Rabu, 20 Agustus 2014

Makalah Tahapan-Tahapan Pra Pernikahan

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

TAHAPAN-TAHAPAN
PRA PERNIKAHAN

DI SUSUN OLEH

RIDHA MAULANA ( 111309719 )
JURUSAN SYARI’AH HUKUM KELUARGA
UNIT SATU

PENGASUH : EDY DARMAWIJAYA, M.Ag

1297272379_logo-iain.jpg







FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa tujuannya agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal, sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal . . . . (QS Al Hujurat :13)
Maka untuk mehindari manusia terjerumus ke lembah kemaksiatan  Allah SWT menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang ada pada manusia ini, Diantaranya adalah pengaturan mengenai ta’aruf, nadhar dan khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim. Ketiga tahap ini merupakan pendahuluan perkawinan yang disyari’atkan  sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak
B.            Rumusan Masalah
1.        Pengertian  ta’aruf dan hal-hal yang berhubungan dengan ta’aruf .
2.        Pengertian  nazhar dan hal-hal yang berhubungan dengan nazhar.
3.        Pengertian khitbah dan hal-hal yang berhubungan dengan khitbah.
C.           Tujuan Penulisan
1.        Pembaca dapat mengetahui pengertian ta’aruf dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
2.        Pembaca dapat mengetahui pengertian nazhar dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
3.        Pembaca dapat mengetahui pengertian khitbah dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Mengenal calon pasangan hidup (Ta’aruf)
1.             Pengertian Ta’aruf
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita harus mengenal siapa lelaki yang berhasrat menikahinyaSaling kenal mengenal ini merupakan proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).[1]
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal[2]. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن إكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujurat: 13)[3].
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki atau si wanita.
2.             Hukum berbicara dengan wanita dalam tahap Ta’aruf
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti  melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
u Ÿxsù z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s%ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B  
Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)[5].
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan)[6]

3.             Hal-hal yang dianjurkan bagi laki laki dalam Ta’aruf
Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi laki-laki untuk diperhatikan dalam hal ta’arufdengan wanita, yaitu[7] :
Ø Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Wanita itu dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama, bila tidak engkau celaka” (HR.Bukhari)[8]

Ø Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i)[9].
Ø Wanita tersebut masih gadis, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
 “Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari)[10]
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْ
Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR.Tirmidzi)[11]








B.            Melihat calon pasangan hidup (Nazhar)
1.             Pengertian Nazhar
Nazhar secara etimologi berasal dari kata kata nazhara (fi'il madhi) yang artinya penglihatan, pandangan, dan tatapan dengan mata. Secara terminologi pengertian nazhar adalah melihat calon istri yang ingin di pinang (khitbah) sesuai dengan batas-batas syar’i.
Agar kehidupan bersuami istri berjalan dengan baik, sejahtera, dan tentram, seharusnya calon suami terlebih dahulu melihat perempuan yang akan di pinangnya sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa menjadi salah satu faktor pendorongnya untuk meminangnya, atau untuk mengetahui cacat-celanya yang bisa menjadi faktor pertimbanganya.[12]
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَ
Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari)[13].
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.




Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya[14]:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita[15], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR.Tirmidzi)[16].

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.”
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا هَا إِذَاإِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْ لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
 ‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR.Ahmad)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.”[17]

2.             Hukum berduaan ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar haram lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita[18].
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari)[19]
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya.

3.             Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Jumhur ulama berpendapat bagian badan yang boleh dilihat adalah muka dan telapak tangan. Dengan melihat mukanya dapat diketahui cantik jeleknya, dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak[20].
Para fuqaha berbeda pendapat tentang bagian badan wanita yang boleh dilihat. Imam malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Al-Dzahiri) membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan[21].
Sedangkan para ulama hambali membolehkan melihat anggota badan yang tampak tatkala si perempuan beraktivitas. Anggota badan tersebut ada enam, yaitu wajah, leher, tangan, telapak kaki, kepala, dan betis[22].
Jika laki-laki sudah melihat wanita yang ingin dia pinang dan ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hati wanita tersebut, sebab boleh jadi wanita yang tidak disenangi itu akan disenangis laki-laki lain.





C.           Khitbah ( Meminang )
1.             Pengertian Khitbah ( meminang )
Kata peminangan berasal dari kata “khataba, yakhtubu, khitbatan” yang artinyaMeminang sinonimnya adalah melamar, Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat[23].
Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri melalui wali wanita itu. Sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu di terima atau tidak. Adakalanya lamaran itu hanya formalitas saja, sebab sebelumnya antara pria dan wanita sudah saling mengenal[24].
2.             Wanita yang boleh dipinang ( Khitbah )
Wanita boleh dipinang jika memenuhi dua syarat berikut[25] :
Pertama, pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
Kedua, belum dipinang oleh orang lain secara sah. Jika jika terdapat halangan-halangan hukum, seperti perempuannya karena sesuatu hal haram dinikahkan selamanya atau sementara waktu, atau telah dipinang terlebih dulu oleh orang lain, maka ia tidak boleh dipinang.




3.             Macam-macam khitbah
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut: 
a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah (sindiran). Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”kamu sangat layak untuk di nikahi, atau “orang yang mendapatkanmu pasti beruntung”, atau “saya sedang memcari perempuan yang cocok sepertimu”, dan semisalnya[26].
Kalangan ahli fiqih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya meminang perempuan yang sedang iddah secara sindiran. Pendapat yang benar adalah boleh. Jika perempuan yang sedang iddah karena kematian suaminya, maka ia boleh dipinang secara sindiran di masa iddahnya karena hubungan suami istri sudah terputus denga kematian suaminya, dan dengan demikian, hak suami terhadap istrinya pun hilang[27]. Sebagaimana firman Allah SWT :

Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$#öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ããÇy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4(#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr&çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym  
“ dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.(QS. Al Baqarah : 235)[28]
Yang dimaksud dengan “perempuan-perempuan” di ayat ini adalah perempuan yang sedang dalam masa iddah karena kematian suaminya, sebab yang dibicarakan ayat tersebuat adalah tentang kematian.

4.             Larangan menyendiri dengan tunangan
Haram menyendiri dengan tunangan karena ia bukan mahramnya sebab belum dinikahi.
Agama tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat saja, sedangkan perbuatan-perbuatan lain tetap haram. Karena, menyendiri dengan tunangan tidak akan selamat dari terperosok ke dalam perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, jika dalam pertemuan itu ditemani oleh salah satu mahramnya guna mencengah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka itu di bolehkan[29].

5.             Akibat pembatalan pinangan
Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Sering setelah itu diikuti dengan memberikan pembayaran maskawin seluruh atau sebagiannya dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian-pemberian guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu[30].
Namun, kadang-kadang pihak laki-laki atau pihak perempuan atau kedua-duanya kemuadain menbatalkan rencana pernikahannya. Apakah hal ini boleh? Apakah segala yang telah di berikan kepada perempuan pinangannya itu dikembalikan?.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak diminta kembali jika akad nikahnya tidak jadi karena mahar yang di berikan sebagai ganti dan imbalan pernikahan. Selama pernikahan itu belum terlaksana maka pihak perempuan belum mempunyai hak sedikitpun terhadapnya dan wajib dia kembalikan kepada pemiliknya. Adapun pemberian dan hadiah yang telah di berikan maka hukumnya sama dengan hibah. Secara hukum, hibah itu tidak boleh diminta kembali karena merupakan suatu pemberian sukarela dan tidak bersifat sebagai pengganti dari sesuatu.
Tetapi, jika pemberian itu diberikan sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterimanya dari pemberian hibah, tetapi kemudian tidak dipenuhi maka hibahnya boleh diminta kembali. Pemberi hibah di sini mempunyai hak meminta kembali karena hibah yang diberikan tadi adalah sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterima. Jadi, jika pernikahan ternyata di batalkan maka pihak peminang berhak meminta kembali barang barang yang telah dihibahkannya.[31]
Menurut ulama madzhab Hambafi setiap hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pinangannya berhak untuk diminta kembali selagi barangnya masih utuh, tidak berubah sesuatu pun. Misalnya, kalung atau cincin, gelang atau jam, dan sebagainya dapat dikembalikan kepada peminangnya kalau barangnya masih ada.jika barang-barangnya sudah tidak utuh lagi, misalnya hilang atau dijual atau diubah atau ditambah sedikit, atau jika merupakan bahan makanah sudah dimakan atau kalau bahan pakaian sudah dipotong menjadi baju, maka peminang tidak ada hak untuk meminta kembali barang yang sudah dihadiahkan atau meminta ganti yang lain[32].
Menurut ulama madzhab Maliki persoalan ini dibedakan dari segi pihak yang membatalkan pinangan itu, jika yang membatalkan adalah pihak laki-laki, maka dia tidak berhak meminta kembali barang-barang yang telah dihadiahkannya. Akan tetapi, jika pihak perempuan yang membatalkannya, ia berhak meminta kembali semua barang yang telah dihadiahkannya, baik barang itu masih utuh atau telah rusak. Jika rusak harus diganti.

Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’I, barang yang telah di hadiahkan harus dikembalikan, baik masih utuh maupun sudah rusak. Jika masih utuh cukuplah barang-barangnya semula itu dikembalikan, tetapi jika sudah rusak maka diganti sesuai harganya[33].

6.             Hikmah adanya Khitbah (meminang)
Khitbah sebagaimana pendahuluan pernikahan lainnya adalah sebuah cara bagi masing-masing pihak (suami-istri) untuk saling mengenal diantara keduanya. Karena khitbah tersebut merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat, dan kecenderungan masing-masing dari keduanya. Akan tentapi hal itu harus dilakukan sebatas yang di bolehkan secara syari’at dan itu sudah sangat cukup sekali. Jika sudah ditemukan rasa kecocokan dan keselarasanmaka sudah mungkin untuk dilangsungkannya pernikahan yang merupakan ikatan abadi dalam kehidupan. Dengan demikian kedua belah pihak akan dapat merasakan tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman, bahagia, cocok, tenang, dan penuh rasa cintayang semuanya itu merupakan tujuan yang sangat diraih oleh semua pemuda dan pemudi serta keluarga mereka[34].





BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
  Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita harus mengenal siapa lelaki yang berhasrat menikahinyaSaling kenal mengenal ini merupakan proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).
  Nazhar secara etimologi berasal dari kata kata nazhara (fi'il madhi) yang artinya penglihatan, pandangan, dan tatapan dengan mata. Secara terminologi pengertian nazhar adalah melihat calon istri yang ingin di pinang (khitbah) sesuai dengan batas-batas syar’i.
  Kata peminangan berasal dari kata “pinang/ meminang” (kata kerja). yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”. Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
  Khitbah terbagi 2 yaitu khitbah yang dilakukan Secara langsung dan khitbah yang dilakukan secara tidak langsung atau dalam istilah disebut kinayah (sindiran)






DAFTAR PUSTAKA

ü  Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Tirmidzi, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007) jil.1
ü  Al Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.25
ü  Al Asqalani, Ibnu Hajar, Sahih Sunan Nasa’i, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.2
ü  az Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Addillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011 ) jld.9
ü  Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008 )
ü  Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, ( Jakarta: Siraja, 2006 )
ü  Sabiq, Sayyid,  Fiqih Sunnah,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 )
ü  Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta: Rajawali  Press, 2010)
ü  http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/29/pernikahan-menurut-islam-dari-mengenal- calon-sampai- proses-akad-nikah/
ü  http://asysyariah.com/proses-syar’i-sebuah-pernikahan/




[1]. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta: Rajawali      Press, 2010hal. 21
[2].  Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 477
[3].  Q.S Al-Hujurat(49): 13
[4]  http://asysyariah.com/proses-syar’i-sebuah-pernikahan/
[5]. QS Al Ahzab(33): 35
[6]  http://asysyariah.com/proses-syar’i-sebuah-pernikahan/
[7]  http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/29/pernikahan-menurut-islam-dari-mengenal-calon-sampai- proses-akad-nikah/
[8]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.25 hal. 103
[9].  Ibnu Hajar Al Asqalani, Sahih Sunan Nasa’i, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.2 hal. 659
[10]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.25 hal. 67
[11]. Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007) jil.1 hal. 840
[12]Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 508
[13]Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.25 hal. 99
[14] . Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 509
[15]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008 ) hal. 75
[16]. Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007) jil.1 hal. 832
[17]  http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/29/pernikahan-menurut-islam-dari-mengenal- calon-sampai- proses-akad-nikah/
[18] . Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008 ) hal. 83
[19]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jil.25 hal.
[20] . Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah ,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 509
[21].  Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008 ) hal. 75
[22] . Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011 ) jil.9 hal. 34
[23]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta: Rajawali Press, 2010 hal. 24
[24]. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, ( Jakarta: Siraja, 2006 ) hal. 23
[25]. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah ,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 505
[26]Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011 ) jil.9 hal. 21
[27]. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah ,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 507-508
[28]   QS Al Baqarah(2): 235
[29]. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah,( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ) hal. 510
[30].  Ibid. hal 511
[31]. Ibid. hal. 512
[32]. Ibid. hal. 513
[33]Ibid. hal. 514
[34]. Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011 ) jld.9 hal. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar