BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan
dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam
lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari
oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan
rumah tangga.
Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri
tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah
tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang
berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual,
dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004, selain mengatur ihwal
pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga
mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar
mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang
sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Terbentuknya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004
Tanggal 22
September 2004 bisa
jadi merupakan tanggal
bersejarah bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya,
satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan isu
perempuan, yakni upaya
pencegahan dan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga
akhirnya membuahkan hasil.
Pemerintah dan DPR
RI akhirnya sepakat
untuk mengesahkan
Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan
undang-undang PKDRT.
Kelahiran
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 ini dipelopori oleh sejumlah LSM / Ormas
Perempuan yang tergabung dalam Jangkar ( 1998-1999). LSM ini terdiri dari LBH
APIK Jakarta (Sebagai penggagas dan
pembuat draft awal
sejak tahun 1997),
Rifka An-Nisa, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Fatayat dan
Muslimat NU, Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta dan Derapwarapsari. Selanjutnya
ketika melebur menjadi
jangka PKTP (
Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan
) (2000-2004), anggota
jaringan semakin bertambah menjadi
92 LSM/Ormas Perempuan,
lembaga-lembaga Profesional seperti lembaga advokat juga turut terlibat
dalam mengadvokasikan undang-undang PKDRT ini[1].
Pada tahun
2001, Rencana Aksi
Nasional untuk Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP)
dicanangkan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan. Dan
pada tahun 2002, ditandatangani sebuah
Surat Kesepakatan Bersama
( SKB )
antara Menteri Pemberdayaan Perempuan
RI, Menteri Kesehatan
RI dan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesepakatan
ini menyangkut pelayanan
terpadu bagi korban
kekerasan terhadap perempuan dan
anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam
bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan
hukum.
Di tingkat
daerah, Gubernur Provinsi
Bengkulu mengeluarkan Surat
Keputusan ( SK )
No. 751
tahun 2003 tentang
pembentukan tim penanganan
terpadu bagi perempuan
dan anak korban kekerasan. SK
tersebut ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003. Ini pada intinya membentuk tim
penanganan terpadu bagi
perempuan dan anak
korban kekerasan yang mempunyai cakupan
kerja di bidang
pencegahan, penanganan dan
pemulihan, serta pendidikan dan advokasi.
Tim ini beranggotakan
wakil-wakil dari lingkungan
pemerintah, LSM dan Lembaga Professional lainnya.
Di tingkat
regional, Menteri Luar
Negeri Negara-negara ASEAN
menandatangani Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan, di Jakarta
pada tanggal 13
Juni 2004. Deklarasi ini
berisi dorongan kerjasama
regional dalam mengumpulkan
dan mendeseminasikan data untuk
memerangi kekerasan terhadap
perempuan. Promosi pendekatan
holistik dan terintegrasi dalam
mengeliminasi kekerasan terhadap
perempuan, dorongan untuk
melakukan pengarusutamaan
gender, dan membuat
serta mengubah undang-undang domestik
untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Adapun yang
menjadi gagasan dan
latar belakang pentingnya
pembentukan sebuah
undang-undang PKDRT didasarkan
atas pengalaman para
perempuan korban kekerasan
yang terjadi di ranah
domestik, rumah tangga
ataupun keluarga. Kekerasan
dalam rumah tangga semakin menunjukkan
peningkatan yang signifikan
dari hari kehari,
baik kekerasan dalam bentuk
fisik, psikologis, maupun
kekerasan seksual dan
kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut
sudah menjurus dalam
bentuk tindak pidana
penganiayaan dan ancaman kepada korban, yang dapat menimbulkan
rasa tidak aman, rasa ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan
pada seseorang.
Berdasarkan catatan
tahunan tentang kekerasan
terhadap perempuan yang
disampaikan oleh Komnas Perempuan,
tercatat angka kekerasan
terhadap perempuan mulai
dari tahun 2001 hingga 2004 terus mengalami peningkatan
yang signifikan. Pada tahun 2001 tercatat 3.160 kasus dan pada
tahun 2002 meningkat
menjadi 5.163 kasus,
tahun 2003 meningkat
menjadi 7.787 kasus, dan tahun
2004 mengalami peningkatan hampir seratus persen menjadi 13.968 kasus, dari
jumlah 13.968 kasus ini, 4.310 kasus terjadi di dalam rumah tangga.
