NAMA :
RIDHA MAULANA
NIM :
111309719
FAK/JUR :
SYARI’AH DAN HUKUM/HUKUM KELUARGA
MATA KULIAH :
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
NORMA HUKUM DALAM NEGARA
A.
Hierarki Norma Hukum
(Stufentheorie – Hans Kelsen)
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie).
Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam
arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma
Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu
sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi
lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai
Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya,
sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed [1].
Teori
jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf
Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan
berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan
menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechtskracht)
yang relative, oleh karena msa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma
hukum yang ada diatasnya.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu
bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum
itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi
(Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya,
sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma
yang ada di bawahnya [2].
B.
Hierarki Norma Hukum Negara
(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans
Nawiasky)
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen
mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu
negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma
Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu
terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
Kelompok I
:Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S.
Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada
struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid
S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm :
Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR,
dan Konvensi Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz :
Undang-Undang
4. Verordnung
& Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau
Walikota.[4]
C. Norma
Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm)
Norma
hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum
Negara adalah “staatsfundamentalnorm”.
Istilah staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya
pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama ( 10 November 1995) dengan
Pokok kaidah fundamental Negara kemudian joeniarto, dalam bukunya yang berjudul
‘ sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia ‘ menyebutnya dengan istilah norma
pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan istilah ‘staatsfundamentalnorm’ ini dengan ‘
Norma Fundamental Negara’.
Norma
fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
tetapi bersifat ‘pre-supposed’ atau
‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan
norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma
yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh
karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi
maka ia bukan merupakan norma yang tertinggi.
Menurut
hans Nawisky, isi staatsfundamentalnorm
ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang
dasar dari suatu Negara (staatsfundamentalnorm),termasuk norma pengubahannya.
Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi
atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau
undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau
konsesus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form
einer politischen einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.
Selain
hal itu norma dasar (grundnorm atau
disebut juga ursprungsnorm atau urnorm) sebagaimana yang disebutkan
bersifat ‘pre-supposed’ dan tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya
sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa,
sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan untuk tidak menggoyahkan
lapis-lapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau
mendasarkan diri kepadanya.
Di
dalam suatu Negara norma dasar ini disebut juga staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm
suatu Negara merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung
kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan Negara lebih lanjut [5].
Berdasarkan
uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang
norma (stufentheorie) dari hans kelsen
dan teori jenjang norma hukum (die
theorie vom stufenordung der rechtsnormen) dari hans nawiasky.
Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan
bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis–lapis, dalam arti suatu norma
itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, norma yang
diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat
ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’.
Perbedaanya adalah 1) hans kelsen tidak
mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan hans nawiasky membagi norma-norma itu
ke dalam empat kelompok yang berlainan. Perbedaan lainya adalah 2) teori hans
kelsen membahas jenjang norma secaraumum (general) dalam arti berlaku untuk
semua jenjang norma ( termasuk norma hukum Negara), sedangkan hans nawiasky membahas
teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu dihubungkan dengan suatu
Negara.
Selain
perbedaan-perbedaan tersebut, 3)di dalam teorinya hans nawiasky menyebutkan
norma dasar Negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan dengan
istilah staatsfundamentalnorm. Hans nawiasky berpendapat bahwa istilah
staatsgrundnorm tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut norma dasar Negara,
oleh karena pengertian grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak
berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar
Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan,
kudeta dan sebagainya. Pendapat nawiasky ini dinyatakan sebagai berikut :
“Norma tertinggi dalam Negara sebaiknya tidak
disebut staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm, norma fundamental
Negara. Pertimbangannya adalah karena grundnorm dari suatu tatanan norma pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu Negara mungkin
berubah-ubah oleh pemberontakan, coup d’etat, putsch, Anschluss dan sebagainya”
[6].
D. Aturan
Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Staatsgrundgesetz)
Aturan
dasar negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz)
merupakan kelompok norma hukum dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma
dari aturan dasar Negara/aturan pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang
bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis
besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.
Menurut
hans nawiasky, suatu dasar Negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan dalam
suatu dokumen Negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan
dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.
Di
dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal
mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu
mengatur juga hubungan antara lembaga-lembaga Negara, serta mengatur Negara dengan
warga negaranya, atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada
pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa
yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada
adanva pemerintahan, karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan
konstitusi. Oleh karena itu, menurut Thomas Paine:
“A constitution is not the act of a
government, but of a people constituting a government, and a government without
a constitution is power without right”.
Konstitusi
bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan
yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu
sendiri tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.
Di
Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam
Batang Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR
serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan
dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang (formell gesetz) atau aturan yang lebih
rendah[7].
Dalam
Penjelasan Umum Angka IV UUD 1945 menyebutkan :
“Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar
hanya memuat aturan-aturan pokok,
hanya memuat garis-garis besar
sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara
untuk mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagai
Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
memuat aturan-aturan pokok,
sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah
caranya membuat,mengubah dan mencabut.”
Dengan
demikian jelaslah bahwa Batang Tubuh UUD
1945 merupakan aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber
dan dasar bagi terbentuknya suatu Undang-Undang (formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu
peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.
Aturan
dasar Negara/aturan pokok Negara yang
lainnya adalah aturan-aturan yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang
merupakan garis-garis besar haluan Negara. Ketetapan ini juga masih merupakan
aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan ketetapan umum yang bersifat
garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta belum disertai norma
sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam pembrentukan peraturan
perundang-undangan walau hanya secara material.
Selain
Batang Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR,
masih dikenal pula adanya Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu
Konvensi Ketatanegaraan yang merupakan hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh
dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya hukum dasar tidak tertulis di
Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Angka I UUD 1945 yang berbunyi :
“Undang-Undang Dasar satu Negara ialah
sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar
yang tertulis, sedangkan disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dari praktek penelenggara
Negara meskipun tidak tertulis”
Contoh
dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya kebiasaaan penyelengaraan pidato
kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus.
E.
UNDANG-UNDANG “FORMAL”
(formell Gesetz).
Kelompok
norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok Negara
(staatsgrundgesetz) adalah formell Gesetz atau secara harfiah
diterjemahkan dengan Undang-Undang ‘formal’. Norma dasar Negara yaitu
norma-norma dalam suatu Undang-Undang sudah merupakan norma hukum yang lebih
konkrit dan rinci, serta sudah dapat lansung berlaku didalam masyarakat.
Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat
tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang
berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum
primernya, dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan
norma-norma yang bersifat sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.
Selain itu undang-undang (wet/gesetz/act) ini berbeda dengan
peraturan-peraturan lainnya, oleh karena itu suatu undang-undang merupakan
norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.[8]
Di
Indonesia istilah formell Gesetz atau
formell wetten ini sayogjanya
diartikan dengan undang-undang saja tampa menambah kata formal dibelakangnya.
Oleh karena itu apabila formell gesetz diartikan Undang-Undang formal, hal itu
tidak sesuai dengan penyebutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Undang-Undang
dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas
Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat
langsung setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud
dengan UU dalam arti luas adalah semua peraturan perundang-undangan dari
tingkat yang tinggi sampai tingkat yang rendah yang isinya mengikat setiap
penduduk.
Sedangkan Undang-Undang
dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum yang dibentuk oleh
lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Naskah
hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act,
karena dalam proses pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif
sagat menentukan keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.
F.
Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan
Otonom
(Verordnung & Autonome Satzung)
Kelompok
norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah
undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang.
Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan
otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan
ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
diberikan oleh grondwet (Undang-Undang
dasar) atau wet (Undang-Undang)
kepada suatu lembaga pemerintahan/Negara. Kewenangan tersebut melekat terus
menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai dengan batas-batas yang diberikan.
Contohnya
:
1.
Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) member kewenangan kepada presiden untuk
membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika terjadi “hal ihwal
kegentingan yang memaksa”.
2.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dalam pasal 136 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
untuk membentuk Peraturan Daerah dengan sanksi pidana setinggi-tingginya 6
(enam) bulan kurungan dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah)
Delegasi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan
ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan
perunang-undangan yang lebih rendah., baik pelimpahan dilakukan dengan tegas
atau tindakan.
Berlainan
dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut tidak
diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat
sementara dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan
tersebut masih ada.
Contohnya
:
1.
Pasal
5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.”
2.
Pasal
146 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
merumuskan,” untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan
perundang-undangan, Kepada Daerah menetapkan Peraturan Daerah dan atau
Keputusan Daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Maria Farida
Indrati Soeprapto, 2010. Ilmu Perundang-Undangan.Yogyakarta: Kanisius.
Jimly
Asshiddiqie, 2006. Teori Hans
Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus