Jumat, 09 Juni 2017

Makalah Hukum Keluarga di Negara Tunisia

BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
            Tunisia adalah sebuah negara Arab yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus mensyaratkan bahwa seorang calon presiden harus beragama Islam. Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa (data tahun 2000). Dari jumlah tersebut, 97% beragama Islam, sisanya Kristen 2% dan Yahudi 1%.
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574). Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia (1881), mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah.
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga out put sistem hukum yang dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).
Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu, pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Undang-undang tersebut bernama Majallah al-Ahwal Al-Syakhsiyah No. 66 tahun 1956. Majallah itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam Klasik.

1.2.Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Profil Negara Tunisia ?
b.      Bagaimana Proses pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia ?
c.       Apa saja materi Hukum Keluarga di Tunisia ?

1.3.Tujuan Penulisan
a.       Diharapkan pembaca dapat mengetahui profil dari Negara Tunisia.
b.      Diharapkan Pembaca dapat mengetahui tentang proses dari pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia.
c.       Diharapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang materi Hukum Keluarga di Tunisia.



BAB DUA
PEMBAHASAN

2.1.Profil Negara Tunisia
            Republik Tunisia merupakan salah satu Negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah Barat berbatasan dengan Algeria, Utara dan Timur dengan Mediterania dan Selatan Libya. Turnisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah Timur, Sementara di bagian Tenggara termasuk kepulauan Djerba. Tunisia mempunyai penduduk 7.424.000 (data tahun 1986), dan hampir 97% memeluk agama Islam. Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 km2 ini memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 propinsi. Sebelumnya, Tunisia merupakan wilayah Otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi Negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa, dan pada tahun 1956 Tunisia memperoleh status merdeka[1].
            Pada tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Prancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama, Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan kontroversial yang dinamakan Personal Status Code untuk menggantikan hukum al-Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadhanah. Aturan ini tidak hanya menentang beberapa praktek Muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya.
            Berdasarkan konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi Negara. Sedangkan Mazhab Maliki mempunyai pengaruh yang sangat dominan di Negara tersebut. Latar belakang Tunisia memberi gambaran kepada kita bahwa setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku hukum Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh pemerintahan dinasti Usmani[2].

2.2.Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia
            Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah Negara ini memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan dengan judul Laihat Majallat al Ahkam al Syar’iyyah (Draf Undang-Undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad Ja’it, guna merancang Undang-Undang secara resmi[3].
            Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum Keluarga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan dengan judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah (Code of Personal Status) tahun 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan ke seluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun, dalam perjalanannya, Undang-Undang ini mengalami modifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui UU No. 70/1958, UU No. 41/1962, UU No. 1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir, menurut catatan Tahir Mahmood, Mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981[4].
            Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berdasarkan mazhab Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab hukum Islam lain. Jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lain, reformasi bidang hukum yang diintroduksikan di Tunisia lebih revolusioner

2.3.      Materi Hukum Keluarga di Tunisia
2.3.1.   Usia Perkawinan
            Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, yang mana sebelum dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 harus mendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Akan tetapi Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa untuk dapat melansungkan perkawinan, seorang laki-laki harus sudah mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai usia 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang belum sampai batas usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalau tidak ada alasan-alasan yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak[5].
            Disamping itu, pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak sudah berhasrat melakukan pernikahan, perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki. Sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai usia nikah dalam kitab-kitab tersebut.


2.3.2.   Perjanjian Perkawinan
            Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart dalam perkawinan. Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang dirugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna[6].

2.3.3.   Poligami
            Pasal 18 Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristeri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian pula, Undang-Undang ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah, dan nikahnya belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat diancam hukuman penjara satu (1) tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim[7].
                        Adapun dasar larangan poligami yang digunakan pemerintah Tunisia adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang selamanya tidak dapat diterima mayoritas umat manusia di manapun; (2) Syarat Mutlak seorang suami boleh poligami adalah berlaku adil pada isteri-isterinya. Sementara fakta sejarah membuktikan bahwa hanya nabi yang dapat berlaku adil terhadap isteri-sterinya[8]. Larangan ini mempunyai landasan hukum pada ayat al-Qur’an, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:

Artinya:“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya[9].”
            Ayat di atas telah dibatasi oleh QS. an-Nisa ayat 129 yang berbunyi:
  
Artinya:“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[10].”
            Dengan demikian, idealnya al-Quran tentang perkawinan adalah monogami. Syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya[11].

2.3.4.   Pernikahan yang Tidak Sah
     Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang Hukum Keluarga di Tunisia adalah[12]:
1.    Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21);
2.    Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami/istri (pasal 3);
3.    Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain (pasal 5);
4.    Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17); dan
5.    Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
            Pernikahan yang tidak sah seperti di atas dapat segera dianulir, Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna (ba’da ad dukhul) istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani masa iddah, Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul istri berhak terhadap mahar musamma[13]. Anak yang lahir dapat disandarkan nasabnya kepada suami[14], akan tetapi tidak berhubungan dalam hal harta warisan antara dua pihak tersebut.

2.3.5.   Perceraian
            Di Tunisia, perceraian yang disampaikan secara sepihak tidak dapat berakibat jatuhnya talak. Perceraian dapat berlaku secara pasti dan efektif hanya apabila diputuskan oleh pengadilan.
            Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan oleh isteri dengan alasan suami gagal memberikan nafkah, atau karena kedua belah pihak telah sepakat mengakhiri perkawinan. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian apabila salah satu pihak secara sepihak bermaksud bercerai, perceraian berhak ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan terjadinya perceraian hanya diberikan dalam segala kondisi, apabila upaya perdamaian pasangan suami isteri tersebut gagal dicapai[15].


2.3.6.   Talak Tiga (Triple Disvorce)
            Pasal 19 UU 1954 Tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain kubra). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan[16].

2.3.7.   Nafkah Bagi Isteri
     Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah, tergantung kemampuan suami (pembayar) dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada saat itu (pasal 52)[17].
            Fiqih mazhab Maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang Tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baliq (dewasa). Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Asy-Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami harus baliq (dewasa)[18].

2.3.8.   Pemeliharaan Anak     
            Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang tua dan para wali (guardian) terhadap pemeliharaan anak (custody).
     Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip mazhab Maliki, dalam fiqh mazhab Maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu punya kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibulah yang lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar daripada ayah, karena itulah, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak[19]. Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah menjadi terputus apabila ibu melangsungkan perkawinan. Sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan nenek merupakan nenek secara langsung dari anak tersebut[20].
            Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak meninggal dunia sedangkan sebelumnya perkawinan telah bubar, maka hak hadhanah tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau boleh diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkan dalam mazhab Maliki dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki sudah mencapai usia baliq dan anak perempuan sudah menikah[21]. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan berakhir masa hadhanahnya ketika ia sudah baliq.

2.3.9.   Hukum Waris
            Berkaitan dengan permasalahan warisan, Tunisia secara umum hanya melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari almarhum, ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i[22].

2.3.10. Wasiat Beda Agama dan Kewarganegaraan
     Diantara ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175).
Jika negara mushaa lah (penerima wasiat) tidak menghalangi wasiat dari orang seperti mushii (pemberi wasiat), sebagai aplikasi asas persamaan dan sistem pertukaran satu sama lain, maka wasiat diperbolehkan apabila negara mushii memperbolehkan akad semacam wasiat, tapi wasiat dicegah apabila negara tersebut tidak memperbolehkannya[23].
     Sedangkan bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).

2.3.11. Wasiat Wajibah
            Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hukum kekeluargaan dan kewarisan pada beberapa negara Islam telah menetapkan adanya wasiat semacam ini yang memberikan bagian yang tetap bagi cucu dari peninggalan kakek apabila anaknya (ayah si cucu) meninggal dunia sewaktu kakek masih hidup. Undang-Undang ini terkenal dengan istilah “Qanun Wasiyat Wajibah”[24].
            Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan[25].






BAB TIGA
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
            Proses perumusan dan penataan hukum keluarga Islam di Tunisia, tidak hanya sekedar upaya kodifikasi (pembukuaan) fikih mazhab Maliki, akan tetapi juga melakukan langkah-langkah progresif dan revolusioner dalam upaya melakukan legislagi dan regulatory (pengaturan administrasi) dalam bidang hukum, khususnya Hukum Keluarga.
            Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan yang ada tidak bermaksud untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan prinsip-prinsip Hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kemaslahatan bangsa dan rakyat Tunisia.

3.2.      Saran
            Demikianlah makalah yang kami presentasikan dalam mata kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Dunia Islam, kami sadari makalah kami masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami sangat mengharap kritikan serta saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil diskusi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama R.I., Al Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution ed., Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Ibnu Rusyd, Hukum Tarjamah Bidayatul Mujtahid, terj. Abdurrahman, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990.

Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’, terj. Nur Alim, Asep Saefullah dan Rahmat Hidayatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMia, 2009.

Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,terj. Basalamah, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Studi Pembandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah Dan Negara-Negara Islam), Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, terj. Asep Sobari dkk., Jakarta: Al-I’tishom, 2008.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid 10, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani, 1995.



     [1] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 84.

[2] Ibid.
            [3] Khoiruddin Nasution , Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta: ACAdeMia, 2009), Hlm. 172.
                [4] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di . . . , hlm. 86.
                [5] Ibid., hlm. 88.
      [6] Ibid.
      [7] Ibid.
                [8] Khoiruddin Nasution , Hukum Perdata (Keluarga) . . . , Hlm. 290.
                [9] Departemen Agama R.I., Al Quran dan Terjemahannya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 111
      [10] Ibid., hlm. 139
                [11] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di . . . , hlm. 89.
      [12] Ibid.
      [13] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (terj. Masykur) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Hlm. 367
      [14] Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’  (terj. Nur Alim, Asep Saefullah dan Rahmat Hidayatullah)  (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Hlm. 739
      [15] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di . . . , hlm. 90.
                [16] Ibid.
      [17] Ibid., hlm. 91.
            [18] Ibnu Rusyd, Hukum Tarjamah Bidayatul Mujtahid (terj. Abdurrahman) (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990), Hlm. 462.
     [19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, (terj. Asep Sobari dkk.) (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), Hlm. 528.
      [20] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di . . . , hlm. 91.
     [21] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Studi Pembandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah Dan Negara-Negara Islam) (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), Hlm. 405.
            [22] Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (terj. Basalamah)  (Jakarta: Gema Insani, 1995), Hlm. 42.
            [23] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid 10, (terj. As’ad Yasin) (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hlm. 181.
                [24] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (terj. As’ad Yasin) (Jakarta: Gema Insani, 1995), Hlm. 552.
                [25] HM. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di . . . , hlm. 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar