wakaf
BAB DUA
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal
dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari ﻭﻗﻒ - ﻳﻘﻒ
- ﻭﻗﻔﺎ kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari ﺣﺒﺲ - ﻳﺤﺒﺲ - ﺣﺒﺴﺎ
artinya menahan[1].
Dalam pengertian istilah ulama berbeda redaksi dalam
memberi rumusan. Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan
Allah SWT. Dalam Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khattab disebutkan, wakaf adalah
menahan asal harta dan menjalankan hasil (buah) nya. Imam taqiyuddin Abi Bakr
lebih menekankan tujuannya, yaitu menahan atau menghentikan harta yang dapat
diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk memdekatkan diri kepada
Allah SWT. Al-Kazimy al-Qazwiny mendefinisikan, hakikat wakaf adalah menahan suatu
benda (‘ain) dan menjalankan manfaatnya[2].
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP.
No. 28/ 1997 menyatakan:
“Wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.”
Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf, Pasal 1 mendefinisikan pengertian wakaf sebagai berikut:
“Wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.”
Dari beberapa pengertian wakaf di
atas, dapat dipahami bahwa cakupan wakaf meliputi[3]:
1. Harta
benda milik seseorang atau sekelompok orang.
2. Harta
benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai.
3. Harta
tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
4. Harta
yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa dihibahkan, diwariskan, atau
diperjualbelikan.
5. Manfaat
dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut
fiqh islam yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, dikatakan “sah kita mewakafkan
binatang”. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan menurut satu riwayat, juga
imam Malik.[4]
Sejalan dengan tujuannya wakaf ada 2
macam, pertama, wakaf ahli disebut
juga wakaf keluarga. Yang dimaksud dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang
khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ada
ikatan keluarga atau tidak. menurut Nazaroeddin Rachmat, wakaf ahli banyak di
praktekkan di beberapa negara Timur Tengah. Setelah nenerapa tahun, ternyata
praktek wakaf ahli semacam itu menimbulkan banyak permasalahan. Banyak diantara
mereka yang diamanati sebagai nadhir menyalahgunakannya, misalnya[5]:
1.
Menjadikan wakaf
itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada
ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninngal dunia.
2.
Wakaf ahli
dijadikan alat untuk mengelak tuntutan kreditur atas utang-utangnya yang dibuat
si wakif sebelum mengwakafkan tanah (kekayaan) nya.
Oleh
karena itu, di beberapa negara tersebut, wakaf ahli dibatasi dan bahkan
dihapuskan, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Kedua,
wakaf khair atau wakaf umum. Wakaf umum ini ditujukan untuk kepentingan umum.
Seperti masjid, mushalla, madrasah, pondok pesantren, Perguruan Tingga Agama,
dan lain sebagainya. Wakaf umum ini, sejalan dengan perintah agama yang secara
tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekeyaan umat Islam untuk
kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala jariyah yang
tinggi. Artinya meskipun si wakif telah meninggal dunia, ia akan tetap menerima
pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut tetap digunakan unuk
kepentingan umum.[6]
Adapun
dasar hukum pensyariatan wakaf adalah[7]:
1.
Surat Al-Baqarah
267
$ygr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä(#qà)ÏÿRr&`ÏBÏM»t6ÍhsÛ$tBóOçFö;|¡2!$£JÏBur$oYô_t÷zr&Nä3s9z`ÏiBÇÚöF{$#(wur(#qßJ£Jus?y]Î7yø9$#çm÷ZÏBtbqà)ÏÿYè?NçGó¡s9urÏmÉÏ{$t«Î/HwÎ)br&(#qàÒÏJøóè?ÏmÏù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#;ÓÍ_xîîÏJym
Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji[8]
2.
Surat Ali-Imran
ayat 92
`s9(#qä9$oYs?§É9ø9$#4Ó®Lym(#qà)ÏÿZè?$£JÏBcq6ÏtéB4$tBur(#qà)ÏÿZè?`ÏB&äóÓx«¨bÎ*sù©!$#¾ÏmÎ/ÒOÎ=tæ
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya”.[9]
3.
Hadist Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا
مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu
yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no.
1631)
4. Hadis
Wakaf Umar
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري
حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب
أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني
أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها
وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها (رواه البخارى(
“Menceritakan kepada kami Qutaibah
ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari,
menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan
kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk mohon
petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila engkau
mau engkau dapat menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya. Kemudian
Umar mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak menghibahkan
dan tidak mewariskannya. (H.R al-Bukhari).
Dalam
konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah
menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia,
yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun
2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.
2.2.
Rukun dan
Syarat Wakaf
2.2.1.
Wakif, yaitu orang yang berwakaf
Syarat Wakif menurut
Hukum Islam adalah: merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak berada di bawah
pengampuan. Sedangkan syarat menurut UU
Nomor 41 Tahun 2004 adalah: dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf. Syarat
tersebut adalah bagi wakif yang bersifat perorangan tapi
wakif juga bisa berupa organisasi dan badan badan hukum. Jika
wakif berupa organisasi, UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran
dasar organisasiyang besangkutan tapi jika wakif berupa badan hukum, UU
menyerahkan persyaratan wakif kepada ketentuan badan hukum[10].
2.2.2.
Nadhir
Wakaf, yaitu Pengelola wakaf
Syarat
Nadhir (Pegelola wakaf): harus mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan
hukum, mukallaf sehingga ia bisa mengelola wakaf dengan baik, memiliki
kreatifitas (dzu ra’y). Ini
didasarkan pada tindakan Umar ketika menunjukan Hafshah menjadi Nadhir harta
wakafnya ini karena Hafshah dianggap mempunyai kreatifitas tersebut[11].
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi Nadhir dalam pasal 10 UU No. 41 Tahun
2004:
(1) Perseorangan
hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan:
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Beragama Islam
c.
Dewasa
d.
Amanah
e.
Mampu secara jasmani dan rohani
f.
Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
(2) Organisasi
hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan
a.
Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan Nadhir perseorangan
b.
Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.
(3) Badan hukum
hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan:
a.
Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi
persyaratan Nadhir perseorangan
b.
Badan hukum indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang
sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.[12]
2.2.3.
Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan
Syarat Maukuf
bih (Benda yang diwakafkan): Harus mempunyai nilai/berguna, benda
tetap (tidak bergerak) dan benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan,
benda yang diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan, benda yang diwakafkan
telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan. Sedangkan dalam UU Nomor
41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan ketentuan yang bersifat
umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan dikuasai wakif secara
sah.
2.2.4.
Maukuf
‘alaih, tujuan wakaf.
Syarat Maukuf
Alaih (tujuan wakaf) adalah dimanfaatkan dalam batas-batas yang
sesuai dan diperbolehkan menurut Syari’at Islam.
1. Sarana
ibadah dan kegiatan ibadah;
2. Sarana dan
kegiatan pendidikan serta kesehatan;
3. Bantuan
kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5. Kemajauan kesejahteraan umum
lainnya yang tidak bertentangan dengansyari’ah dan peraturan perundang-undangan[13].
2.2.5. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya.
Syarat Sighat
akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh
karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/tabarru” maka sudah dinggap
selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari
penerima wakaf.
Dalam UU
Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci sebagaimana
dalam fiqih. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa: “Wakaf sah
apabila dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap
memberikan kewenangan terhadap syari’at Islam untuk menilai keabsahan
pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini.[14]
2.3.
Alih Fungsi Harta Wakaf
2.3.1. Alih Fungsi Harta Wakaf Menurut Fuqaha’
Para ulama terdahulu membedakan jenis benda wakaf pada
dua macam, yaitu berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan
lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang
berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat melarang
untuk menukar atau menjualnya.[15]
Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab
Syafi’iyyah memperbolehkan untuk menukarnya, apabila tindakan demikian memang
benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.[16]
Namun, mereka berbeda
dalam menetukan persyaratannya. Ulama Hanafiah memperbolehkan penukaran benda
tersebut dalam tiga hal: 1) Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan
menukar benda tersebut ketika mewakafkannya, 2) apabila benda wakaf itu tidak
dapat lagi dipertahankan, dan 3) jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih
besar dan lebih bermanfaat.
Ulama Malikiyah juga menentukan tiga
syarat, yaitu: 1) wakif ketika ikrar mensyaratkan ditukar atau dijual, 2) benda
wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan
semula diwakafkannya, 3) apabila benda wakaf pengganti dibutukan untuk
kepentinagn umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya, dan sebagainya.[17]
Ulama Hanabilah lebih
tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk mesjid atau
bukan mesjid. Ibnu Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf boleh
ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan.
Misalnya, suatu mesjid yang tidak dapat lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan
tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat,
sementara ditempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.
Dasar pemikiran Ibnu
Taimiyah sangat praktis dan rasional.
Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat
diperlukan. Ibnu Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk
tentara yang sedang berjihad fi
sabilillah,setelah berperang, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam
kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan suatu
benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar, seperti mesjid
dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid
baru yang lebih luas dan lebih baik. Dalam hal ini, mengacu kepada tindakan
Umar bin Khattab, ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama ke
tempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap mesjid
Nabawi.
Lebih jauh ia
mengemukakan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh adalah untuk
menghindari kemungkinan timbulnya perusakan atau setidaknya penyia-nyiaaan
benda wakaf itu. Ini sejalan dengan kaidah:
ﺩﺭﺃﺍﳌﻔﺎﺳﺪﻣﻘﺪﻡﻋﱃﺟﻠﺐﺍﳌﺼﺎﻟﺢ
“Menghindari
kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.”
2.3.2. Alih Fungsi Harta Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan KHI[18]
Dalam UU No.41
tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur mengenai perubahan
dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi
sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis
dari menteri dan pencatatan Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Namun, harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya
karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda
yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf
semula.
Dalam Pasal 40 dijelaskan
bahwa harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan,
dijual, diwariskan, dan ditukar. Pasal 41 menjelaskan perubahan status
wakaf atau penukaran harta wakaf dapat dilakukan apabila harta benda wakaf yang
telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum
tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41
tentang wakaf bahwa harta benda wakaf tidak dapat ditukarkan kecuali karena
alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat
dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan
keagamaan secara langsung dan mendesak. Harta benda wakaf yang telah dirubah
statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai tukar
sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Penukaran dapat
dilakukan oleh Menteri Agama RI setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah
daerah kabupaten/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama
Indonesia kabupaten/kota, kantor Departemen Agama Kabupaten/kota, dan Nazhir
tanah wakaf yang bersangkutan.
Adapaun dalam pasal 225
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:
(1) Pada
dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan
dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala
Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan
wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
2.4. Tujuan Wakaf[19]
Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu pengkaderan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syariat Islam, diantaranya:
Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu pengkaderan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syariat Islam, diantaranya:
1. Membela agama, yaitu beramal karena untuk
keselamatan hamba pada hari akhir kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi sebab
keselamatan, penambahan pahala, dan pengampunan dosa.
2.
Memelihara hasil capaian manusia. Manusia menggerakkan hasratnya untuk selalu
terkait dengan apa yang ia miliki, menjaga peninggalan bapak-bapaknya, nenek
moyangnya. Maka, ia mengkhawatirkan atas kelestarian dan kelanggengan harta
benda peninggalan tersebut, ia khawatir kalau-kalau anaknya akan melakukan
pemborosan, hura-hura, foya-foya. Maka, ia pun menahan harta-benda tersebut dan
mendayagunakannya, hasilnya bisa dinikmati oleh anak keturunannya ataupun
publik, adapun pokok hartanya tetap lestari.
3.
Menyelamatkan keadaan sang wakif. Misalnya ada seseorang yang merasa asing,
tidak nyaman dengan harta-benda yang ia miliki, atau merasa asing dengan
masyarakat yang ada di sekelilingnya, atau ia khawatir tidak ada yang akan
mengurusi harta bendanya kelak jika ia sudah wafat, karena tidak punya
keturunan atau tidak ada sanak kerabat, maka dalam keadaan seperti ini yang
terbaik baginya adalah menjadikan harta bendanya tersebut sebagai harta fii
sabilillah sehingga ia bisa menyalurkan manfaat/hasil dari harta bendanya
tersebut ke berbagai sarana publik.
4.
Memelihara keluarga. Yaitu untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan
orang-orang yang ada dalam nasabnya. Maka, dalam keadaan ini, seseorang
mewakafkan harta-bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya,
sebagai cadangan disaat-saat mereka membutuhkannya.
5.
Memelihara masyarakat. Bagi orang-orang yang memiliki atensi besar terhadap
kelangsungan hidup masyarakat, maka ia kewakafkan harta-bendanya untuk tujuan
itu, dengan harapan bisa menopang berbagai tanggung jawab urusan sosial-kemasyarakatan.
BAB TIGA
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Para Ulama membedakan
jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang
bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Terhadap benda wakaf yang berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian
Hanabilah, sepakat melarang untuk menukar atau menjualnya. Sementara terhadap
benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi’iyyah memperbolehkan
untuk menukarnya dengan syarat-syarat tertentu dan apabila tindakan demikian
memang benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.
Sedangkan
menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004, Pasal 40 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2006 bahwa harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan,
disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan ditukar, kecuali
karena alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat
dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan
keagamaan secara langsung dan mendesak.
Berdasarkan
pendapat para fuqaha’ dan UU NKRI tentang wakaf, dapat dianalisa bahwasanya
pengalihan harta wakaf itu diperbolehkan atas mempertimbangkan manfaatnya
dengan syarat apabila telah dilakukannya pengalihan harta wakaf, manfaatnya
lebih besar untuk kemaslahatan masyarakat daripada manfaat harta semula.
Dalam
hal pemberian isyarat oleh si wakif terhadap dibolehkannya benda wakaf tersebut
ditukar atau dijual manakala kondisinya sangat mendesak, itu hanya berlaku
relatif, karena tidak semua wakif mengisyaratkan boleh atau tidaknya harta
wakaf tersebut untuk ditukar atau dijual. Maka oleh itu, pengambilan keputusan
mengenai pengalihan harta wakaf jangan terpaku kepada teks nash yang kaku akan
tetapi jiwa dan tujuan pokok wakaf untuk merealisasikan kemaslahatan haruslah
dikedepankan. Karena bagaimanpun juga, yang jauh lebih penting diperhatikan
adalah kelestarian dan kesinambungan nilai manfaat wakaf itu bagi kepentingan
kaum muslimin.
3.2. Saran
Demikianlah
makalah yang kami presentasikan dalam mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia, kami sadari makalah kami masih jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kami sangat mengharap kritikan serta saran yang membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan hasil diskusi kita semua.
[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 395.
[2]Ibid.
[3]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 491.
[4]T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 179.
[5]Ibid., hlm.
492.
[7]Adijani
al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia
Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
26.
[8]Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1979), hlm. 47.
[9] Ibid., hlm.
91.
[10]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di ...,
hlm. 399.
[11]Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 269.
[12]Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam di ...,
hlm. 401.
[13]Ibid.,
hlm. 410.
[15]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid
10 (terj. As’ad Yasin), (Jakarta:
Gema Insani, 2011), hlm. 324.
[17]Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam di ...,
hlm. 449.
[18]Kementerian Agama RI,
DirektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam, DirektoratPemberdayaanwakaf, HimpunanPeraturanPerundang-UndanganTentangWakaf,
(Jakarta: Kemenag, 2012), hlm.
80-82.
Assalaamualaikum wbt
BalasHapusBismillahirrohmaanirrohiim
Mohon share jzkk atas perkongsian ilmu moga diterima sebagai amal soleh In Syaa Allah Aamiin Allahumma Aamiin