BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada beberapa
periode yaitu :
1.
Periode
pertumbuhan
Periode
ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang dibagi kepada 2 masa[1]
:
Pertama, ketika nabi
masih ada di mekkah melakukan dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan
memberi penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah terbuka.
Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat hukum yang di
turunkan.
Kedua, sejak nabi
hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada masa ini terbentuklah Negara islam yang
dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system
masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat yang berisi hukum
turun, baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan
pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa
sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya kaum
muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul terjadi.
Sumber hukum pada periode ini adalah Al Quran dan Hadist.[2]
2.
Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat) sampai abad
pertama hijriyah ( kurang lebih 101 H )
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat
yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul. Tetapi tidak semua orang
memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena
:
1.
Karena tidak
semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau pergaulan
mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi.
2.
Karena belum
tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di kalangan kaum muslimin akibat
perluasan daerah.
3.
Banyaknya
peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw yang
ketentuan hukum nya tidak di temukan dalam nash syariat.[3]
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini bertambah
dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan pendapat di
kalangan sahabat karena :
1.
Kebanyakan ayat
Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.
2.
Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat
dipedomani secara utuh dan menyeluruh.
3.
Lingkungan dan
kondisi daerah yang dialami, persoalan yang di alami dan di hadapi sahabat itu
berbeda beda.[4]
3. Periode Kesempurnaan
Perode ini d sebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan
hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif, baik berupa
penulisan hadist-hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al Quran,
kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqih
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan ijtihad pada
masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan islam, mulai dari perbatasan
Tiongkok di sebelah timur sampai ke Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir
besar dengan berbagai karya besarnya[5],
seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu
Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab
al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan
kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan
murid-muridnya masing-masing.
Diantara faktor
lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu
pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya perhatian pemerintah
(khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan
berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
3. Telah terkodifikasinya
referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar
Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang
dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan muridnya Mujahid(wafat 104H) dan
kitab-kitab lainnya.[6]
4.
Periode Kemunduran
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah
akibat berbagai konflik politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam
keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya
ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid
mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan.
Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam
langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadist. Mereka puas hanya
dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada
pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah
kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran yang jumud dan
statis.[7]
Semenjak
pertengahan abad VI sampai akhir periode ini, umat islam benar-benar berada
dalam suasana taklid,statis,dan jumud. Meraka meninggalkan ijtihad dalam segala
tingkatnya. Sehingga perkembangan ilmu fiqih terhenti, statis dan semakin lama
semakin tertinggal jauh dari arus perkrmbanga jaman. Masa inilah disebut
sebagai masa kemunduran, di mana duania islam bagaikan tenggelam ditelan
kemajuan dunia lainnya(terutama barat) yang semakin hari semakin cemerlang
dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap
taklid dan kemuduran adalah :
a. Efek
samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab
fiqih yang di tulis oleh ulama-ulama sebelumya, baik itu persoalan yang
benar-benar telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan umat
islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab
yang ada itu. Ketergantungan seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan
sifat malas dan hanya mencari yang mudah-mudah.
b. Fanatisme
mahab yang sempit
Setiap golongan
pada masa ini sibuk mencari dalil untuk menguatkan mazhabnya saja, berupaya
menangkis setiap serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas
serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya , mereka tenggelam
dalam suasana chauvinisme yang tinggi,
jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber hukum islam
yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
c. Pengangkatan
hakim-hakim muqallid
Pada masa ini
para penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertaklid, bukan para
ulama mujtahid seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu. Sehingga
kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.[8]
5. Periode
Kebangkitan kembali
Pada periode
ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung
semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali
muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan
mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia
Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi
Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana
meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian
muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan,
ekonomi, militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan
pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di
antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan
fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan
kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat
dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad
Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal
Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain
sebagainya.[9]
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode
yaitu:
1. Zaman Rasulullah
2. Zaman sahabat
3. Zaman tabi’in
1. Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian
dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum
Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber
fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini
didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul [10].
Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا
إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ
اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي
قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi
bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?,
ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi
bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia jawab: akan saya
putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau
temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan
penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Ushul Fiqih secara
teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih
masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih
adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis.
Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad.[11]
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam
hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang
melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan
pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di
atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan
melakukan ijtihad sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai
berikut:
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat
bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air
untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan
shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu
mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah
dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah
bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang
yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua
pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan
persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan
tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang
shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua
macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn
Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya[12].
Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu
batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian
bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan
kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan
hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang
berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena
berkumur-kumur.[13]
2. Zaman Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan
hukum islam adalah para sahabat nabi. Periode ini dimulai pada tahun 11 H
sampai pertengahan abad 50 H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan
bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan
hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat
sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa
Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk
pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat mursalah[14].
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk
mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut
diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah
tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian
hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa
qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum
dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada
masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh
pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan
maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal
sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah
dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat
dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali
dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman
potong tangan diwaktu paceklik[15],
penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan
sebagainya.
Sahabat
juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran
dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman
ayat iddah dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu
selama tiga quru”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[16] itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru
yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari
ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya
hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah
SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan
sumber hukum.
3. Zaman Tabi’in
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan
antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu
daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama
tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama
untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan
tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.[17]
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun
dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya
nash-nash tersebut.[18]
Pada masa tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para
tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.
a. Tahap-tahap perkembangan usul fiqh
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan
yaitu:
1. Tahap awal (abad
3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin
meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma’mun(wafat 218H), Al-Mu’tashim(wafat 227H), Al Wasiq(wafat 232H), dan
Al-Mutawakil(wafat 247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan
ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah
satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya
metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun
seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan
As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai
tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan
kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam
ilmu Ar-rud”.[19]
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh
dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum
yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi
dan cara mentarjihkanya maka datanglah Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan
dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah
As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang
membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah
kitab ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(wafat 221H\835 M) menulis kitab Itsbat
Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (wafat
221H\835M) menulis kitab An-Nakl[20]
dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad
3H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang
mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para
Fuqaha pada zaman itu.
2. Tahap
perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah
dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak
berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya
dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran
liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka
mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang
faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal
kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap eksitensinya, apa lagi
disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya
kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan
taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan
kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para
pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
a. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam
mereka mereka disebut ulama takhrij
b Mentarjihkan pendapat-pendapat
yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah
c. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah
khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf.[21]
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai
dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama
fiqh diantara kitab yan terkenal adalah[22]:
a. Kitab Ushul Al-Kharkhi,
ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi(wafat
340H)
b. Kitab Al Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad
Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (wafat 305H)
c. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu
Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh
pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh
secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu
semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada
sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab
fushul fi al ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri
corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4H., juga
tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya
metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.[23]
3. Tahap
Penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa
daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam.
Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti
Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar
dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap
perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang
menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya,
antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu
Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani,
Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain[24].
Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman
di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas
ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian
keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri
senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya
sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini
merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat
kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih
slanjutnya.[25]
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping
mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga
menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal
dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.
b. PEMBUKUAN USHUL FIQH
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah
perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan
hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan
hukum.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah
dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul
Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab
Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita.[26]
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya
adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang
diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul
Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para
ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.[27]
Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik
corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah
istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam
memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis,
fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan
penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa
ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan
dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak menggunakan amal
(tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang
merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish.
Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya
serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i
bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi
pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran
fiqih yang bermacam-macam.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik
(ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid
Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah
menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang
salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul
Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu
Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”.
DAFTAR PUSTAKA
ü
Prof. Dr.H. Alaiddin
koto, M.A,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2006)
ü Prof.Dr. Abdul Wahhab Khallaf,Kaidah-kaidah
Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih,(Kuwait:Darul
Qalam,2003) cetakan XI
ü Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul
Fiqih,(Bandung:cv pustaka setia bandung,2007)
ü Hasim Kamali, Prinsip Dan
Teori-Teori Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka
Pelajar Offset, 1996)
[1] Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 14
[2]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
[3]
Prof..Dr.H. Aliddin
Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal. 15
[4]
Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 16
[5]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
[6]
Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 18
[7]
Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 21
[8]
Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 23
[9]
Prof..Dr.H.
Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 24
[10]
Prof.Dr.H.
Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal.29
[11]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.11
[12]
Prof.Dr.H.
Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.27
[13]
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 330
[14]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal 110
[15]
Prof.Dr.H. Alaiddin
Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.31
[16]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.260
[17]
Prof.Dr.H.
Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.32
[18]
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 24
[20]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[21]
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 31
[22]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[23]
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 32
[24]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.10
[26]
Prof.Dr.H.
Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.33
[27]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.9