Jumat, 09 Juni 2017

Makalah Pengalihan Harta Waqaf

BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah
      Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).
      Aplikasi rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Karena dalam image masyarakat beranggapan bahwa wakaf sebagai sedekah jariyah. Pemahaman “manfaat” atas harta wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah hilang.Mengantisipasi hal ini, Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan bagi umat Islam di Indonesia telah memberanikan diri untuk membuka kemungkinan dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak dapat dirasakan lagi oleh masyarakat.
            Terhadap jaminan kemungkinan pengalihfungsian ini perlu ditela’ah lebih jauh, baik dari tataran dalil pensyariatannya ataupun dari sudut wacana yang pernah dikemukakan oleh para ulama klasik. Wacana yang berkembang di tengah para ulama menyangkut persoalan pengalihfungsian ini tak dapat dilepaskan dari hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها … (رواه البخارى)
 “Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk mohon petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila engkau mau engkau dapat menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya. Kemudian Umar mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya (H.R al-Bukhari).

            Hadis di atas secara tegas menjelaskan bahwa fisik harta yang diwakafkan tidak dapat ditasharrufkan. Hak sosial dari harta tersebut hanya menyangkut manfaat yang ada pada harta tersebut. Hanya saja sebagian ulama mencoba memberikan penalaran akan terbukanya kemungkinan mengalihfungsikan harta yang telah diwakafkan ke bentuk baru dengan manfaat yang lebih terukur. Sebagai wakil dari pemikiran kemungkinan ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiah, meskipun mereka mengecualikan wakaf mesjid. Padahal Kompilasi Hukum Islam sama sekali tidak memberikan pengecualian akan hal ini.
            Untuk menjawab persoalan ini, maka pemakalah mencoba menganalisanya melalui Makalah yang berjudul Pengalihan Harta Wakaf

1.2.            Rumusan Masalah
a.       Apa Pengertian Wakaf dan Dalil Tentang Wakaf ?
b.      Apa Rukun dan Syarat Wakaf ?
c.       Bagaimana Hukum Pengalihan Harta Wakaf ?

1.3.            Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui Pengertian dan Dalil Tentang Wakaf.
b.      Mengetahui Rukun dan Syarat Wakaf.
c.       Mengetahui dan Memahami Hukum Pengalihan Harta Wakaf









BAB DUA
PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Wakaf
            Wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari ﻭﻗﻒ - ﻳﻘﻒ - ﻭﻗﻔﺎ kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari ﺣﺒﺲ - ﻳﺤﺒﺲ - ﺣﺒﺴﺎ artinya menahan[1].
            Dalam pengertian istilah ulama berbeda redaksi dalam memberi rumusan. Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT. Dalam Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khattab disebutkan, wakaf adalah menahan asal harta dan menjalankan hasil (buah) nya. Imam taqiyuddin Abi Bakr lebih menekankan tujuannya, yaitu menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk memdekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Kazimy al-Qazwiny mendefinisikan, hakikat wakaf adalah menahan suatu benda (‘ain) dan menjalankan manfaatnya[2].
            Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP. No. 28/ 1997 menyatakan:
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”

            Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, Pasal 1 mendefinisikan pengertian wakaf sebagai berikut:
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau  untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”
            Dari beberapa pengertian wakaf di atas, dapat dipahami bahwa cakupan wakaf meliputi[3]:
1.    Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.
2.    Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai.
3.    Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
4.    Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa dihibahkan, diwariskan, atau diperjualbelikan.
5.    Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut fiqh islam yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, dikatakan “sah kita mewakafkan binatang”. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan menurut satu riwayat, juga imam Malik.[4]
Sejalan dengan tujuannya wakaf ada 2 macam, pertama, wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga. Yang dimaksud dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ada ikatan keluarga atau tidak. menurut Nazaroeddin Rachmat, wakaf ahli banyak di praktekkan di beberapa negara Timur Tengah. Setelah nenerapa tahun, ternyata praktek wakaf ahli semacam itu menimbulkan banyak permasalahan. Banyak diantara mereka yang diamanati sebagai nadhir menyalahgunakannya, misalnya[5]:
1.    Menjadikan wakaf itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninngal dunia.
2.    Wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak tuntutan kreditur atas utang-utangnya yang dibuat si wakif sebelum mengwakafkan tanah (kekayaan) nya.
Oleh karena itu, di beberapa negara tersebut, wakaf ahli dibatasi dan bahkan dihapuskan, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Kedua, wakaf khair atau wakaf umum. Wakaf umum ini ditujukan untuk kepentingan umum. Seperti masjid, mushalla, madrasah, pondok pesantren, Perguruan Tingga Agama, dan lain sebagainya. Wakaf umum ini, sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekeyaan umat Islam untuk kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala jariyah yang tinggi. Artinya meskipun si wakif telah meninggal dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut tetap digunakan unuk kepentingan umum.[6]
Adapun dasar hukum pensyariatan wakaf adalah[7]:
1.      Surat Al-Baqarah 267
$ygƒr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä(#qà)ÏÿRr&`ÏBÏM»t6ÍhŠsÛ$tBóOçFö;|¡Ÿ2!$£JÏBur$oYô_t÷zr&Nä3s9z`ÏiBÇÚöF{$#(Ÿwur(#qßJ£Jus?y]ŠÎ7yø9$#çm÷ZÏBtbqà)ÏÿYè?NçGó¡s9urÏmƒÉÏ{$t«Î/HwÎ)br&(#qàÒÏJøóè?ÏmÏù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#;ÓÍ_xîîŠÏJym
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji[8]
2.      Surat Ali-Imran ayat 92
`s9(#qä9$oYs?§ŽÉ9ø9$#4Ó®Lym(#qà)ÏÿZè?$£JÏBšcq6ÏtéB4$tBur(#qà)ÏÿZè?`ÏB&äóÓx«¨bÎ*sù©!$#¾ÏmÎ/ÒOŠÎ=tæ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.[9]
3.      Hadist Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no. 1631)

4.      Hadis Wakaf Umar
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها  (رواه البخارى(
“Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk mohon petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila engkau mau engkau dapat menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya. Kemudian Umar mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya. (H.R al-Bukhari).

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

2.2.            Rukun dan Syarat Wakaf
2.2.1.      Wakif, yaitu orang yang berwakaf
Syarat Wakif menurut Hukum Islam adalah: merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak berada di bawah pengampuan. Sedangkan syarat menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah: dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf. Syarat tersebut adalah bagi wakif yang bersifat perorangan tapi wakif juga bisa berupa organisasi dan badan badan hukum. Jika wakif berupa organisasi, UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasiyang besangkutan tapi jika wakif berupa badan hukum, UU menyerahkan persyaratan wakif kepada ketentuan badan hukum[10].

2.2.2.      Nadhir Wakaf, yaitu Pengelola wakaf
Syarat Nadhir (Pegelola wakaf): harus mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, mukallaf sehingga ia bisa mengelola wakaf dengan baik, memiliki kreatifitas (dzu ra’y). Ini didasarkan pada tindakan Umar ketika menunjukan Hafshah menjadi Nadhir harta wakafnya ini karena Hafshah dianggap mempunyai kreatifitas tersebut[11]. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi Nadhir dalam pasal 10 UU No. 41 Tahun 2004:
(1)     Perseorangan hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan:
a.         Warga Negara Indonesia
b.         Beragama Islam
c.         Dewasa
d.        Amanah
e.         Mampu secara jasmani dan rohani
f.          Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

(2)     Organisasi hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan
a.         Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan Nadhir perseorangan
b.         Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.

(3)     Badan hukum hanya dapat menjadi Nadhir apabila memenuhi persyaratan:
a.         Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan Nadhir perseorangan
b.         Badan hukum indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.         Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.[12]


2.2.3.      Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan
Syarat Maukuf bih (Benda yang diwakafkan): Harus mempunyai nilai/berguna, benda tetap (tidak bergerak) dan benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan, benda yang diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan, benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan. Sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. 

2.2.4.      Maukuf ‘alaih, tujuan wakaf.
Syarat Maukuf Alaih (tujuan wakaf) adalah dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan menurut Syari’at Islam.
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 22, bahwa tujuan wakaf adalah:
1.   Sarana ibadah dan kegiatan ibadah;
2.   Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
3.   Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
4.   Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5. Kemajauan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengansyari’ah dan peraturan perundang-undangan[13].

2.2.5.      Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya.

Syarat Sighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/tabarru” maka sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci sebagaimana dalam fiqih. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa: “Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap syari’at Islam untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini.[14]

2.3.      Alih Fungsi Harta Wakaf
2.3.1.   Alih Fungsi Harta Wakaf Menurut Fuqaha’
            Para ulama terdahulu membedakan jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat melarang untuk menukar atau menjualnya.[15] Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi’iyyah memperbolehkan untuk menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.[16]
Namun, mereka berbeda dalam menetukan persyaratannya. Ulama Hanafiah memperbolehkan penukaran benda tersebut dalam tiga hal: 1) Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar benda tersebut ketika mewakafkannya, 2) apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan 3) jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.
Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu: 1) wakif ketika ikrar mensyaratkan ditukar atau dijual, 2) benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya, 3) apabila benda wakaf pengganti dibutukan untuk kepentinagn umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya, dan sebagainya.[17]
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk mesjid atau bukan mesjid. Ibnu Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya, suatu mesjid yang tidak dapat lagi digunakan  karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, sementara ditempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.
Dasar pemikiran Ibnu Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Ibnu Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah,setelah berperang, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan suatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar, seperti mesjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas dan lebih baik. Dalam hal ini, mengacu kepada tindakan Umar bin Khattab, ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap mesjid Nabawi.
Lebih jauh ia mengemukakan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya perusakan atau setidaknya penyia-nyiaaan benda wakaf itu. Ini sejalan dengan kaidah:
ﺩﺭﺃﺍﳌﻔﺎﺳﺪﻣﻘﺪﻡﻋﱃﺟﻠﺐﺍﳌﺼﺎﻟﺢ
“Menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.”

2.3.2.               Alih Fungsi Harta Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan KHI[18]
Dalam UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur mengenai perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari menteri dan  pencatatan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Namun, harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Dalam Pasal 40 dijelaskan bahwa harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan ditukar.  Pasal 41 menjelaskan perubahan status wakaf atau penukaran harta wakaf dapat dilakukan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tentang wakaf bahwa harta benda wakaf tidak dapat ditukarkan kecuali karena alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Harta benda wakaf yang telah dirubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Penukaran dapat dilakukan oleh Menteri Agama RI setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama Indonesia kabupaten/kota, kantor Departemen Agama Kabupaten/kota, dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Adapaun dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
 a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.


2.4.      Tujuan Wakaf[19]       
             Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu pengkaderan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syariat Islam, diantaranya:
1.  Membela agama, yaitu beramal karena untuk keselamatan hamba pada hari akhir kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi sebab keselamatan, penambahan pahala, dan pengampunan dosa.
2. Memelihara hasil capaian manusia. Manusia menggerakkan hasratnya untuk selalu terkait dengan apa yang ia miliki, menjaga peninggalan bapak-bapaknya, nenek moyangnya. Maka, ia mengkhawatirkan atas kelestarian dan kelanggengan harta benda peninggalan tersebut, ia khawatir kalau-kalau anaknya akan melakukan pemborosan, hura-hura, foya-foya. Maka, ia pun menahan harta-benda tersebut dan mendayagunakannya, hasilnya bisa dinikmati oleh anak keturunannya ataupun publik, adapun pokok hartanya tetap lestari.
3. Menyelamatkan keadaan sang wakif. Misalnya ada seseorang yang merasa asing, tidak nyaman dengan harta-benda yang ia miliki, atau merasa asing dengan masyarakat yang ada di sekelilingnya, atau ia khawatir tidak ada yang akan mengurusi harta bendanya kelak jika ia sudah wafat, karena tidak punya keturunan atau tidak ada sanak kerabat, maka dalam keadaan seperti ini yang terbaik baginya adalah menjadikan harta bendanya tersebut sebagai harta fii sabilillah sehingga ia bisa menyalurkan manfaat/hasil dari harta bendanya tersebut ke berbagai sarana publik.
4. Memelihara keluarga. Yaitu untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan orang-orang yang ada dalam nasabnya. Maka, dalam keadaan ini, seseorang mewakafkan harta-bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya, sebagai cadangan disaat-saat mereka membutuhkannya.
5. Memelihara masyarakat. Bagi orang-orang yang memiliki atensi besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat, maka ia kewakafkan harta-bendanya untuk tujuan itu, dengan harapan bisa menopang berbagai tanggung jawab urusan sosial-kemasyarakatan.




BAB TIGA
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
Para Ulama membedakan jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat melarang untuk menukar atau menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi’iyyah memperbolehkan untuk menukarnya dengan syarat-syarat tertentu dan apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004, Pasal 40 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 bahwa harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan ditukar, kecuali karena alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
Berdasarkan pendapat para fuqaha’ dan UU NKRI tentang wakaf, dapat dianalisa bahwasanya pengalihan harta wakaf itu diperbolehkan atas mempertimbangkan manfaatnya dengan syarat apabila telah dilakukannya pengalihan harta wakaf, manfaatnya lebih besar untuk kemaslahatan masyarakat daripada manfaat harta semula.
Dalam hal pemberian isyarat oleh si wakif terhadap dibolehkannya benda wakaf tersebut ditukar atau dijual manakala kondisinya sangat mendesak, itu hanya berlaku relatif, karena tidak semua wakif mengisyaratkan boleh atau tidaknya harta wakaf tersebut untuk ditukar atau dijual. Maka oleh itu, pengambilan keputusan mengenai pengalihan harta wakaf jangan terpaku kepada teks nash yang kaku akan tetapi jiwa dan tujuan pokok wakaf untuk merealisasikan kemaslahatan haruslah dikedepankan. Karena bagaimanpun juga, yang jauh lebih penting diperhatikan adalah kelestarian dan kesinambungan nilai manfaat wakaf itu bagi kepentingan kaum muslimin.

3.2.      Saran
            Demikianlah makalah yang kami presentasikan dalam mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia, kami sadari makalah kami masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami sangat mengharap kritikan serta saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil diskusi kita semua.




[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 395.
[2]Ibid.
[3]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 491.
[4]T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 179.
[5]Ibid., hlm. 492.
[6]Ibid.
[7]Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 26.
[8]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1979), hlm. 47.
[9] Ibid., hlm. 91.

[10] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di ..., hlm. 399.

[11]Abdul Manan,  Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 269.
[12]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di ..., hlm. 401.

[13]Ibid., hlm. 410.

[14]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di ..., hlm. 496.
[15]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid 10 (terj. As’ad Yasin), (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 324.
[16]RachmadiUsman,HukumPerwakafan di Indonesia,(Jakarta: SinarGrafika, 2009) hlm. 90.

[17]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di ..., hlm. 449.
[18]Kementerian Agama RI, DirektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam, DirektoratPemberdayaanwakaf, HimpunanPeraturanPerundang-UndanganTentangWakaf, (Jakarta: Kemenag, 2012), hlm. 80-82.

[19]RachmadiUsman, HukumPerwakafan di..., hlm. 66.

1 komentar:

  1. Assalaamualaikum wbt
    Bismillahirrohmaanirrohiim
    Mohon share jzkk atas perkongsian ilmu moga diterima sebagai amal soleh In Syaa Allah Aamiin Allahumma Aamiin

    BalasHapus