BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan
berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Maka dari
itu, Indonesiamembutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang
berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan
teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum
tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap
warga Negara.
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum
yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan
wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.
Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang
cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang
terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan
tersangka (interogasi) pada tingkat penyelidikan, penyidikan sampai kepada
putusan hakim.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Hukum
Acara Pidana?
2.
Apa Saja Dasar Hukum
Acara Pidana?
3.
Apa Saja Asas Hukum
Acara Pidana?
4.
Bagaimana Proses Hukum
Acara Pidana?
5.
Apa Saja Alat Bukti
Dalam Hukum Acara Pidana?
6.
Apa Saja Upaya Hukum
Yang Dapat Ditempuh Dalam Hukum Acara Pidana?
1.3.
Tujuan Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mengetahui dan pemahami
segala aspek tentang hukum acara pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengetian Hukum Acara Pidana
Menurut R. Soeroso[1]
“Hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan
pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas
suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum
acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil”.
Demikian pula menurut
Moelyatno[2]
dengan memberikan batasan tentang pengertian hukum formil (hukum acara) adalah
“hukum yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiel (hukum pidana), dan
hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara
melaksanakan/ mempertahankan hukum pidana materiel.”
Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) tidak
disebutkan secara tegas dan jelas tentang pengertian atau definisi hukum acara
pidana itu, namun hanya dijelaskan dalam beberapa bagian dari hukum acara
pidana yaitu antara lain pengertian penyelidikan/penyidikan, penuntutan,
mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan,
penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain sebagainya.
Secara singkat dikatakan, bahwa hukum acara
pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau
menyelenggarakan hukum pidana materiel, sehingga memperoleh keputusan hakim dan
cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
2.2.
Dasar Hukum
Di dalam pelaksanaan
hukum acara pidana di Indonesia,maka sumber dan dasar hukumnya antara lain
sebagai berikut[3]:
1. Pasal
24 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyeleng-garakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
(2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan per-adilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkunga peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuahMahkamah Konstitusi.
2. Pasal
24 ayat (1) A Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945:
“
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
3. Pasal
5 ayat (1) UU (drt) No. 1 tahun 1951 (sudah dicabut):
a. HIR
(het herziene indlandsche/indonesisch reglement) atau disebut juga RIB
(reglemen indonesia yang di baharui) (s.1848 No. 16, s 1941 No. 44) untuk
daerah jawa & madura.
b. Rbg.
(rechtreglement buitengewesten) atau disebut juga reglement untuk daerah seberang
(s.1927 no. 227) untuk luar jawa & madura.
c. Landgerechts
reglement (S. 1914 No. 317, S. 1917 no. 323 untuk perkara ringan (rol).
4. Undang-undang
RI No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang - undang Hukum Acara pidana disingkat
KUHAP (LN.. 1981 -76 & TLN – 3209) dan Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. dan Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2010
tentang Perubahan atas PP RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
5. Undang-undang
RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
diubah dengan Undang-undang no. 35 Tahun 1999, kemudian diubah dengan
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
6. Undang-undang
RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian diubah dengan
Undang-undang RI No. 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-undang RI
No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
7. Undang-undang
RI No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, kemudian diubah dengan
Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 dan Undang-undang RI No. 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undnag-undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
8. Undang-undang
RI No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kemudian
diubah dengan Undangundang RI No. 2 Tahun 2002.
9. Undang-undang
RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian diubah
dengan Undang-undang RI No.16 Tahun 2004.
10. Undang-undang
RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
11. Undang-undang
RI No. 22 tahun 2002 tentang Grasi yang kemudian diubah UU RI dengan No. 5
tahun 2010.
2.3.
Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang
mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia yang ditegakkan,
sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
antara lain sebagai berikut[4]:
(1). Asas persamaan di depan hukum (equality before
the law), artinya setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan
tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di
muka Hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)25.
(2). Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No.
48 Tahun 2009)
(3). Asas perintah tertulis dari yang berwenang,
artinya segala tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeladahan,
penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang
berwenang oleh undang-undang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2009).
(4). Asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence), artinya setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut dan/ atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(5). Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas
salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum
yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (Pasal 9
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(6). Asas peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan atau lazim disebut contante justitie (Pasal 2 ayat (4)
jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).
(7). Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya,
artinya bahwa setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk memperoleh bantuan
hukum pada tiap tingkatan pemeriksaanguna kepentingan pembelaan.28 (Pasal 56
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)[5]
(8). Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum
dakwaan, serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta bantun penasihat
hukum.
(9). Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
(Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(10). Asas pemeriksaan terbuka untuk umum, artinya
pengadilan dalam pemerik-saan perkara terbuka untuk umum, jadi setiap orang
diperbolehkan hadir dan mendegarkan pemeriksaan dipersidangan (Pasal 13 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009). Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan
hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan, serta untuk lebih menjamin objektivitas
peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair tidak memihak,
serta putusan yang adil kepada masyarakat.
(11). Asas pembacaan putusan, yaitu semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuataan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum. (Pasal 13 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
(12). Asas pemeriksaan Hakim yang langsung dan
lisan, artinya langsung kepada terdakwa dan tidak secara tertulis antara hakim
dengan terdakwa (Pasal 154 KUHAP dan seterusnya)
(13). Asas putusan harus disertai alasan-alasan,
artinya segala putusan pengadil-an selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. (Pasal 50ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(14) Asas tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. (Pasal 10 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009)[6]
(15) Asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili dan memutus
perkara, artinya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas. (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
(16) Asas pengawasan pelaksanaan putusan, artinya
dalam menjalankan putusan pidana, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengawasi
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap Pasal 55 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009).
Selain asas-asas yang
tersurat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdapat asas-asas yang
secara tersirat dalam KUHAP, yaitu[7]:
(1). Asas oportunitas dalam penuntutan, artinya
meskipun terdapat bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar suatu peraturan
hukum pidana, namun Penuntut Umum mempunyai kekuasaan untuk mengenyampingkan
perkara yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan negara atau
umum (mendeponeer).
(2) Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi
sebagai penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannya tidak
tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa yang memajukan perkara ke muka
hakim pidana adalah pejabat lain dari pejabat penyidik.
(3) Asas praperadilan, artinya pemeriksaan dan
putusan tentang sahnya atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
penghentian penuntutan, ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang berperkara
pidana-nya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
(4) Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam
pemeriksaan perkara pidana, Hakim Pidana seberapa boleh harus boleh berhubungan
langsung dengan terdakwa, yang berarti Hakim harus mendengar sendiri terdakwa,
tidak cukup dengan adanya surat-surat pencatatan yang memuat
keterangan-keterangan terdakwa di muka penyidik. Asas ini berlaku bagi
saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akandiperoleh keterangan-keterangan
yang perlu yang memberikan gambaran apa yang benar-benar terjadi.
(5) Asas personalitas aktif dan asas personalitas
passif, artinya dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Republik
Indonesia dapat diadili menurut hukum pidana Republik Indonesia.
2.4.
Prosedur Hukum Acara Pidana.
Hukum acara pidana mengenal beberapa proses Tahapan dalam
menyelesaiakan perkara pidana, sekalipun secara tegas tidak ditentukan didalam
KUHAP, namun berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP maka beberapa
ahli hukum acara pidana yang ditemukan dalam berbagai literatur membagi tahapan
itu menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu:
1.
Tahapan pemeriksaan Pendahuluan
Menurut S Tanusubroto
yang dimaksud dengan Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan penyidikan atau
pemeriksaan sebelum dilakukan di muka persidangan pengadilan. Seperti halnya
dengan yang disampaikan oleh Soedjono D. yaitu Pemeriksaan yang dilakukan
apabila ada persangkaan, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan
sebelum pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan.
Adapun tahap
pemeriksaan perndahuluan terdiri dari:
a.
Penyelidikan
Dalam ketentuan umum KUHAP Pasal 1
butir 5 menjelaskan bahwa Penyelidikan adalah “serangkaian tindakan
penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Adapun pihak yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan dalam pasal
4 KUHAP adalah “setiap Pejabat polisi negara Republik Indonesia”. dalam pasal
ini ditegaskan hanya polisilah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan pejabat diluar kepolisian tidak diperkenankan oleh
undang-undang[8].
b.
Penyidikan
Definisi penyidikan menurut KUHAP adalah “ serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Pihak yang
berwenang melakukan penyidikan adalah penjabat yang terdiri dari POLRI dan
penjabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu[9].
c.
Penangkapan
Definisi Penangkapan menurut KUHAP pasal 1 butir 20 adalah “Suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini”.[10]
Adapun pihak yang berwenang melakukan penangkapan adalah
penyidik, namun dalam pasal 16 ayat (1) penyelidik dapat juga melakukan
penangkapan asalkan terdapat perintah dari penyidik. Dan berdasarkan pasal 19
ayat (1) menyatakan bahwa penangkapan dilakukan maksimum satu hari.
d.
Penahanan
Dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan sebagai berikut:
“penahanan tersebut hanya
dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana
dan atau percobaan maupun bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal”:
a.
perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih;
b.
perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 335, 351
dan sebagainya.
Adapun alasan Subyektif
dilakukan penahanan dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu[11]:
a.
adanya dugaan keras bahwa tersangka terdakwa melakukan tindak
pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup;
b.
adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka
dan terdakwa kan melarikan diri;
c.
adanyakekhawatiran tersangka atau terdakwa merusak dan atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Pejabat yang berwenang malakukan penahanan
adalah Penyidik, Penuntut umum, Hakim pengadilan negeri, Hakim pegadilan Tinggi dan Hakim mahkamah Agung.
e.
Penggeledahan
pada prinsipnya tak seorangpun yang boleh
dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap
kekuasaan pribadinya, keluarganya, rumahnya atau surat menyuratnya. sekalipun
demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan
penggeledahan demi kepentingan penyidikan.
KUHAPmembagi penggeledahan menjadi dua
yaitu:penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian dan badan. kedua
penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh oleh penyidik atau penyelidik atas
perintah penyidik dan dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip
atau syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang[12].
f.
Penyitaan
Definisi penyitaan menurut KUHAP pada pasal 1
butir 16 adalah: “serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan”.
Adapun pihak yang berwenang melakukan penyitaan
adalah penyidik.bentuk-bentuk penyitaan dapat dibagi menjadi 3 yaitu[13]:
1.
penyitaan biasa atau umum;
2.
penyitaan dalam keadaa perlu dan mendesak;
3.
penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan.
2.
Tahapan Penuntutan
Ketika
pemeriksaan pendahuluan selesai, maka untuk selanjutnya adalah tahapan
penuntutan. tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana
sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan. penuntutan itu sendiri adalah kegiatan
melimpahkan perkara pidana kepengadilan. didalam melimpahkan perkara itu tidak
sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal yang dilakukan
sebelum perkara itu disampaikan ke pengadilan yaitu:
a.
Pra Penuntutan
Istilah
Pra penuntutan terdapat dalam pasal 14 KUHAP yaitu: “mengadakan prapenuntutan
apabila ada kekuarangan pada penyidikan dengan memperhatikanketentuan pasal 110
ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaanya
penyidikan dari penyidik”. Waktu yang diberikan kepada penuntut umum untuk
“meneliti dan mempelajari” adalah 7 hari.
b.
Penuntutan
Pada pasal 1 butir 7 KUHAP menyebutkan definisi penuntutan adalah: “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan[14]”.
Pada pasal 1 butir 7 KUHAP menyebutkan definisi penuntutan adalah: “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan[14]”.
Tujuan
melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan penetapan dari penuntut umum,
tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut seseorang terdakwa dimuka
hakim.
penuntut umumberwenang melakukan peuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadilinya. Yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri.
penuntut umumberwenang melakukan peuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadilinya. Yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri.
c.
Surat Dakwaan
Ketika
penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan
setiap penuntut umum melimpahan perkara kepengadilan selalu disertaidengan
surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.
KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) yakni[15]:
KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) yakni[15]:
“surat dakwaan yang diberi tangal dan
ditandatangani serta berisi:
1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
2. uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”.
3.
Tahapan pemeriksaan dan putusan pengadilan.
a. Pra Peradilan.
Secara
bahasa Pra artinya sebelum atau mendahului, maka praperadilan adalah
pemeriksaan sebelum sidang pengadilan, praperadilan dilakukan oleh hakim yang
tugasnya terdapat dalam pasal 79,80,81 KUHAP yang menyatakan bahwa yang melaksanakan
wewenang pengadilan negari untuk memeriksa dan memutuskan tentang[16]:
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
c. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
b.
Pemeriksaan di sidang Pengadilan
UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) secara umum
mengatur mengenai tata cara sidang, yang secara garis besarnya proses
persidangan pidana pada peradilan tingkat pertam di Pengadilan Negeri untuk
memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap, namun seringkali
tahapan-tahapan dan tata cara dalam persidangandalam prakteknya disesuaikan
dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas
kesepakatan antara pihak –pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara pidana,
sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana. Dan
tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut[17]
:
1.
Sidang Pertama Pada Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:
a.
Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang
b.
Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang
c.
Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua
mengajukan pertanyaan mengenai kesiapan dan indentitasnya.
d.
Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh
penasehat hukum. Dan bertanya kepada
penasehat hukumnya apakah benar dia bertindak
sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin
praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim
anggota perihal dokumen tersebut.
a.
Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk
mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya
mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan.
b.
Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara
pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk.
c.
Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status
tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa.
d.
Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah
paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa
tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali.
a.
Setelah terdakwa menyaakan paham dan mengerti tentang maksud
dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang
menyangkut kompetensi pengadilan.
b.
Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk
menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya.
c.
Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi,
maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap
dengan nota eksepsi.
d.
Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada
terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya baik itu lisan maupun
tulisan.
e.
Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan
eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan
tanggapan atas eksepsi (Replik).
f.
Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan
kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi
(Duplik).
g.
Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu
agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan
sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
4.
Pembacaan/pengucapan putusan sela.
a.
Putusan sela biasanya
menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut;
·
Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan
pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan.
·
Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara
tersebut dilanjutkan.
·
Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus.
5.
Pembuktian dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana,
Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana,
6.
Pengajuan Saksi yang meringankan (Adcharge) oleh
terdakwa/Penasehat Hukumnya.
a.
Dalam pemeriksaan terdakwa ada perbedaan menyangkut sumpah,
pada saat pemeriksaan saksi, perlu dilakukan sumpah sedangkan untuk terdakwa
tidak perlu sumpah.
b.
Selanjutnya ketua majelis hakim mulai menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan disusul hakim anggota kalau perlu hakim menunjukkan
barang bukti untuk memperjelas pemeriksaan, kalau majelis hakim dirasa cukup
maka kesempatan selanjutnya diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk bertanya
dilanjutkan oleh penasehat hukum mengenai tatacara pemeriksaan terdakwa sama dengan
ketika pemeriksaan terhadap saksi-saksi.
8.
Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana (Requisitioir)
a.
Setelah selesai pembacaan tuntutan, hakim menanyakan pada
terdakwa apakah sudah paham dengan isi tuntutan, jika perlu hakim sedikit
menjelaskan poin-poin tuntutan jaksa, selanjutnya berkas tuntutan/surat
tuntutan yang asli diserahkan kepada majelis hakim, dan salinannya diserahkan
kepada terdakwa/penasehat hukumnya.
b.
Hakim bertanya pada terdakwa dan penasehat hukum apakah akan
mengajukan pembelaan (pleidooi) kalau akan mengajukan maka hakim meminta kepada
terdakwa dan penasehat hukumnya untuk mempersiapkan nota pembelaan yang akan
dibacakan pada sidang berikutnya.
a.
Kalau akan mengajukan pembelaan maka dalam hal mengajukan
pembelaan terdakwa dapat dengan cara lisan maupun tertulis.
b.
Setelah pembacaan pembelaan selesai selanjutnya naskah nota
pembelaan yang asli diserahkan kepada ketua majelis.
10.
Pengujian tanggapan-tanggapan (Replik, Dublik, Rereplik,
Reduplik)
a.
Kesempatan selanjutnya hakim bertanya pada penasehat hukum
apakah akan memberitanggapan juga (duplik) kalau akan megajukan, maka hakim
bertanya apakah telah siap dengan tanggapannya, selanjutnya hakim
mempersilahkan pada penasehat hukum untuk membacakan tanggapannya. Tatacaranya
sama dengan waktu membacakan pembelaan.
b.
Setelah tanggapan pertama sudah selesai kalau dirasa masih
ada yang perlu ditanggapi maka hakim mempersilahkan untuk memberikan tanggapan
berikutnya (rereplik dan reduplik) kesempatan pertama diberikan pada jaksa
penuntut umum dilanjutkan oleh penasehat hukum.
Dalam hal
putusan hakim diatur dalam pasal 182 KUHP ayat (3) sampai ayat (7) yang secara
ringkas dapat dijelaskan bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus
mendasarkan pada surat dakwaan, eksepsi requisitoir, pleidooi serta
tanggapan-tanggapan. Dilakukan dengan cara musyawarah tertutup. Dalam
mengajukan analisis serta argument hukum (legal reasoning) maka kesempatan
pertama diberikan kepada hakim yuniour selanjutnya diberikan kesempatan kepada
hakim senior dan terakhir kesempatan kepada ketua. Dalam mengambil keputusan
selalu menggunakan suara terbanyak sebagai hasil putusan kecuali dalam hal
tidak tercapai yang diatas maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang
menguntungkan terdakwa. Putusan dituangkan dalam bentuk naskah dan dibukukan
dalam buku khusus di Pengadilan Negeri dan buku ini sifatnya rahasia yang
sering disebut dissenting opinion.
2.5.
Alat Bukti
Untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, pengadilan (hakim) terikat oleh cara-cara atau
ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di sidang pengadilan yang
memeriksa dan mengadili terdakwa. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan alatalat
bukti yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
sebagai berikut:[23]
1.
Keterangan
Saksi (Pemeriksaan Saksi)
Adapun
yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 1 angka 27
KUHAP, yang berbunyi bahwa: “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”.[24]
2.
Keterangan
Ahli
Adapun
yang dimaksud dengan keterangan ahli, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1
angka 28 KUHAP, yang berbunyi bahwa: ”Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”. Jadi keterangan ahli dapat merupakan alat bukti yang sah apabila
menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan”.[25]
3.
Alat
Bukti Surat
Adapun surat yang digunakan sebagai alat bukti surat
yang sah dalam persidangan adalah alat bukti surat sebagaimana diatur dalam
Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi bahwa: ”surat sebagaimana tersebut dalam Pasal
184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah”, adalah:[26]
a.
Berita acara dan
surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b.
Surat yang
dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c.
Surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai susuatu
hal yang atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika
ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Adapun contoh-contoh
dari alat bukti surat, antara lain berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat
oleh penyidik (Polisi), berita acara pemeriksaan pengadilan (BAPP), berita
acara penyitaan, surat perintah penangkapan, surat perintah penyitaan, surat
perintah penahanan, surat izin penggeledahan, surat izin penyitaan dan lain
sebagainya.
4.
Alat
Bukti Petunjuk
Adapun tentang petunjuk sebagai alat bukti sebagaimana
diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:[27]
1.
Petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.
Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
·
keterangan
saksi;
·
surat;
·
keterangan
terdakwa.
3.
Penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5.
Keterangan
Terdakwa
Adapun
alat bukti keterangan terdakwa adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 189 KUHAP
yang berbunyi bahwa:[28]
a.
Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b.
Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c.
Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d.
Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.
2.6.
Upaya Hukum
Di dalam Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), bahwa ”upaya hukum
yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan”.
Demikian pula menurut
Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu ”Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasiatau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi upaya hukum menurut
Pasal 1 butir 12 KUHAP di atas telah membeda-kan antara upaya hukum biasa (Bab
XVII) dan upaya hukum luar biasa (Bab XVIII), terdiri atas dua, yaitu:[29]
1.
Upaya
hukum biasa
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian
Kesatu dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat
banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang
pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex
factie). Adapun upaya hukum biasa terdiri atas:[30]
a.
Pemeriksaan
Banding
Pemeriksaan
banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan tinggi, maka
pengertian banding sebagaimana menurut J.C.T. Simorangkir, adalah “suatu alat
hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk
memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan
tinggi. Tujuan dari pada hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya
kekhilafan pada putusan pertama.
b.
Pemeriksaan
Kasasi.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro9 , bahwa kasasi adalah pembatalan, yaitu suatu tindakan
Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan
pengadilanpengadilan lain. Jadi kasasi sendiri berarti pembatalan/vernietiging
dan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai yang melakukan pengawasan
tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain (Pasal 39 Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman).
Kasasi
diadakan dengan maksud untuk menyelenggarakan dalam kesatuan hukum, demikian
pula menurut M.H. Tirtaamidjaja10 bahwa tujuan utama daripada lembaga kasasi
itu adalah usaha untuk mencapai kesatuan hukum”.
2.
Upaya
hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa hanya dapat dilakukan apabila
putusan hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Untuk lebih jelasnya
akan diuraikan sebagai berikut:[31]
a.
Kasasi
demi kepentingan hukum
Pemeriksaan
kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuataan hukum yang tetap, yang hanya dapat diajukan oleh oleh
Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut
pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum. Adapun
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dapat
dimintakan kasasi demi kpenetingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah putusan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusam Mahkamah Agung.[32]
b.
Peninjauan
kembali atas putusan pengadilan yang telahberkekuatan hukum tetap (herziening)
Masalah
herziening atau peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap telah lama dikenal, yaitu setidak-tidaknya
telah ada sejak tahun 1848 dengan diundangkannya Reglement op de Strafvordering
pada tanggal 1 Mei 1848. Istilah herziening telah dimuat dalam Reglement op de
Strafvordering Titel 18, antara lain berbunyi “Herziening van arresten en
vonnissen”, yang dicakup di dalam Pasal 356 sampai dengan 360…”.[33]
Munculnya
kembali masalah herziening atau peninjauan kembali adanya suatu peristiwa pada
tahun 1980 dengan terjadi suatu keheboan sangat luar biasa yang telah
menggoyahkan sendi-sendi hukum di Indonesia, para ahli hukum dan para penegak
hukum lainnya yaitu kasus “Sengkon dan Karta” yang telah menjalani hukumannya
sejak tahun 1977, tapi sudah ditahan sejak tahun 1974. Berdasarkan tuduhan
telah merampok dan membunuh suami istri Suleman dan berdasarkan alat bukti yang
dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi, maka keduanya diajtuhi hukuman
masing-masing 10 dan 7 tahun penjara, tetapi pada tahun 1980 pengadilan negeri
yang sama telah menjatuhkan hukuman penjara kepada Gunei, Silih dan Wasita
sebagai pelaku sebenarnya sebagaimana dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.[34]
Selain
upaya hukum tersebut di atas, masih terdapat upaya hukum lainnya diatur dalam KUHAP,
yaitu upaya hukum verzet atau upaya hukum perlawanan. Disamping itu, selain
upaya hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut di atas, terdapat pula upaya hukum
yang tidak diatur dalam KUHAP, yaitu grasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang
RI No. 22 Tahun 2002 dan terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 5 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
3.
Upaya
Hukum Grasi
Grasi
berasal dari kata “Gratie”, yang menurut J.C.T. Simorangkir berarti wewenang dari
kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah
sifat/bentuk hukuman itu”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5 tahun
2010 tentang Grasi, bahwa grasi adalah “pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden”.[35]
BAB III
PENUTUPAN
3.1.
Kesimpulan
Hukum Acara Pidana
adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan
menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau
membebaskan pidana.
Proses beracara dalam
acara pidana adalah sebuah pedoman untuk mengumpulkan data, mengolahnya,
menganalisa serta mengkonstruksikannya. Proses beracara dalam hukum pidana
mencakup tiga hal, yaitu sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal
& KUHAP), pemeriksaaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) sampai kepada pembaca putusan hakim.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
(Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996)
Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)
Andy
Sofyan, Hukum Acara Pidana,
(Yogyakarta: Rangkang Education, 2013)
Moelyatno, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1985)
[1]Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983) hlm. 13.
[2]Moelyatno, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1985), hlm. 4.
[3]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996) hlm.
27-31.
[4]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), hlm.
15-18
[5]Ibid.
[6]
Ibid
[8]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . . . , hlm. 121.
[9]Ibid.
[10]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana . . . , hlm. 136.
[14]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . . . , hlm. 164
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana . . . , hlm. 249.
[26]Ibid.
[30]Ibid.