Tahun 2002,
RUU diajukan
ke komisi VII
DPR RI dan
diseminarkan di DPR. Perkembangan penting
itu muncul setelah
Rapat Paripurna DPR
lalu memutuskan membahas RUU
KDRT ke dalam
bamus DPR. Puncaknya
pada tanggal 13
Mei 2003, melalui
sidang paripurna di DPR, RUU Anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan
secara resmi menjadi RUU Inisiatif DPR[2].
Meskipun bermula
dari desakan aktivis
perempuan, selanjutnya menjadi
penting untuk dipahmi oleh
berbagai kalangan di
negeri ini bahwa
legislasi RUU Anti
KDRT merupakan keharusan bagi
Indonesia sebagai Negara
yang telah meratifikasi beberapa
konvensi Internasional
tentang perempuan, terutama
setelah disetujuinya konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan
tahun 1979, yang
diratifikasi oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1984 dan bukan
karena desakan aktivis perempuan.
Sebagai konsekuensi
dari ratifikasi ini Indonesia harus melakukan :
1. Pembentuk
hukum dan atau
harmonisasi hukum sesuai
kaidah hukum yang
terdapat dalam konvensi tersebut. Kewajiban
ini dilakukan dengan
mengkaji peraturan perundang
– undangan atau membuat
peraturan perundangan baru
berdasarkan konvensi yang
telah diratifikasi.
2. Penegakan
hukum mengenai hak-
hak perempuan melalui pengadilan
nasional dan lembaga pemerintah lainnya.
Pembahasan RUU anti
KDRT di DPR ( Pansus Komisi VII ) yang mulai pada tanggal 22 Agustus 2004
berlangsung cepat ( tidak sampai 1 bulan),
namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa
anggota dewan terhadap
terobosan hukum yang
menjadi dasar munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/
jenis KDRT yang mencakup marital rape ( perkosaan dalam perkawinan), hukum
acara tentang pembuktian
dan peran –
peran aparat. Pemerintah
juga mempunyai versi tandingan
mengenai draft RUU
KDRT, namun draft
tersebut dianggap mengecewakan,
bisa dikatakan hampir memangkas semua hal- hal krusial yang menjadi ruh dari
RUU tersebut. Alsannya
karena semua usulan
baru dalam RUU
pada dasarnya sudah
diatur dalam KUHP/ KUHAP.
Beberapa catatan dari
RUU versi pemerintah,
yang tidak responsive antara lain :
1. Judul dan keseluruhan pengaturan
undang-undang, terbatas hanya mengatur soal perlindungan terhadap korban. Judul
RUU sandingan pemerintah adalah RUU perlindungan korban KDRT.
2. Tidak
mengakui dua bentuk
kekerasan : kekerasan
ekonomi dan kekerasan
seksual yang terjadi dalam
lingkup perkawinan ( diskualifikasi terhadap marital rape dan inses ).
3. Mengembalikan
hampir semua terobosan
hukum acara pada
KUHAP, seperti “
satu saksi adalah saksi “.
4. Tidak menerima ketentuan tentang kompensasi
dan saksi alternative[3].
Meskipun demikian,
upaya loby ke
pemerintah untuk memperbaiki
draftnya terus dilakukan secara
intensif melalui forum
pertemuan (Posko Informasi
) yang diselenggarakan di rumah
Menteri Pemberdayaan Perempuan.
Pada akhirnya berjalan
efektif dalam menjembatani perbedaan pendapat antara
kelompok perempuan dan pemerintah.
Setelah melalui
sidang pleno, RUU
KDRT tersebut dilanjutkan
ke sidang paripurna melalui pendapat
dari berbagai fraksi dalam
rangka memutuskan apakah
DPR menolak atau mengesahkan RUU KDRT menjadi
Undang-undang.
B. Dasar Dan Tujuan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004
1. Dasar dari Undang-undang PKDRT adalah :
a.Penghormatan
Terhadap HAM.
b.Keadilan dan
kesetaraan gender.
c.Non Diskriminasi,
dan
d.Perlindungan
Korban.
2. Sedangkan tujuan UU PKDRT ialah :
a.Mencegah segala
bentuk KDRT.
b.Melindungi Korban
KDRT.
c.Menindak Pelaku
KDRT.
d.Memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera[4].
C.
ISI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa segala
bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus;
c.
bahwa dalam
kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan
system hokum di Indonesia belum menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga;
d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan seba¬gaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c
dan huruf d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah
tangga.
2.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3.
Korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
4.
Perlindungan adalah segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh
pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5.
Perlindungan Sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial
atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
6.
Perintah Perlindungan adalah
penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada
korban.
7.
Menteri adalah menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam
Undang-Undang ini meliputi:
a.
suami, isteri, dan anak;
b.
orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud ada huruf a karena hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c.
orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2)
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJ UAN
ASAS DAN TUJ UAN
Pasal 3
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
penghormatan hak asasi manusia;
b.
keadilan dan kesetaraan gender;
c.
nondiskriminasi; dan
d.
perlindungan korban
Pasal
4
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a.
mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga;
b.
melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga;
c.
menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga; dan
d.
memelihara keutuhan rumah tangga
yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.
kekerasan fisik;
b.
kekerasan psikis;
c.
kekerasan seksual; atau
d.
penelantaran rumah tangga
Pasal 6
Kekerasan
fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal
7
Kekerasan
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Pasal
8
Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.
pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/at
c.
a
d.
u tujuan tertentu.
Pasal
9
1.
Setiap orang dilarang menelantarkan
orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2.
Penelantaran sebagaimana dimaksud
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban
berhak mendapatkan:
a.
perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak
Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
b.
pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis;
c.
penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban;
d.
pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.
pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal
12
(1) Untuk
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
a.
merumuskan kebijakan tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b.
menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c.
menyelenggarakan sosialisasi dan
advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.
menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta
menetapkari standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakah oleh menteri.
(3) Menteri
dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal
13
Untuk
penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat mei kukan upaya:
a.
penyediaan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian;
b.
penyediaan aparat, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.
pembuatan dan pengembangan sistem
dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah
diakses oleh korban; dan
d.
memberikan perlindungan bagi
pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal
14
Untuk
menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan
kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.
Pasal
15
Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk :
a.
mencegah berlangsungnya tindak
pidana;
b.
memberikan perlindungan kepada
korban;
c.
memberikan pertolongan darurat; dan
d.
membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
PERLINDUNGAN
Pasal 16
1.
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan
dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban.
2.
Perlindungan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban
diterima atau ditangani.
3.
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan.
Pasal
17
Dalam
memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
Pasal
18
Kepolisian
wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat
pelayanan dan pendampingan.
Pasal
19
Kepolisian
wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal
20
Kepolisian
segera menyampaikan kepada korban tentang:
a.
identitas petugas untuk pengenalan
kepada korban;
b.
kekerasan dalam rumah tangga adaiah
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c.
kewajiban kepolisian untuk
melindungi korban.
Pasal
21
(1) Dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:
a.
memeriksa kesehatan korban sesuai
dengan standar profesinya;
b.
membuat laporan tertulis hasil
pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2)
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal
22
(1) Dalam memberikan pelayanan,
pekerja sosial harus:
a.
melakukan konseling untuk menguatkan
dan memberikan rasa aman bagi korban;
b.
memberikan informasi mengenai
hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
c.
mengantarkan korban ke rumah aman
atau tempat tinggal alternatif; dan
d.
melakukan koordinasi yang terpadu
dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial,
lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan
pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik
pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal
23
Dalam
memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
a.
menginformasikan kepada korban akan
haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b.
mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing
korban untuk secara objektif dan Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya;
c.
mendengarkan secara empati segala
penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d.
memberikan dengan aktif penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal
24
Dalam
memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal
25
Dalam
hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a.
memberikan konsultasi hukum yang
mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b.
mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban
untuk secara Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
atau
c.
melakukan koordinasi dengan sesama
penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan
berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal
26
(1) Korban
berhak melaporkan secara Iangsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian balk di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
(2) Korban
dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban
berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal
27
Dalam
hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
28
Ketua
pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan
wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi
korban clan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal
29
Permohonan
untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
a.
korban atau keluarga korban;
b.
teman korban;
c.
kepolisian;
d.
relawan pendamping; atau
e.
pembimbing rohani
Pasal 30
1.
Permohonan perintah perlindungai
disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
2.
Dalam hal permohonan diajukan secara
lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohorian tersebut.
3.
Dalam hal permohonan perintah
perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan
pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan
persetujuannya.Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa
persetujuan korban.
Pasal
31
(1) Atas permohonan korban atau
kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
a.
menetapkan suatu kondisi khusus;
b.
mengubah atau membatalkan suatu
kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pewpajuan
perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal
32
1.
Perintah perlindungan dapat
diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
2.
Perintah perlindungan dapat
diperpanjang atas penetapan pengadilan.
3.
Permohonan perpanjangan Perintah
Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
1.
Pengadilan dapat menyatakan satu
atau Iebih tambahan perintah perlindungan.
2.
Dalam pemberian tambahan perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal
34
1.
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan.
2.
Dalam pemberian tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari
korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani.
Pasal
35
1.
Kepolisian dapat menangkap untuk
selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang
diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut
tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
2.
Penangkapan dan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan
dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
3.
Penangguhan penahanan tidak berlaku
terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal
36
1.
Untuk memberikan perlindungan kepada
korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup
karena telah melanggar perintah perlindungan.
2.
Penangkapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah
penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal
37
1.
Korban, kepolisian atau relawan
pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
2.
Dalam hal pengadilan mendapatka:
aporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan
menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan
pemeriksaan.
3.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama
korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal
38
1.
Apabila pengadilan mengetahui bahwa
pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan
pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat
pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah
perlindungan.
2.
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan
surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
3.
Penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk
kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a.
tenaga kesehatan;
b.
pekerja sosial;
c.
relawan pendamping; dan/atau
d.
pembimbing rohani.
Pasal
40
1.
Tenaga kesehatan wajib memeriksa
korban sesuai dengan standar profesinya.
2.
Dalam hal korban memerlukan
perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban.
Pasal
41
Pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal
42
Dalam
rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal
43
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyeienggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
1.
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2.
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka
berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3.
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4.
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal
45
1.
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2.
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal
46
Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal
47
Setiap
orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah)
atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal
48
Dalam
hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat)
minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal
49
Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
a.
menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.
menelantarkan orang lain sebagaimana
dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal
50
Selain
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:
a.
pembatasan gerak pelaku balk yang
bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu,
maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b.
penetapan pelaku mengikuti program
konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal
51
Tindak
pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan.
Pasal
52
Tindak
pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan.
Pasal
53
Tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal
55
Sebagai
salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
menempatkannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian-uraian pada pembahasan
sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. KDRT dapat berdampak pada korban, yang
mayoritas korbannya ialah kaum perempuan, anak, dan masyarakat lainnya.
3. Ketentuan pidana untuk pelaku KDRT dapat
dikenakan ancaman penjara maupun denda, sesuai dengan kekerasan yang dilakukan
terhadap korban.
DAFTAR
PUSTAKA
Nursyahid,
Lima Undang-undang Republik Indonesia
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia & Pengadilan Anak, ( Jakarta
: BP. Panca Usaha, 2007)
Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk
Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, (Jakarta:
LBH-APIK, 2005)
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004
[1]
Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk
Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, (Jakarta:
LBH-APIK, 2005) hal. 3.
[2]
Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : “Lahirnya UU Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga . . . hal.
5.
[3]
Ibid
[4] Nursyahid, Lima
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia
& Pengadilan Anak, ( Jakarta : BP. Panca Usaha, 2007), hal 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar