Ridha Maulana
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Status sah atau tidak sahnya seorang anak dalam sebuah ikatan
perkawinan merupakan perihal yang sangat penting untuk ditetapkan karena
mempengaruhi hak-hak keperdataan yang akan di dapatkan oleh si anak dari kedua
orangtuanya. Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah menurut Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan pihak yang melakukan perkawinan,
selain itu ada keharusan untuk melakukan pencacatan perkawinan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Adapun konsekuensi bagi anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah
dia (anak tersebut) hanya akan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.[2]
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu institusi kekuasaan
kehakiman di Indonesia, pada Tanggal 27 Februari 2012 mengeluarkan Putusan
Nomor 46/PUU-VII/2010 terkait dengan status atau kedudukan hukum bagi anak yang
lahir di luar perkawinan. Putusan ini lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan oleh Hj. Aisyah
Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap
ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Salah satu alasan diajukan permohonan dalam putusan
ini adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan pemohon dan Moerdiono
(suaminya) mengalami diskriminasi dan tidak mendapatkan pengakuan hubungan
keperdataan sebagai “anak” dari ayah dan keluarga ayahnya karena perkawinan
kedua orangtunya tidak dicatatkan.[3] Dalam
amar putusannya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[4]
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan tanggapan
yang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, terutama berkaitan dengan
pengesahan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah
biologisnya. Pihak yang mendukung (pro) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
menilai bahwa putusan tersebut merupakan kemajuan dan prestasi pembangunan
hukum dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat dan sebagai terobosan
hukum yang pogresif dalam melindungi hak-hak konstitusional anak. Pendukung
putusan Mahkamah Konstitusi ini memahami bahwa makna anak di luar kawin dalam
putusan ini adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum
negara, dalam arti anak yang lahir akibat perkawinan sirri. Sedangkan
pihak yang menolak (kontra) dengan putusan ini menilai bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak sesuai dengan tujuan hukum Islam yakni, menjaga
keturunan (hifdz an-nasl), karena mereka memahami bahwa makna anak di
luar kawin yang dimaksudkan dalam putusan tersebut adalah anak yang lahir
akibat hubungan tanpa ikatan perkawinan (pergaulan bebas/zina), sehingga
putusan ini rentan dimanfaatkan untuk melegalkan perzinahan.[5]
Menanggapi perbedaan pandangan tentang anak di luar
perkawinan dan problematika yang terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. Dalam Fatwa ini dinyatakan bahwa
anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai
hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.[6]
Senada dengan Fatwa MUI tersebut, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga
mengeluarkan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015
tentang Nasab Anak Yang Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina). Fatwa ini juga
menyatakan bahwa Anak zina tidak mempunyai hak waris, nafkah dan wali nikah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.[7]
Kedua fatwa tersebut (Fatwa MUI dan MPU Aceh) secara tidak langsung menyatakan
bahwa ketentuan dalam Putusan hanya berlaku
bagi anak di luar perkawinan akibat perkawinan sirri (perkawinan yang
sah menurut Agama, namun tidak diregistrasikan (dicatatkan) di lembaga
pencacatan nikah negara) dan tidak berlaku bagi anak akibat perbuatan zina.
Berdasarkan uraian singkat Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di atas dan fenomena
pro-kontra masyarakat dalam menanggapi putusan tersebut, termasuk di dalamnya
fatwa MUI dan MPU Aceh, maka bagaimanakah sebenarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut jika dilhat dari prespektif (sudut pandang)
perlindungan terhadap anak dalam Islam, apakah sudah sesuai dengan ketentuan
perlindungan anak dalam Islam, atau masih jauh dari hal tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Bentuk Perlindungan Terhadap Anak dalam Islam ?
2.
Bagaimana ‘Illat dan Sejarah Munculnya Nasab Anak Kepada Ibunya?
3.
Bagaimana
Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam Prespektif Perlindungan Anak
dalam Islam ?
C. Landasan Teori
1.
Perlindungan
Terhadap Anak
Anak merupakan
karunia dan amanah Allah SWT yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena
dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi.[8]
Anak merupakan potret masa depan bangsa di masa mendatang, generasi penerus
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang, serta berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam melakukan
perlindungan anak diperlukan peran negara, orangtua, keluarga, dan masyarakat,
baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media
massa, bahkan lembaga peradilan. Orangtua, keluarga, dan masyarakat bertanggung
jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaran perlindungan
anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
secara optimal dan terarah.[9]
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan
tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik dari segi fisik, mental, spritual, maupun sosial.
Tindakan ini dimaksud untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang
diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial dan tangguh. Oleh karena itu,
dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
dikriminasi.[10]
Upaya
perlindungan terhadap anak harus dilakukan sejak anak masih berupa janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.[11]hal
ini bertitk tolak dari konsepsi Undang-Undang Perlindungan Anak yang utuh,
menyeluruh, dan komprehensif. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak 1989 dan Undang-Undang Perlindungan Anak
ditegaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak harus dilakukan berdasarkan
4 (empat) prinsip atau asas, yakni:[12]
a.
Nondikriminasi,
yaitu setiap anak punya hak untuk tidak dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan
latar belakang, warna kulit, ras, suku, agama, golongan, keluarga, gender,
kondisi fisik, serta mental, dan lain-lainnya.
b.
Kepentingan
terbaik bagi anak, yaitu setiap anak berhak mendapatkan yang terbaik.
c.
Hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, yaitu setiap anak berhak
untuk hidup dan berkembang normal, oleh karenanya setiap anak berhak memperoleh
jaminan pertolongan, perawatan kesehatan hak mendapatkan tumpangan dan makanan
untuk keberlangsungan hidupnya, dan hak mendapakan pendidikan dan pengajaran
yang baik.
d.
Penghargaan
terhadap pendapat anak, yaitu setiap anak berhak untuk dihargai pendapatnya dan
diberi kesempatan untuk berdiskusi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beberapa
hak-hak anak yang wajib dipenuhi yaitu setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi (Pasal
4), setiap anak berhak mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh
orangtuanya sendiri (Pasal 7 Ayat 1). Setiap anak selama dalam pengasuhan
orangtua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertangung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan dikriminasi, eksploitasi,
penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan
salah lainnya (Pasal 13 Ayat 1).
Sejak dilahirkan anak berhak untuk mendapatkan kejelasan asal usul
keturunannya atau nasabnya. Kejelasan nasab ini berguna untuk menentukan status
anak agar mendapatkan hak-hak dari orangtuanya. Selain itu, secara psikologis
anak akan merasa tenang jika nasabnya memiliki kejelasan sehingga dapat
berinteraksi dan diterima di lingkungannya dengan perlakuan yang wajar.[13] Terkait
dengan pentingnya kejelasan nasab pada anak, dalam Al-Quran Allah SWT
berfirman:
öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur
Artinya
: “Panggilah mereka (anak-anak itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu . . . . (Q.S. Al-Ahzab: 5)
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Islam
Dalam literatur hukum Islam (fiqh) klasik, tidak ditemukan satu
istilah khusus untuk pengertian perlindungan anak. Beberapa hukum Islam (fiqh)
klasik menggunakan istilah hadhanah dalam pengertian yang mendekati
makna perlindungan anak. Secara bahasa (etimologis), hadhanah merupakan
bentuk masdar, yang mengandung arti memelihara dan mendidik anak. Kata
ini berasal dari dari kata al-hidhn, yang berarti al-janb
(lambung atau rusuk), karena seorang ibu yang menjadi hadhinah (pelindung)
mengumpulkan anak-anak di lambung (pangkuan)-nya.[14]
Adapun menurut istilah hadhanah berarti memelihara anak kecil atau anak
abnormal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi
kebutuhannya, menjaganya dari bahaya, memberi pendidikan, dan mengembangkan
kemampuan intelektualnya agar mampu memikul tanggung jawab hidupnya.[15]
Jika dilihat dari hakikat perlindungan anak yang berarti pemenuhan
hak-hak anak, maka hadhanah (dalam pengertian mengurus dan memelihara
anak) merupakan salah satu bentuk perlindungan anak. Hal ini senada dengan
pernyataan Wahbah al-Zuhaili bahwa hak-hak anak mencakup lima hal, yaitu (1) nasab
(identitas diri), (2) radha’ (penyusuan), (3) hadhanah (pengasuhan
dan pemeliharaan), (4) wilayah (perwalian), dan (5) nafaqah (pemberian
nafkah). Dengan demikian, menurut al-Zuhaili, hadhanah merupakan bentuk
perlindungan anak, selain pemberian indentitas, penyusuan, perwalian, dan
pemberian nafkah. Bentuk perlindungan anak tersebut didasarkan pada fase
perkembangan anak.[16]
Pada perkembangan selanjutnya, sebagian pakar hukum Islam
kontemporer, mengemukakan istilah al-wilayah dengan arti yang semakna
dengan pengertian perlindungan anak. Wahbah al-Zuhaili membagi wilayah (perwalian)
kepada 2 (dua), yaitu wilayah ‘ala al-nafs, yang mengandung pengertian penanganan
segala urusan yang berkaitan dengan diri (individu) orang yang tidak cakap
(tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya), seperti pemeliharan,
pendidikan, kesehatan, pernikahan dan lainnya. Kemudian wilayah ‘ala al-mal ialah
penanganan segala urusan yang berkaitan dengan harta orang yang tidak cakap,
berupa pengembangan dan pengelolaan hartanya, seperti jual beli, sewa menyewa,
gadai, dan sebagainya. Dengan demikian, istilah yang lebih tepat digunakan
untuk mendefinisikan pengertian perlindungan anak sekarang ini dalam hukum
Islam ialah al-wilayah, karena mencakup semua aspek yang berkaitan
dengan perlindungan anak, dari segi fisik, mental, maupun spritual, baik
menyangkut diri pribadi maupun hartanya.[17]
Dari penjelasan tentang istilah perlidungan anak dalam Islam,
dapat disimpulkan bahwa hakikat perlindungan anak dalam Islam adalah pemenuhan
hak-hak anak dan perlindungannya dari hal-hal yang membahayakan diri, jiwa, dan
hartanya, yang mencakup aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial anak. Adapun
beberapa hak-hak anak dalam Islam, yaitu:[18]
1.
Hak Hidup
Islam sangat
menjunjung tinggi hak hidup setiap manusia, bahkan janin yang masih dalam
kandungan. Banyak ayat Al-Quran yang menegaskan larangan membunuh jiwa manusia.
sebagai bentuk implikasi dari adanya hak hidup seseorang, termasuk janin yang
masih berada dalam kandungan, Islam mengajarkan segala bentuk penjagaan,
perlindungan, dan pemeliharan terhadap janin yang dalam aplikasinya dibebankan
kepada kedua orang tua janin tersebut.
2.
Hak Mendapatkan Pengakuan Nasab
Hak anak mendapatkan pengakuan dalam silsilah keturunan
(nasab) merupakan hal terpenting dan memiliki faidah yang sangat besar
bagi kehidupannya. Penisbatan anak kepada bapaknya akan menciptakan pengakuan
yang pasti dalam masyarakat, dan lebih memperkuat dalam mewujudkan perasaan
aman dan tenang pada jiwa anak itu sendiri. Penisbatan ini menunjukkan bahwa
anak tersebut benar-benar keturunannya.
3.
Hak Mendapatkan Nama yang Baik
Dalam
Islam diperintahkan agar memberi nama yang baik bagi seorang anak, karena nama
dalam pandangan Islam memiliki arti penting dan pengaruh yang besar bagi orang
yang menyandangnya. Selain itu, nama akan selalu melekat dan berhubungan erat
dengan dirinya, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia.
4.
Hak Memperoleh Pengasuhan dan Perawatan
Mengasuh dan merawat anak adalah kewajiban orangtua
dalam Islam, sebagaimana wajibnya orangtua memberi nafkah yang baik kepada
anak-anaknya. Semua ini dilakukan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup
anak itu sendiri.
5.
Hak Mendapatkan Nafkah (Biaya Hidup)
Anak berhak untuk diberikan nafkah dan dibiayai segala
kebutuhan pokok hidupnya oleh si bapak, sebagaimana hak isteri untuk memperoleh
nafkah dari suaminya. Bahkan jika seorang suami (bapak) tidak memberikan nafkah
untuk isteri dan anaknya, si isteri diperbolehkan untuk mengambil harta suami
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya.
6.
Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran
Anak berhak memperoleh pengajaran dan pendidikan yang
baik sesuai dengan perkembangan usia si anak dari kedua orangtuanya, terutama
pada masalah pokok yang penting seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan hukum.
Disamping itu pendidikan jasmani juga penting diberikan kepada anak, seperti
berenang, memanah, dan menunggang kuda.
B.
‘Illat Dan Sejarah Munculnya Fikih Nasab Anak Pada
Ibunya
Para ulama sepakat bahwa anak zina hanya bernasabkan kepada ibunya
dan keluarga ibunya, dan nasab anak tersebut kepada ayahnya terputus. Posisi
anak zina disamakan dengan anak mula’anah atau anak li’an.[19]
Adapun dasar hukum sekaligus latar belakang (sejarah) munculnya nasab anak
(zina) pada ibunya adalah hadits yang berbunyi:
Artinya: “Dari Aisyah, ia berkata: Sa’ad bin Abi Waqqash dan
Abd. bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah SAW, lalu Sa’ad berkata: Ya
Rasulullah, sesungguhnya saudara laki-lakiku Utbah bin Abi Waqqash telah
menyatakan kepadaku bahwa sesungguhnya ia (putra dari hamba sahaya Zam’ah)
adalah anak dari Abi Waqqash, perhatikan keserupaannya. Dan Abd. bin Zam’ah
berkata: ini saudara laki-lakiku ya Rasulullah, ia dilahirkan di atas tidur
ayahku. Kemudian Rasulullah SAW memperhatikan keserupaannya, lalu beliau
melihat keserupaannya yang jelas dengan Utbah, kemudian beliau bersabda, “dia
itu bagimu (saudaramu) wahai Abd. bin Zam’ah, (sebab) anak itu haknya (orang
yang) setempat tidur dan bagi orang yang menzinai tidak ada hak apapun;
“wahai Saudah binti Zam’ah, berhijablah dari dia”. Sa’ad berkata: maka anak itu
sama sekali tidak pernah melihat Saudah (H.R. Jama’ah kecuali Tirmidzi).[20]
Dari hadits tersebut
jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak memberi pengakuan (menasabkan)
atas anak yang lahir dari hamba sahaya Zam’ah sebagai anak (putra) dari Abi
Waqqash, walaupun ada keserupaan (kemiripan) anak tersebut dengan Utbah bin Abi
Waqqash. Hal ini karena wanita tersebut merupakan hamba sahaya Zam’ah, maka Abi
Waqqash disangkakan telah berzina dengan wanita tersebut, sebagaimana tersirat
dalam sabda Rasulullah SAW, “bagi orang yang menzinai tidak ada hak apapun”.
Sebaliknya anak tersebut merupakan hak “firasy”, menurut sebagian Ulama
bahwa firasy itu nama wanita
tersebut. Sedangkan dalam kamus al-Muhith, firasy diartikan sebagai
isteri dan juga amah (hamba sahaya) yang dicampuri seseorang.[21]
Oleh sebab itu, berdasarkan hadits ini, para Ulama sepakat bahwa anak yang
lahir karena zina merupakan hak si wanita (ibu) yang melahirkannya dan hanya
berhak dihubungkan nasabnya dengan ibunya tersebut.
‘Illat atau rasio
logisnya adalah bahwa nasab anak dengan ibunya terjadi secara alamiah, dalam
arti bahwa kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan nasab
antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, tanpa memperhatikan
bagaimana cara si ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum dari laki-laki
yang menggaulinya. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayahnya tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi
semata oleh sebab hukum, artinya oleh sebab telah berlangsung hubungan akad
nikah (perkawinan) yang sah antara ibu dengan laki-laki yang menyebabkan
kelahiran anak tersebut.[22]
C.
Tinjauan Hukum Islam Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VII/2010 dalam Prespektif Perlindungan Anak
Dalam prespektif Hukum Islam tentang perlindungan anak, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dapat ditinjau dari dua sisi yang
berbeda, tergantung pada pemahaman makna frasa “anak yang lahir di luar perkawinan”.
Ketika anak yang lahir di luar perkawinan ditafsirkan sebagai anak yang lahir
dari Perkawinan Sirri, maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah berhasil
mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak dalam Islam, dengan menjamin hak
mendapatkan pengakuan nasab dan hak-hak yang timbul akibat pengakuan nasab
tersebut terpenuhi. Dasar dari penafsiran anak yang lahir di luar perkawinan
sebagai anak yang lahir dari Perkawinan Sirri adalah status perkawinan
Pemohon dan suaminya (perkawinan Sirri) dan salah satu kutipan poin
pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010,
yang menyatakan “terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinan, anak
yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang
dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih di persengketakan.”[23]
Kedua dasar tersebut menjelaskan bahwa, anak yang anak yang lahir
di luar perkawinan yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang kabsahannya masih dipersengketakan karena
tidak menempuk prosedur/administrasi (pencacatan) perkawinan menurut hukum
negara, yakni perkawinan Sirri. Jadi berdasarkan hal tersebut anak yang
lahir di luar perkawinan dalam putusan ini bukanlah anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara
sah menurut Islam (anak zina).
Namun, jika frasa “anak yang lahir di luar perkawinan” dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di tafsirkan/dimaknai sebagai
anak yang lahir akibat perzinaan, maka Putusan ini telah menciderai prinsip
dasar Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam Islam, yakni Hifdz
an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) yang dikategorikan sebagai suatu maslahah
yang bersifat dharuri artinya sesuatu yang harus ada demi
terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia.[24]
Para Ulama sepakat perzinaan tidak bisa menjadi penyebab timbulnya hubungan
nasab seorang anak dengan ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih
laki-laki tersebut. Alasannya bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat,
sedangkan perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali
tidak layak mendapatkan balasan nikmat.[25]
Pengakuan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah
bilogisnya pada prinsipnya bertujuan untuk menghadirkan kemaslahatan yaitu
perlindungan terhadap hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan. Akan tetapi,
jika dipaksakan dalam konteks anak yang lahir tanpa perkawinan (penzinaan),
maka hanya akan melahirkan maslahah mauhumah (maslahah yang
bersifat asumtif semata) karena akan menimbulkan mafsadah (kerusakan)
yang lebih besar karena secara tidak langsung melegalkan praktek penzinaan dan
bertentangan dengan dalil syara’. Maka menurut Imam al-Ghazali, maslahah
yang tidak sejalah dengan dalil syara’ dan tujuan syari’at harus
ditolak, karena maslahah ditujukan untuk mempertahankan Maqashid
Syar’iyah[26].
Dalam konteks putusan MK tersebut yang harus didahulukan dan dipertahankan
adalah prinsip Hifdz an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) untuk menghindari
kemafsadatan. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺟﻠﺐ ﻋﻠﻰ
ﻣﻘﺪﻡ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺩﺭﺀ
“Menghindari yang membawa kerusakan didahulukan dari sesuatu
tindakan yang mendatangkan kemaslahatan”[27]
Terkait dengan pertanggungjawaban terhadap anak yang lahir tanpa ikatan
perkawinan (penzinaan) dari ayah biologisnya, Majelis Ulama Indonesia
menawarkan solusi yang lebih maslahah dibandingkan dengan menasabkan
anak tersebut dengan ayah biologisnya. Solusi tersebut sebagai mana ketentuan
dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan
Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, yang menyatakan bahwa “pemerintah
berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mewajibkan untuk: (a) mencukupi kebutuhan anak tersebut
(memberi nafkah); (b) memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah.[28]
Solusi ini lebih sesuai dengan Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Hakikat perlindungan anak dalam Islam adalah pemenuhan hak-hak
anak dan perlindungannya dari hal-hal yang membahayakan diri, jiwa, dan
hartanya, yang mencakup aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial anak. Adapun
beberapa hak-hak anak dalam Islam, yaitu hak hidup, hak mendapatkan pengakuan
nasab, hak mendapatkan nama yang baik, hak memperoleh pengasuhan dan perawatan,
hak mendapatkan nafkah (biaya hidup), dan hak memperoleh pendidikan dan
pengajaran.
2.
Para ulama sepakat bahwa anak zina hanya bernasabkan kepada ibunya
dan keluarga ibunya, dan nasab anak tersebut kepada ayahnya terputus. Hal
tersebut karena nasab anak dengan ibunya terjadi secara alamiah, dalam arti
bahwa kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan nasab antara
ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan. Sedangkan hubungan nasab
antara anak dengan ayahnya tidak
ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum, artinya oleh
sebab telah berlangsung hubungan akad nikah (perkawinan) yang sah antara ibu
dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. Maka anak yang lahir
akibat penzinaan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
3.
Dalam prespektif Hukum Islam tentang perlindungan anak, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dapat ditinjau dari dua sisi yang
berbeda, tergantung pada pemahaman makna frasa “anak yang lahir di luar
perkawinan”. Ketika anak yang lahir di luar perkawinan ditafsirkan sebagai anak
yang lahir dari Perkawinan Sirri, maka Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut telah berhasil mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak dalam
Islam, dengan menjamin hak mendapatkan pengakuan nasab dan hak-hak yang timbul
akibat pengakuan nasab tersebut terpenuhi. Namun, jika di tafsirkan/dimaknai
sebagai anak yang lahir akibat perzinaan, maka Putusan ini telah menciderai
prinsip dasar Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam
Islam, yakni Hifdz an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) yang dikategorikan
sebagai suatu maslahah yang bersifat dharuri artinya sesuatu yang
harus ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Andi
Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Pena
Media, 2008.
Imam
As-Syaukani, Nailul Authar (E-Book) (terj. Muhammad Hamidy), jilid 5, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001.
Imam
Malik bin Anas, al-Muwatha’ (E-Book) (terj. Muhammad Iqbal Qadir),
Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Iman
Jauhari, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Medan: Perdana Publishing, 2012.
Mardi
Candra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia: Analisis tentang Perkawinan di
Bawah Umur, Jakarta: Kencana, 2018.
Wahyono
Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: FHUI,
2004.
Yudha
Pandu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008.
B. Artikel
dan Jurnal
Hani Sholihah, Perlindungan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Afkar, Vol.1/No.1/Januari 2018
(https://al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal/article/view/3)
Imam
Mustofa, Dimensi Hak dan Hukum Islam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VII/2010, Jurnal Millah, No.1/Vol.XII/Agustus 2012.
Muhammad Zaki, Perlindungan
Anak Dalam Perspektif Islam, Jurnal Asas, Vol.6/No.2/Juli 2014. (http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1715)
Sabilal Rosyad, Status Hukum Anak di Luar Perkawinan
dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010), Jurnal Hukum
Islam, Vol.15/No.1/Juni 2017.
Siti Musawwamah, Pro-Kontra Atas Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak Luar Kawin Dengan Ayat Biologis,
Jurnal Nuansa, Vol.10/No.1/Januari 2013.
C. Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
D. Salinan
Dokumen
Salinan
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab Anak
Yang Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina).
Salinan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina
Dan Perlakuan Terhadapnya.
Salinan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010.
[1] Wahyono
Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: FHUI,
2004, hlm. 47.
[2] Ketentuan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebelum keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam perkara permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3] Imam Mustofa, Dimensi
Hak dan Hukum Islam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010,
Jurnal Millah, No.1/Vol.XII/Agustus 2012, hlm. 166. Diakses pada Tanggal 14
April 2020 dari https://Journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5106/0.
[4] Salinan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, hlm. 37.
[5]
Siti Musawwamah, Pro-Kontra Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak Luar Kawin Dengan Ayat Biologis,
Jurnal Nuasa, Vol.10/No.1/Januari 2013, hlm. 192. Diakses Pada Tanggal 14 April
2020 dari
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/nuansa/article/view/167
[6] Salinan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya, diakses pada Tanggal 15 April melalui www.mui.or.id
[7] Salinan Fatwa
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab Anak Yang
Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina), diakses pada Tanggal 15 April melalui https://mpu.acehprov.go.id
[8] Andi Syamsu
Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Pena Media,
2008, hlm. 1.
[9] Mardi Candra, Aspek
Perlindungan Anak Indonesia: Analisis tentang Perkawinan di Bawah Umur,
Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 1-2.
[10] Ibid.,
hlm. 2-3
[11] Yudha Pandu, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2008, hlm. 208.
[12] Mardi Candra, Op.Cit.,
hlm 92.
[13] Muhammad Zaki, Perlindungan Anak
Dalam Perspektif Islam, Jurnal Asas, Vol.6/No.2/Juli 2014, hlm. 6. Diakses
dari http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1715, pada Tanggal 20 April 2020.
[14] Hani Sholihah, Perlindungan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Afkar, Vol.1/No.1/Januari
2018, hlm. 39-40, diakses dari https://al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal/article/view/3 pada Tanggal 21 April 2020.
[15] Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hlm.
229.
[16] Hani Sholihah, Op.Cit., 40-41
[17] Ibid.,
hlm. 41-42
[18] Ibid.,
hlm. 42-52.
[19] Imam Malik bin
Anas, al-Muwatha’ (E-Book) (terj. Muhammad Iqbal Qadir), Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006, hlm. 241.
[20] Imam
As-Syaukani, Nailul Authar (E-Book) (terj. Muhammad Hamidy), jilid 5,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, hlm. 2399.
[21] Ibid.,
hlm. 2400-2401
[22] Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, hlm. 148-149.
[23] Salinan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, hlm. 35.
[24] Sabilal Rosyad, Status Hukum Anak di Luar Perkawinan
dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010), Jurnal Hukum Islam, Vol.15/No.1/Juni
2017, hlm. 161, di akses pada Tanggal 24 April 2020 dari http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/978.
[25] Ibid.,
hlm. 164.
[26] Ibid.,
hlm. 165.
[27] Iman Jauhari, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, Medan: Perdana Publishing, 2012, hlm. 5.
[28] Salinan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya, hlm. 10, diakses pada Tanggal 24 April melalui www.mui.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar