Senin, 20 April 2015

Dasar – Dasar / Prinsip-prinsip Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).
Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".











BAB II
PEMBAHASAN


A.  Dasar – Dasar / Prinsip-prinsip Perkawinan
1.   menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974
BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
                                                                        Pasal 2                            
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Maka dasar-dasar/Prinsip-prinsip perkawinan menurut UU nomor 1 tahun 1974 adalah :
1.   Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2.    Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3.   Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
4.   Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5.   Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
6.   Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
2.   Menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
                                                                        Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.        
                        Pasal 5
a.  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b.  Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
                                                                        Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
                                                                        Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
    (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
   (b) Hilangnya Akta Nikah;
   (c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
   (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
   (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
        menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
                                    Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.
                                                                        Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.
                                                                        Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.

Ada beberapa prinsip pernikahan menurut ajaran Islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia dalam melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.
Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam itu:
1.      Memenuhi dan Melaksanakan Perintah Agama.
Perkawinan adalah Sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.
2.      Kerelaan dan Persetujuan.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan ialah “Ikhtiyar” (tidak dipaksa) yang ditandai dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka. Untuk kesempurnaan itulah perlu adanyaKhithbah atau peminangan yang merupakan salah satu langkah sebelum mereka melangsungkan perkawinan, sehingga semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.
3.      Perkawinan untuk Selamanya.
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
Karena prinsip perkawinan dalam Islam itu untuk selamanya, bukan untuk suatu masa tertentu saja, maka Islam tidak membenarkan:
Ø  Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, seperti ucapan wali: “Aku nikahkan engkau dengan anak saya Maimunah dengan mahar Mushaf Al-Qur’an untuk selama 3 bulan atau 1 tahun”, dan sebagainya.

Ø  Nikah Mut’ah. Nikah mut’ah hukumnya haram. Nikah mut’ah disebut juga “Ziwaj Muwaqqat” atau “Ziwaj Munqathi”, artinya nikah yang ditentukan untuk suatu waktu tertentu dengan maksud untuk dapat bersenang-senang melepaskan keperluan syahwatnya. Perkawinan mut’ah pernah dibolehkan dalam keadaan darurat, yakni pada waktu peperangan Autas, dan pembukaan kota Mekah, di mana pada waktu itu tentara Islam telah lama pisah dengan keluarga, agar mereka tidak melakukan perbuatan terlarang, maka diizinkan oleh Nabi melakukan nikah Mut’ah. Kemudian Nabi melarang untuk selama-lamanya. Hal itu dapat diikuti dari hadits:
Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya."

Ø  Nikah Muhallil. Nikah Muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap wanita yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah selesai iddahnya. Oleh suami kedua, wanita itu dikumpuli dan dicerainya agar dapat kawin lagi dengan suami pertama. Jadi dalam nikah muhallil itu ada unsur perencanaan dan niat bukan untuk selamanya. Hukum perkawinan itu haram dan akibatnya tidak sah. Bahkan perkawinan muhallil ini dilaknat oleh Allah SWT dan Rasulullah, sebagaimana sabdanya :
عن ابي هريرة أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: لعن الله المحلّل والمحلّل له (روه أحمد)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah melaknati orang yang menghalalkan (muhallil) dan orang yang dihalalkan baginya (muhallalah)”.

4.       Monogami dan Poligami.
Monogami artinya seseorang kawin dengan satu istri, sedang polygami artinya seorang laki-laki kawin dengan lebih dari satu istri. Sebaliknya seorang wanita yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut “polyandri”.
Islam membolehkan kawin poligami, tetapi membatasi jumlahnya tidak lebih dari empat dan dengan syarat harus berlaku adil. Kalau sekiranya khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hanya satu istri saja, yang disebut monogami. Mengenai peraturan polygami ini disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 3.
Prinsip polygami dan monogami adalah sebagai berikut:
Ø  Dalam Islam dilarang hubungan seksual di luar perkawinan, dengan larangan yang nyata.
Ø  Dalam Islam diwajibkan orang bertindak adil dan bertanggung jawab.
Ø  Dalam membolehkan poligami, Islam mensyaratkan keadilan dan tanggung jawab supaya dipenuhi. Sementara itu, apabila faktor-faktor yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan dengan istri yang pertama belum terpenuhi, misalnya tidak mendapat keturunan, hubungan seksual yang tidak seimbang, dan sebagainya, maka polygami boleh dilakukan.
Ø  Tidak tercapainya tujuan berkeluarga merupakan persoalan keluarga. Dalam mengatasi persoalan keluarga tersebut, Islam menggariskan adanya musyawarah antara suami istri. Termasuk dalam polygami pun hendaknya dilakukan atas dasar musyawarah dengan istri yang pertama.
Ø  Kalau suami tidak bertanggung jawab dan tidak akan berlaku adil, maka hendaknya melaksanakan monogami.

5.      Suami Sebagai Penanggung Jawab Umum dalam Rumah Tangga.
Sekalipun suami istri masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang telah ditentukan, namun menurut ketentuan hukum Islam, suami mempunyai kedudukan lebih dari istri, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga, karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnyalah pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga. Disamping itu, pada umumnya laki-laki dikaruniai jasmani lebih kuat dan lebih lincah serta lebih cenderung banyak menggunakan pikiran daripada perasaan.  

Maka kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.





















BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan
Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan Perkawinan menurut KHI adalah yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya perkawinan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya perkawinan tersebut. Dan kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.














DAFTAR PUSTAKA

Tim Citra Umbara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2011).

Hilman Hadikusuma,  Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju. 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar