BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tunisia adalah sebuah
negara Arab yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus
mensyaratkan bahwa seorang calon presiden harus beragama Islam. Jumlah
penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa (data tahun 2000). Dari jumlah tersebut, 97%
beragama Islam, sisanya Kristen 2% dan Yahudi 1%.
Sejak masuk dan
berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas penduduknya menganut mazhab Maliki.
Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi sebagai konsekuensi
dari posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti Usmaniyah (sejak
tahun 1574). Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia (1881), mereka memberikan
otoritas berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan
kasus-kasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah.
Dalam perjalanannya,
secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis.
Sehingga out put sistem hukum yang
dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki
dan Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).
Pada tanggal 20 Maret
1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu, pemerintah Tunisia
memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Undang-undang tersebut
bernama Majallah al-Ahwal Al-Syakhsiyah No. 66 tahun 1956. Majallah itu sendiri
mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang
berbeda dengan ketetapan hukum Islam Klasik.
1.2.Rumusan Masalah
a.
Bagaimana Profil Negara Tunisia ?
b.
Bagaimana Proses pembentukan Hukum
Keluarga di Tunisia ?
c.
Apa saja materi Hukum Keluarga di Tunisia
?
1.3.Tujuan Penulisan
a.
Diharapkan pembaca dapat mengetahui
profil dari Negara Tunisia.
b.
Diharapkan Pembaca dapat mengetahui
tentang proses dari pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia.
c.
Diharapkan pembaca dapat mengetahui
dan memahami tentang materi Hukum Keluarga di Tunisia.
BAB DUA
PEMBAHASAN
2.1.Profil Negara Tunisia
Republik
Tunisia merupakan salah satu Negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah
Barat berbatasan dengan Algeria, Utara dan Timur dengan Mediterania dan Selatan
Libya. Turnisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah Timur, Sementara di
bagian Tenggara termasuk kepulauan Djerba. Tunisia mempunyai penduduk 7.424.000
(data tahun 1986), dan hampir 97% memeluk agama Islam. Negara yang memiliki
luas wilayah 163.610 km2 ini memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956,
dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 propinsi.
Sebelumnya, Tunisia merupakan wilayah Otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan
pada tahun 1883 menjadi Negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa, dan pada tahun 1956 Tunisia
memperoleh status merdeka[1].
Pada tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Prancis secara
resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama, Presiden Habib
Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan Personal Status Code untuk menggantikan hukum
al-Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan ini tidak
hanya menentang beberapa praktek Muslim tradisional bahkan menyatakan
konfrontasi dengannya.
Berdasarkan
konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi Negara. Sedangkan Mazhab Maliki
mempunyai pengaruh yang sangat dominan di Negara tersebut. Latar belakang Tunisia
memberi gambaran kepada kita bahwa setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku hukum
Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh
pemerintahan dinasti Usmani[2].
2.2.Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia
Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi
setelah Negara ini memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa
ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap
mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum
keluarga dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan situasi dan
kondisi sosial di
Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua
sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan dengan judul Laihat Majallat al Ahkam al Syar’iyyah
(Draf Undang-Undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite
dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad Ja’it, guna merancang Undang-Undang
secara resmi[3].
Bersumber dari Laihat
dan Undang-Undang Hukum Keluarga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki Usmani,
panitia tersebut mengajukan Rancangan Hukum Keluarga kepada pemerintah.
Rancangan tersebut akhirnya diundangkan dengan judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah (Code of Personal Status) tahun 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan
diundangkan ke seluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun,
dalam perjalanannya, Undang-Undang ini mengalami modifikasi dan perubahan
(amandemen) beberapa kali, yaitu melalui UU No. 70/1958, UU No. 41/1962, UU No.
1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir, menurut catatan Tahir Mahmood, Mengalami
amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981[4].
Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berdasarkan
mazhab Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab
hukum Islam lain. Jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lain, reformasi
bidang hukum yang diintroduksikan di Tunisia lebih revolusioner
2.3. Materi Hukum Keluarga di Tunisia
2.3.1. Usia Perkawinan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan
perkawinan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang
merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, yang mana sebelum dirubah, ketentuan
usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan
ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk
boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 harus mendapat izin
dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat
diputuskan di pengadilan. Akan tetapi Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini
berubah, yaitu bahwa untuk dapat melansungkan perkawinan, seorang laki-laki
harus sudah mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai usia 17 tahun.
Sehingga bagi mereka yang belum sampai batas usia tersebut, harus mendapat izin
khusus dari pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalau tidak ada
alasan-alasan yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak[5].
Disamping itu, pernikahan di bawah umur memerlukan
persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin padahal kedua belah
pihak sudah berhasrat melakukan pernikahan, perkara tersebut dapat diputuskan
di pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari
ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki. Sebab tidak ada batasan
yang jelas mengenai usia nikah dalam kitab-kitab tersebut.
2.3.2. Perjanjian Perkawinan
Undang-Undang
tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar
al-syart dalam perkawinan. Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak
yang dirugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan
pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi
jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna[6].
2.3.3. Poligami
Pasal
18 Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristeri lebih dari
seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian pula, Undang-Undang ini secara
tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah, dan nikahnya belum
putus secara hukum, menikah lagi, dapat diancam hukuman penjara satu (1) tahun
atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim[7].
Adapun
dasar larangan poligami yang digunakan pemerintah Tunisia adalah: (1) bahwa
poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang selamanya tidak
dapat diterima mayoritas umat manusia di manapun; (2) Syarat Mutlak seorang
suami boleh poligami adalah berlaku adil pada isteri-isterinya. Sementara fakta
sejarah membuktikan bahwa hanya nabi yang dapat berlaku adil terhadap
isteri-sterinya[8].
Larangan ini mempunyai landasan hukum pada ayat al-Qur’an, yang menyatakan
bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak
mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
Artinya:“dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya[9].”
Ayat di atas telah dibatasi oleh QS. an-Nisa ayat 129
yang berbunyi:
Artinya:“dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[10].”
Dengan demikian, idealnya al-Quran
tentang perkawinan adalah monogami. Syarat yang diajukan supaya suami berlaku
adil terhadap istri-istrinya adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan
tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya[11].
2.3.4. Pernikahan yang Tidak Sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang Hukum
Keluarga di Tunisia adalah[12]:
1.
Perkawinan yang bertentangan dengan
dasar-dasar perkawinan (pasal 21);
2.
Perkawinan tanpa persetujuan dari
salah satu pihak suami/istri (pasal 3);
3.
Perkawinan yang dilakukan sebelum
usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain (pasal 5);
4.
Perkawinan yang di dalamnya terdapat
halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17); dan
5.
Menikah dengan wanita yang masih
dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan yang tidak sah seperti di atas dapat segera
dianulir, Akibat
hukum yang lahir, jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna (ba’da ad dukhul) istri berhak atas mahar
dan kewajiban menjalani masa iddah, Sedangkan apabila
perceraian terjadi sebelum dukhul istri
berhak terhadap mahar musamma[13]. Anak yang lahir dapat
disandarkan nasabnya kepada suami[14], akan tetapi tidak
berhubungan dalam hal harta warisan antara dua pihak tersebut.
2.3.5. Perceraian
Di Tunisia, perceraian yang disampaikan secara sepihak
tidak dapat berakibat jatuhnya talak. Perceraian dapat berlaku secara pasti dan
efektif hanya apabila diputuskan oleh pengadilan.
Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang
diajukan oleh isteri dengan alasan suami gagal memberikan nafkah, atau karena
kedua belah pihak telah sepakat mengakhiri perkawinan. Pengadilan juga dapat
memutuskan perceraian apabila salah satu pihak secara sepihak bermaksud
bercerai, perceraian berhak ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan
terjadinya perceraian hanya diberikan dalam segala kondisi, apabila upaya perdamaian
pasangan suami isteri tersebut gagal dicapai[15].
2.3.6. Talak Tiga (Triple Disvorce)
Pasal 19 UU 1954 Tunisia menyatakan bahwa seorang pria
dilarang merujuk bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain kubra).
Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat
permanen untuk pernikahan[16].
2.3.7. Nafkah Bagi Isteri
Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip
mazhab maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini
secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan
bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai
biaya hidup untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah, tergantung
kemampuan suami (pembayar) dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada
saat itu (pasal 52)[17].
Fiqih mazhab Maliki yang banyak menjadi sumber rumusan
undang-undang Tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah
terjadi dukhul dan suami telah baliq
(dewasa). Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu
pendapat imam Asy-Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami harus baliq (dewasa)[18].
2.3.8. Pemeliharaan Anak
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan
kewajiban orang tua dan para wali (guardian)
terhadap pemeliharaan anak (custody).
Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip
mazhab Maliki, dalam fiqh mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki
mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu
punya kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibulah yang lebih mengerti dan
mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar daripada ayah,
karena itulah, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak[19]. Formulasi fiqh juga
menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi
terputus apabila ibu melangsungkan perkawinan. Sebab ada prediksi bahwa ibu
akan lalai dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup
dengan tenang dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak
berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan nenek merupakan nenek secara langsung
dari anak tersebut[20].
Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981,
menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak meninggal dunia
sedangkan sebelumnya perkawinan telah bubar, maka hak hadhanah tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup.
Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup, hak
pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau boleh diserahkan kepada
pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan
anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan
(pasal 67). Sedangkan dalam mazhab Maliki dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki
sudah mencapai usia baliq dan anak perempuan sudah menikah[21]. Hal ini berbeda dengan
pendapat mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah baliq.
2.3.9. Hukum Waris
Berkaitan dengan permasalahan warisan, Tunisia secara
umum hanya melakukan kodifikasi
terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal
terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada
pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88
yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan
kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau
mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak
berhak mendapat warisan dari almarhum, ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i[22].
2.3.10. Wasiat Beda Agama dan Kewarganegaraan
Diantara ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal
sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah
wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175).
Jika negara mushaa lah (penerima wasiat) tidak
menghalangi wasiat dari orang seperti mushii
(pemberi wasiat), sebagai aplikasi asas persamaan dan sistem pertukaran satu
sama lain, maka wasiat diperbolehkan apabila negara mushii memperbolehkan akad semacam wasiat, tapi wasiat dicegah
apabila negara tersebut tidak memperbolehkannya[23].
Sedangkan bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis
yang bertanggal dan ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral
dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).
2.3.11. Wasiat Wajibah
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan
oleh UU waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal
kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hukum kekeluargaan
dan kewarisan pada beberapa negara Islam telah menetapkan adanya wasiat semacam
ini yang memberikan bagian yang tetap bagi cucu dari peninggalan kakek apabila
anaknya (ayah si cucu) meninggal dunia sewaktu kakek masih hidup. Undang-Undang
ini terkenal dengan istilah “Qanun Wasiyat Wajibah”[24].
Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam
Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan
bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal
192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar
dari bagian cucu perempuan[25].
BAB TIGA
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Proses perumusan dan penataan
hukum keluarga Islam di Tunisia, tidak hanya sekedar upaya kodifikasi
(pembukuaan) fikih mazhab Maliki, akan tetapi juga melakukan langkah-langkah
progresif dan revolusioner dalam upaya melakukan legislagi dan regulatory
(pengaturan administrasi) dalam bidang hukum, khususnya Hukum Keluarga.
Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan
yang ada tidak bermaksud untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan
prinsip-prinsip Hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah
untuk menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kemaslahatan bangsa dan rakyat Tunisia.
3.2. Saran
Demikianlah makalah yang kami
presentasikan dalam mata kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Dunia Islam,
kami sadari makalah kami masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami sangat
mengharap kritikan serta saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan hasil diskusi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama R.I., Al Quran dan Terjemahannya, Semarang:
CV. Toha Putra, 1989.
HM. Atho’ Muzdhar dan
Khairuddin Nasution ed., Hukum Keluarga
di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Ibnu Rusyd, Hukum Tarjamah Bidayatul Mujtahid, terj. Abdurrahman, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990.
Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’, terj. Nur Alim, Asep Saefullah dan Rahmat Hidayatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMia, 2009.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,terj.
Basalamah, Jakarta: Gema Insani,
1995.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Studi Pembandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah
Dan Negara-Negara Islam), Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, terj. Asep Sobari dkk., Jakarta: Al-I’tishom, 2008.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid 10, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terj.
As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani,
1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar