Minggu, 23 November 2014

Makalah TARIKH TASYRI' Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dengan wafatnya nabi Muhammad SAW, berhentilah wahyu yang diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau berada di mekkah maupun di madinah. Demikian pula halnya dengan sunnah, berakhir pula denga meninggalnya Rasulullah. Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT tidak mungkin digantikan, tapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi sebagai kepala negara dan pemimpin umat islam ini disebut dengan khalifah.
Perkembangan Tasyri’ pada masa khalifah pertama yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq mengalami sedikit masalah dengan munculnya pemberontakan, orang murtad dan muncul beberapa masalah hukum  baru yang tidak terdapat dalam Nash Al Quran dan Hadist sehingga muncul metode penyelesaian masalah baru berupa ijtihad sahabat (Ijma’ dan Qiyas). Setelah Abu Bakar Wafat, tongkat kekhalifahan di pegang oleh Umar bin Khattab, Perkembangan Tasyri’ pada masa ini dipengaruhi oleh perluasan wilayah islam sehingga muncul bebagai masalah-masalah baru.
Maka pada makalah ini pemakalah ingin mencoba memaparkan perkembangan Tasyri’ pada masa khalifah Umar bi Khattab.

B.     Rumusan Masalah
1.        Riwayat Singkat Khalifah Umar Bin Khattab.
2.        Pengangkatan Khalifah Umar Bin Khattab.
3.        Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Umar Bin Khattab.
4.        Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab.
5.        Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab.

C.    Tujuan Penulisan
Pembaca diharapkan dapat mengenal khalifah Umar Bin Khattab dan mengetahui perkembangan tasyri’ pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Khattab.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Riwayat Singkat Khalifah Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab (583-644 M) memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq[1]. Umar bin khattab lahir di Mekkah pada tahun 583 M, dua belas tahun lebih muda dari Rasulullah Umar juga termasuk kelurga dari keturunan Bani Suku Ady (Bani Ady). Suku yang sangat terpandang dan berkedudukan tinggi dikalangan orang-orang Qurais sebelum Islam. Umar memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, pemberani dan tidak mengenal gentar, pandai berkelahi, siapapun musuh yang berhadapan dengannya akan bertekuk lutut. Ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi dimasa yang akan datang, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih.
Umar bin Khatthab adalah salah satu sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi Muhammad SAW. Peranan umar dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol kerena perluasan wilayahnya, disamping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarahwan. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa jika tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Isalm belum tentu bisa berkembang seperti zaman sekarang.
            Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Dalam banyak hal Umar bin Khatthab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius. Beberapa keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan masyarakat Arab, sehingga kaum Qurais memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”[2].

B.     Pengangkatan Khalifah Umar Bin Khattab
Pada musim panas tahun 364 M Abu Bakar menderita sakit dan akhirnya wafat pada hari senin 21 Jumadil Akhir 13 H/22Agustus 634 M dalam usia 63 tahun. Sebelum beliau wafat telah menunjuk Umar bin Khatab sebagai penggantinya sebagai khalifah. Penunjukan ini berdasarkan pada kenangan beliau tentang pertentangan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan Ansor. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajal segera datang, akan timbul pertentangan dikalangan umat islam yang mungkin dapat lebih parah dari pada ketika Nabi wafat dahulu[3].
Dengan demikian, ada perbedaan antara prosedur pengangkatan Umar bin Khatab sebagai khalifah dengan khalifah sebelumnya yaitu Abu Bakar. Umar mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam system musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau watsiat oleh pendahulunya (Abu Bakar).
            Pada saat itu pula Umar di bai’at oleh kaum muslimin, dan secara langsung beliau diterima sebagai khalifah yang resmi yang akan menuntun umat Islam pada masa yang penuh dengan kemajuan dan akan siap membuka cakrawala di dunia muslim. Beliau diangkat sebagai khalifah pada tahun 13H/634M.

C.    Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Khalifah Umar Bin Khattab
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan islam pada jaman Umar. Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus. 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Ada beberapa perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Umar bin Khathab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama.


1.        Perkembangan Politik
Pada masa khalifah Umar bin khatab, kondisi politik islam dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu  segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Perluasan penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit tantangan yang dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan[4]. Kekuasaan Islam sampai ke Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masa Umar bin khatab mulai dirintis tata cara menata struktur pemerintahan yang bercorak desentralisasi. Mulai sejak masa Umar pemerintahan dikelola oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan propinsi.
Karena telah banyak daerah yang dikuasai Islam maka sangat membutuhkan penataan administrasi pemerintahan, maka khalifah Umar membentuk lembaga pengadilan, dimana kekuasaan seorang hakim (yudikatif) terlepas dari pengaruh badan pemerintahan (eksekutif). Adapun hakim yang ditunjuk oleh Umar adalah seorang yang mempunyai reputasi yang baik dan mempunyai integritas dan keperibadian yang luhur. Zaid ibn Tsabit ditetapkan sebagai Qadhi Madinah, Ka’bah ibn Sur al-Azdi sebagai Qadhi Basrah, Ubadah ibn Shamit sebagai Qadhi Palestina, Abdullah ibn mas’ud sebagai Qadhi kufah.
Pada masa Umar ibn Khatab juga mulai berkembang suatu lembaga formal yang disebut lembaga penerangan dan pembinaan hukum islam. Dimasa ini juga terbentuknya sistem atau badan kemiliteran.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab ekspansi Islam meliputi daerah Arabia, syiria, Mesir, dan Persia. Karena wilayah Islam bertambah luas maka Umar berusaha mengadakan penyusunan pemerintah Islam dan peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
2.        Perkembangan Ekonomi
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, dan setelah Khalifah Umar mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Pada masa ini juga mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijriah[5]. Dan menghapuskan zakat bagi para Mu’allaf. Ada beberapa kemajuan dibidang ekonomi antara lain :
a.  Al kharaj
Kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (Al kharaj).
b.  Ghanimah
Semua harta rampasan perang (Ghanimah), dimasukkan kedalam Baitul Maal Sebagai salah satu pemasukan negara untuk membantu rakyat. Ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola harta tersebut.
c.   Pemerataan zakat
Umar bin Khatab juga melakukan pemerataan terhadap rakyatnya dan meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang diperjinakan hatinya (al-muallafatu qulubuhum).
d.  Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak dan Syria serta Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan, baik yang menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang mengatur pemasukan dan pengeluaran[6].
3.        Perkembangan Pengetahuan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi kalau ada diantaa umat Islam yang ingin belajar hadis harus perdi ke Madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di Madinah. Dengan meluasnya wilayah Islam sampai keluar jazirah Arab, nampaknya khalifah memikirkan pendidikan Islam didaerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Untuk itu Umar bin Khatab memerintahkan para panglima perangnya, apabila mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka mendirikan Mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.
Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan ajaran Islam lainnya seperti fiqh kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar, karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam ini yang kemudian mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin keagamaan.
Dengan demikian  pelaksanaan pendidikan dimasa khalifah umar bin khatab lebih maju, sebab selama Umar memerintah Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, ini disebabkan, disamping telah ditetapkannya mesjid sebagai pusat pendidikan, juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam diberbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis dan pokok ilmu-ilmu lainnya.
4.        Perkembangan Sosial
Pada masa Khalifah Umar ibn Khatthab ahli al-dzimmah yaitu penduduk yang memeluk agama selain Islam dan berdiam diwilayah kekuasaan Islam. Al-dzimmah terdiri dari pemeluk Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka mendapat perhatian, pelayanan serta perlindungan pada masa Umar. Dengan membuat perjanjian, yang antara lain berbunyi ;
Keharusan orang-orang Nasrani menyiapkan akomodasi dan konsumsi bagi para tentara Muslim yang memasuki kota mereka, selama tiga hari berturut-turut.
Pada masa umar sangat memerhatikan keadaan sekitarnya, seperti kaum fakir, miskin dan anak yatim piatu, juga mendapat perhatian yang besar dari Umar ibn Khathab.
5.        Perkembangan Agama
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)  pertama terjadi ; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam[7].
Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Dalam kata lain. Islam pada zaman Umar semakin berkembang.
Jadi dapat disimpulkan, keadaan agama Islam pada masa Umar bin Khatthab sudah mulai kondusif, dikarenakan karena kepemimpinannya yang loyal, adil, dan bijaksana. Pada masa ini Islam mulai merambah ke dunia luar, yaitu dengan menaklukan negara-negara yang kuat, agar islam dapat tersebar kepenjuru dunia.

D.    Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Setelah Umar bin Khattab mengantikan Abu Bakar sebagai khalifah, beliau melanjutkan apa yang dicita-citakan Abu Bakar untuk menyebarkan islam ke berbagai wilayah. Umar pun mampu melaksanakannya dengan menguasai beberapa daerah seperti persia, syiria, kuffah, basrah, mesir dan armenia. Islam pun menyebar sehingga banyak orang mawalli (bukan orang arab) bnyak yang masuk islam dengan beraneka latar belakang kehidupan sosial budaya. Permaslahan baru pun muncul, tidak hanya menyangkut pada masalah kehidupan sosial tetapi juga berhubungan dengan pemerintahan dan ketahanan pangan. Harta rampasan perang yang seharusnya 1/5 untuk Allah dan Rasul Nya, dan 4/5 dihabiskan untuk pasukan perang , oleh beliau itu tidak dilaksanakan seperti yang sudah diatur pada masa rasul. Beliau berpandangan bahwa lebih maslahat jika tanah itu tetap dikelola oleh pemiliknya. Namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, temasuk untuk keperluan perang[8].
Disamping itu, berbagai persoalan banyak bermunculan setelah terjadinya penyebaran islam ke berbagai daerah yang memiliki sosio historis berbeda dengan bangsa arab. Ditambah lagi dengan munculnya persoalan sunnah nabi yang datang dari umat islam sendiri dan dari kelompok lain (munafiq). Dari dalam umat islam sendiri banyak hadist yang berubah karena faktor lupa dan keliru dalam menerima dan menyampaikannya. Sedangkan dari kelompok munafik, mereka sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam. Oleh karena itu pada masa Umar, para sahabat dilarang keluar dari madinah agar tidak menyebarkan hadist secara sembarangan dan dapat melakukan musyawarah dalam menghadapi persoalan hukum yang penting[9].
Adapun yang menjadi faktor-faktor perkembangan tasyri’ pada periode ini adalah :
       1.      Kebanyakan umat Islam adalah orang awam yang belum mampu memahami nas-nas Al quran dan hadist kecuali dengan bantuan orang-orang yang mengajarkan kepadanya.
      2.      Materi undang-undang tersebut belum tersebar luas dikalangan umat Islam sehingga setiap individu belum dapat mempelajarinya, sebab teks Al-Qur'an pada awal periode ini baru dihimpun dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah kediaman Rasulullah saw dan di rumah sebagian sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum dikodifikasikan sama sekali.
      3.      Materi undang-undang hanya mensyariatkan hukum-hukum tentang berbagai peristiwa dan urusan-urusan peradilan yang terjadi itu dan belum mensyariatkan hukum-hukum tentang peristiwa yang belum dan yang mungkin akan terjadi. Sementara umat Islam terus menerus akan dihadapkan oleh sejumlah kebutuhan hukum tentang kejadian baru serta urusan peradilan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi saw, dan ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan dalam nas-nas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka para ulama dari kalangan sahabat dan tokoh-tokoh pada periode ini berkewajiban menegakkan Tasyri’ itu. Kewajiban tersebut berupa:
      1.      Menjelaskan kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
      2.      Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
3.      Menfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang belum ada ketetapan hukumnya.
E.     Sumber-Sumber Tasyri Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
a.      Al-Quran
               Al- Qu’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan maknanya. Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-Qur’an, karena ini adalah sumber pertama bagi penentuan aqidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum- hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
  Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
  Jika ada masalah yang muncul dan memang sudah ada hukumnya serta kandungan dalil yang tepat maka mereka akan mengambil dalil ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka dalam masalah ini. Perbedaan terkadang muncul dalam beberpa hukum yang diambil dari Al-Qur’an walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memilki makna lebih dari satu, seperti adanya kata musytarak    ( beragam makna ) yaitu kata yang mengandung dua makna atau lebih, maupun kata yang  bermakna majaz ( kiasan ).
  Contoh kata quru’ dalam firman Allah QS : Al-Baqarah : 228
  Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
  Kata tersebut adalah bentuk jama’ dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan Haid dan bisa juga Suci.


b.      Al-Hadits
Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada Hadist dalam mengishtinbatkan hukum ketika tidak menemukan nash dalam Al- Qur’an, karena Hadist adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Adapun cara para sahabat dalam mengamalkan Hadist  pada zaman ini adalah jika ada hadist dan perwainya yakin karena ia mengetahuinya, atau karena perawinya bisa dipercaya atau ada yang memberi persaksian dan tidak diketahui dia sudah meninggal sebelum periwayatan, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu- ragu untuk menerima dan mengamalkan dan berfatwa dengannya.
Namun jika kepercayaan terhadap perawinya lemah apalagi ia hanya sendirian, maka inilah yang akan mereka tolak, termasuk ketika Hadistnya kuat dan perawinya terbukti. Namun, ada sahabat yang mengatakan bahwa itu sudah dimansukh oleh Rasulullah maka mereka tidak ragu untuk menolak hadist tersebut. Atau ketika ada Hadist yang kuat perawinya, namun ada dalil lain yang lebih kuat dan bertentangan dengan hal itu maka inipun akan ditolak. Semua sesuai dengan kondisi perawi dan cara penganbilan hadist atau ada yang menolaknya. Mungkin saja seorang sahabat menilai hadist ni kuat, namun sahabat lain menganggap hadist ini lemah sehinga mereka pun berbeda pendapat dalam menetapkan hukum dan sumber perbedaan berasal dari kepastian sebelah pihak dan tidak adanya kepercayaan dari pihak lain sesuai dengan apa yang didengar, diyakini dan dipahami dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan Hadist, atau dari Hadist yang lebih kuat menurut penilaiannya.
Contoh adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, siapa yang membawa jenazah, maka hendaklah ia berwudu’. Hadist ini tidak dapakai oleh Abdullah bin Abbas dan ia berkata, kita tidak wajib berwudu’ karena membawa tiang rumahnya.
c.       Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ra’yu / buah pemikiran mereka. ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru kemudian maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’i terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya metode sendiri-sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya / subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Mekkah dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi SAW, sbelum mengutusnya Nabi menanyainya,bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz pun menjawab aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.
Contoh Ijtihad Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
·         Tentang satu orang yang dibunuh oleh beberapa orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?” “Ya”, jawab Umar. Ali pun berkata:”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir / analogi terebut, maka umar menetapkan hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”.
·         Tentang Pencuri Dalam Masa Panceklik
Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri yang mencuri makanan di musim paceklik karena mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa) itu lebih didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia saat itu lebih dipentingakan daripada harta.
·         Bagian zakat orang muallaf
Terhadap orang muallaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi Muhammad muallaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mualalf umar berkata:”Sesungguhnya Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat/harta kepada orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.











BAB III
                                                                    PENUTUP                      




A.    Kesimpulan
Umar bin Khattab (583-644 M) memiliki nama lengkap Umar bin Khathab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, beliau adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Adapun kamajuan-kemajuan yang dicapai pada masa khalifah umar meliputi bidang sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama. Perkembangan tasyri’ pada masa khalifah Umar Bin Khattab menimbulkan berbagai permasalahan baru yang manyoritas disebabkan oleh peluasan wilayah islam yang semakin luas sehingga pemeluk agama islam bukan saja dari orang arab tapi juga orang mawalli (orang yang bukan bangsa arab)’ sehingga pada masa ini yang menjadi sumber tasyri’ adalah Al Quran, Hadist, dan Ijtihad Sahabat (ijma dan Qiyas).





















DAFTAR PUSTAKA


Agama, Departemen, Ensiklopedi Islam,( Jakarta : Departemen Agama, 1993), jilid ke III.
Haikal, Muhammad Husein, Umar bin Khatthab, sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan islam dan kedaulatannya dimasa itu, (Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002).
Mubarok, Jaih, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000).
Setiawan, Arif, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002).
Syaifuddin, Amir, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000) .
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008).




[1] Departemen Agama, Ensiklopedi Islam,( Jakarta : Departemen Agama, 1993), jilid ke III. Hal 1256
[2]  Arif Setiawan, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002). Hal 2
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 37
[4]  Arif Setiawan, Islam dimasa Umar bin Khatthab, (Jakarta : Hijri Pustaka, 2002). hal 4
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 38
[6] Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khatthab, sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan islam dan kedaulatannya dimasa itu, (Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002). Hal 45
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008). Hal 37
[8] Amir Syaifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000) . hal 23
[9] Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000). Hal 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar