Kamis, 04 Juni 2020

HUKUM ISLAM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 (Tinjauan Terhadap Perlindungan Terhadap Anak Dalam Islam)


Ridha Maulana
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala


BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang Masalah
            Status sah atau tidak sahnya seorang anak dalam sebuah ikatan perkawinan merupakan perihal yang sangat penting untuk ditetapkan karena mempengaruhi hak-hak keperdataan yang akan di dapatkan oleh si anak dari kedua orangtuanya. Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pihak yang melakukan perkawinan, selain itu ada keharusan untuk melakukan pencacatan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1] Adapun konsekuensi bagi anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah dia (anak tersebut) hanya akan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[2]
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu institusi kekuasaan kehakiman di Indonesia, pada Tanggal 27 Februari 2012 mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 terkait dengan status atau kedudukan hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan. Putusan ini lahir karena adanya permohonan yudisial  review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu alasan diajukan permohonan dalam putusan ini adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan pemohon dan Moerdiono (suaminya) mengalami diskriminasi dan tidak mendapatkan pengakuan hubungan keperdataan sebagai “anak” dari ayah dan keluarga ayahnya karena perkawinan kedua orangtunya tidak dicatatkan.[3] Dalam amar putusannya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[4]
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan tanggapan yang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, terutama berkaitan dengan pengesahan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya. Pihak yang mendukung (pro) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa putusan tersebut merupakan kemajuan dan prestasi pembangunan hukum dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat dan sebagai terobosan hukum yang pogresif dalam melindungi hak-hak konstitusional anak. Pendukung putusan Mahkamah Konstitusi ini memahami bahwa makna anak di luar kawin dalam putusan ini adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum negara, dalam arti anak yang lahir akibat perkawinan sirri. Sedangkan pihak yang menolak (kontra) dengan putusan ini menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sesuai dengan tujuan hukum Islam yakni, menjaga keturunan (hifdz an-nasl), karena mereka memahami bahwa makna anak di luar kawin yang dimaksudkan dalam putusan tersebut adalah anak yang lahir akibat hubungan tanpa ikatan perkawinan (pergaulan bebas/zina), sehingga putusan ini rentan dimanfaatkan untuk melegalkan perzinahan.[5]
Menanggapi perbedaan pandangan tentang anak di luar perkawinan dan problematika yang terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. Dalam Fatwa ini dinyatakan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.[6] Senada dengan Fatwa MUI tersebut, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga mengeluarkan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab Anak Yang Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina). Fatwa ini juga menyatakan bahwa Anak zina tidak mempunyai hak waris, nafkah dan wali nikah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.[7] Kedua fatwa tersebut (Fatwa MUI dan MPU Aceh) secara tidak langsung menyatakan bahwa ketentuan dalam Putusan hanya berlaku bagi anak di luar perkawinan akibat perkawinan sirri (perkawinan yang sah menurut Agama, namun tidak diregistrasikan (dicatatkan) di lembaga pencacatan nikah negara) dan tidak berlaku bagi anak akibat perbuatan zina.
Berdasarkan uraian singkat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di atas dan fenomena pro-kontra masyarakat dalam menanggapi putusan tersebut, termasuk di dalamnya fatwa MUI dan MPU Aceh, maka bagaimanakah sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jika dilhat dari prespektif (sudut pandang) perlindungan terhadap anak dalam Islam, apakah sudah sesuai dengan ketentuan perlindungan anak dalam Islam, atau masih jauh dari hal tersebut.

B.        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Bentuk Perlindungan Terhadap Anak dalam Islam ?
2.      Bagaimana ‘Illat dan Sejarah Munculnya Nasab Anak Kepada Ibunya?
3.      Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam Prespektif Perlindungan Anak dalam Islam ?

C.        Landasan Teori
1.      Perlindungan Terhadap Anak
Anak merupakan karunia dan amanah Allah SWT yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.[8] Anak merupakan potret masa depan bangsa di masa mendatang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam melakukan perlindungan anak diperlukan peran negara, orangtua, keluarga, dan masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, bahkan lembaga peradilan. Orangtua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaran perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.[9]
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dari segi fisik, mental, spritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksud untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial dan tangguh. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.[10]
Upaya perlindungan terhadap anak harus dilakukan sejak anak masih berupa janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.[11]hal ini bertitk tolak dari konsepsi Undang-Undang Perlindungan Anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak  1989 dan Undang-Undang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak harus dilakukan berdasarkan 4 (empat) prinsip atau asas, yakni:[12]
a.       Nondikriminasi, yaitu setiap anak punya hak untuk tidak dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan latar belakang, warna kulit, ras, suku, agama, golongan, keluarga, gender, kondisi fisik, serta mental, dan lain-lainnya.
b.      Kepentingan terbaik bagi anak, yaitu setiap anak berhak mendapatkan yang terbaik.
c.       Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, yaitu setiap anak berhak untuk hidup dan berkembang normal, oleh karenanya setiap anak berhak memperoleh jaminan pertolongan, perawatan kesehatan hak mendapatkan tumpangan dan makanan untuk keberlangsungan hidupnya, dan hak mendapakan pendidikan dan pengajaran yang baik.
d.      Penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu setiap anak berhak untuk dihargai pendapatnya dan diberi kesempatan untuk berdiskusi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beberapa hak-hak anak yang wajib dipenuhi yaitu setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi (Pasal 4), setiap anak berhak mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtuanya sendiri (Pasal 7 Ayat 1). Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertangung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan dikriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 Ayat 1).
Sejak dilahirkan anak berhak untuk mendapatkan kejelasan asal usul keturunannya atau nasabnya. Kejelasan nasab ini berguna untuk menentukan status anak agar mendapatkan hak-hak dari orangtuanya. Selain itu, secara psikologis anak akan merasa tenang jika nasabnya memiliki kejelasan sehingga dapat berinteraksi dan diterima di lingkungannya dengan perlakuan yang wajar.[13] Terkait dengan pentingnya kejelasan nasab pada anak, dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur
Artinya : “Panggilah mereka (anak-anak itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu . . . . (Q.S. Al-Ahzab: 5)





BAB II
PEMBAHASAN


A.                Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Islam
Dalam literatur hukum Islam (fiqh) klasik, tidak ditemukan satu istilah khusus untuk pengertian perlindungan anak. Beberapa hukum Islam (fiqh) klasik menggunakan istilah hadhanah dalam pengertian yang mendekati makna perlindungan anak. Secara bahasa (etimologis), hadhanah merupakan bentuk masdar, yang mengandung arti memelihara dan mendidik anak. Kata ini berasal dari dari kata al-hidhn, yang berarti al-janb (lambung atau rusuk), karena seorang ibu yang menjadi hadhinah (pelindung) mengumpulkan anak-anak di lambung (pangkuan)-nya.[14] Adapun menurut istilah hadhanah berarti memelihara anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhannya, menjaganya dari bahaya, memberi pendidikan, dan mengembangkan kemampuan intelektualnya agar mampu memikul tanggung jawab hidupnya.[15]
Jika dilihat dari hakikat perlindungan anak yang berarti pemenuhan hak-hak anak, maka hadhanah (dalam pengertian mengurus dan memelihara anak) merupakan salah satu bentuk perlindungan anak. Hal ini senada dengan pernyataan Wahbah al-Zuhaili bahwa hak-hak anak mencakup lima hal, yaitu (1) nasab (identitas diri), (2) radha’ (penyusuan), (3) hadhanah (pengasuhan dan pemeliharaan), (4) wilayah (perwalian), dan (5) nafaqah (pemberian nafkah). Dengan demikian, menurut al-Zuhaili, hadhanah merupakan bentuk perlindungan anak, selain pemberian indentitas, penyusuan, perwalian, dan pemberian nafkah. Bentuk perlindungan anak tersebut didasarkan pada fase perkembangan anak.[16]
Pada perkembangan selanjutnya, sebagian pakar hukum Islam kontemporer, mengemukakan istilah al-wilayah dengan arti yang semakna dengan pengertian perlindungan anak. Wahbah al-Zuhaili membagi wilayah (perwalian) kepada 2 (dua), yaitu wilayah ‘ala al-nafs, yang mengandung pengertian penanganan segala urusan yang berkaitan dengan diri (individu) orang yang tidak cakap (tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya), seperti pemeliharan, pendidikan, kesehatan, pernikahan dan lainnya. Kemudian wilayah ‘ala al-mal ialah penanganan segala urusan yang berkaitan dengan harta orang yang tidak cakap, berupa pengembangan dan pengelolaan hartanya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, dan sebagainya. Dengan demikian, istilah yang lebih tepat digunakan untuk mendefinisikan pengertian perlindungan anak sekarang ini dalam hukum Islam ialah al-wilayah, karena mencakup semua aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak, dari segi fisik, mental, maupun spritual, baik menyangkut diri pribadi maupun hartanya.[17]
Dari penjelasan tentang istilah perlidungan anak dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa hakikat perlindungan anak dalam Islam adalah pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya dari hal-hal yang membahayakan diri, jiwa, dan hartanya, yang mencakup aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial anak. Adapun beberapa hak-hak anak dalam Islam, yaitu:[18]
1.      Hak Hidup
       Islam sangat menjunjung tinggi hak hidup setiap manusia, bahkan janin yang masih dalam kandungan. Banyak ayat Al-Quran yang menegaskan larangan membunuh jiwa manusia. sebagai bentuk implikasi dari adanya hak hidup seseorang, termasuk janin yang masih berada dalam kandungan, Islam mengajarkan segala bentuk penjagaan, perlindungan, dan pemeliharan terhadap janin yang dalam aplikasinya dibebankan kepada kedua orang tua janin tersebut.
2.      Hak Mendapatkan Pengakuan Nasab
       Hak anak mendapatkan pengakuan dalam silsilah keturunan (nasab) merupakan hal terpenting dan memiliki faidah yang sangat besar bagi kehidupannya. Penisbatan anak kepada bapaknya akan menciptakan pengakuan yang pasti dalam masyarakat, dan lebih memperkuat dalam mewujudkan perasaan aman dan tenang pada jiwa anak itu sendiri. Penisbatan ini menunjukkan bahwa anak tersebut benar-benar keturunannya.
3.      Hak Mendapatkan Nama yang Baik
             Dalam Islam diperintahkan agar memberi nama yang baik bagi seorang anak, karena nama dalam pandangan Islam memiliki arti penting dan pengaruh yang besar bagi orang yang menyandangnya. Selain itu, nama akan selalu melekat dan berhubungan erat dengan dirinya, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia.
4.      Hak Memperoleh Pengasuhan dan Perawatan
       Mengasuh dan merawat anak adalah kewajiban orangtua dalam Islam, sebagaimana wajibnya orangtua memberi nafkah yang baik kepada anak-anaknya. Semua ini dilakukan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak itu sendiri.

5.      Hak Mendapatkan Nafkah (Biaya Hidup)
       Anak berhak untuk diberikan nafkah dan dibiayai segala kebutuhan pokok hidupnya oleh si bapak, sebagaimana hak isteri untuk memperoleh nafkah dari suaminya. Bahkan jika seorang suami (bapak) tidak memberikan nafkah untuk isteri dan anaknya, si isteri diperbolehkan untuk mengambil harta suami secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya.
6.      Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran
       Anak berhak memperoleh pengajaran dan pendidikan yang baik sesuai dengan perkembangan usia si anak dari kedua orangtuanya, terutama pada masalah pokok yang penting seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan hukum. Disamping itu pendidikan jasmani juga penting diberikan kepada anak, seperti berenang, memanah, dan menunggang kuda.

B.                ‘Illat Dan Sejarah Munculnya Fikih Nasab Anak Pada Ibunya
Para ulama sepakat bahwa anak zina hanya bernasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya, dan nasab anak tersebut kepada ayahnya terputus. Posisi anak zina disamakan dengan anak mula’anah atau anak li’an.[19] Adapun dasar hukum sekaligus latar belakang (sejarah) munculnya nasab anak (zina) pada ibunya adalah hadits yang berbunyi:
IMG_20200425_132116.jpg

  Artinya: “Dari Aisyah, ia berkata: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abd. bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah SAW, lalu Sa’ad berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saudara laki-lakiku Utbah bin Abi Waqqash telah menyatakan kepadaku bahwa sesungguhnya ia (putra dari hamba sahaya Zam’ah) adalah anak dari Abi Waqqash, perhatikan keserupaannya. Dan Abd. bin Zam’ah berkata: ini saudara laki-lakiku ya Rasulullah, ia dilahirkan di atas tidur ayahku. Kemudian Rasulullah SAW memperhatikan keserupaannya, lalu beliau melihat keserupaannya yang jelas dengan Utbah, kemudian beliau bersabda, “dia itu bagimu (saudaramu) wahai Abd. bin Zam’ah, (sebab) anak itu haknya (orang yang) setempat tidur dan bagi orang yang menzinai tidak ada hak apapun; “wahai Saudah binti Zam’ah, berhijablah dari dia”. Sa’ad berkata: maka anak itu sama sekali tidak pernah melihat Saudah (H.R. Jama’ah kecuali Tirmidzi).[20]

Dari hadits tersebut jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak memberi pengakuan (menasabkan) atas anak yang lahir dari hamba sahaya Zam’ah sebagai anak (putra) dari Abi Waqqash, walaupun ada keserupaan (kemiripan) anak tersebut dengan Utbah bin Abi Waqqash. Hal ini karena wanita tersebut merupakan hamba sahaya Zam’ah, maka Abi Waqqash disangkakan telah berzina dengan wanita tersebut, sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah SAW, “bagi orang yang menzinai tidak ada hak apapun”. Sebaliknya anak tersebut merupakan hak “firasy”, menurut sebagian Ulama bahwa  firasy itu nama wanita tersebut. Sedangkan dalam kamus al-Muhith, firasy diartikan sebagai isteri dan juga amah (hamba sahaya) yang dicampuri seseorang.[21] Oleh sebab itu, berdasarkan hadits ini, para Ulama sepakat bahwa anak yang lahir karena zina merupakan hak si wanita (ibu) yang melahirkannya dan hanya berhak dihubungkan nasabnya dengan ibunya tersebut.
‘Illat atau rasio logisnya adalah bahwa nasab anak dengan ibunya terjadi secara alamiah, dalam arti bahwa kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan nasab antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, tanpa memperhatikan bagaimana cara si ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum dari laki-laki yang menggaulinya. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayahnya  tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum, artinya oleh sebab telah berlangsung hubungan akad nikah (perkawinan) yang sah antara ibu dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.[22]

C.                Tinjauan Hukum Islam Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam Prespektif Perlindungan Anak

Dalam prespektif Hukum Islam tentang perlindungan anak, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dapat ditinjau dari dua sisi yang berbeda, tergantung pada pemahaman makna frasa “anak yang lahir di luar perkawinan”. Ketika anak yang lahir di luar perkawinan ditafsirkan sebagai anak yang lahir dari Perkawinan Sirri, maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah berhasil mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak dalam Islam, dengan menjamin hak mendapatkan pengakuan nasab dan hak-hak yang timbul akibat pengakuan nasab tersebut terpenuhi. Dasar dari penafsiran anak yang lahir di luar perkawinan sebagai anak yang lahir dari Perkawinan Sirri adalah status perkawinan Pemohon dan suaminya (perkawinan Sirri) dan salah satu kutipan poin pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, yang menyatakan “terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinan, anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih di persengketakan.”[23]
Kedua dasar tersebut menjelaskan bahwa, anak yang anak yang lahir di luar perkawinan yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi adalah anak yang lahir dari perkawinan yang kabsahannya masih dipersengketakan karena tidak menempuk prosedur/administrasi (pencacatan) perkawinan menurut hukum negara, yakni perkawinan Sirri. Jadi berdasarkan hal tersebut anak yang lahir di luar perkawinan dalam putusan ini bukanlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara sah menurut Islam (anak zina).
Namun, jika frasa “anak yang lahir di luar perkawinan” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 di tafsirkan/dimaknai sebagai anak yang lahir akibat perzinaan, maka Putusan ini telah menciderai prinsip dasar Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam Islam, yakni Hifdz an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) yang dikategorikan sebagai suatu maslahah yang bersifat dharuri artinya sesuatu yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia.[24] Para Ulama sepakat perzinaan tidak bisa menjadi penyebab timbulnya hubungan nasab seorang anak dengan ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki tersebut. Alasannya bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat, sedangkan perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapatkan balasan nikmat.[25]
Pengakuan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah bilogisnya pada prinsipnya bertujuan untuk menghadirkan kemaslahatan yaitu perlindungan terhadap hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan. Akan tetapi, jika dipaksakan dalam konteks anak yang lahir tanpa perkawinan (penzinaan), maka hanya akan melahirkan maslahah mauhumah (maslahah yang bersifat asumtif semata) karena akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar karena secara tidak langsung melegalkan praktek penzinaan dan bertentangan dengan dalil syara’. Maka menurut Imam al-Ghazali, maslahah yang tidak sejalah dengan dalil syara’ dan tujuan syari’at harus ditolak, karena maslahah ditujukan untuk mempertahankan Maqashid Syar’iyah[26]. Dalam konteks putusan MK tersebut yang harus didahulukan dan dipertahankan adalah prinsip Hifdz an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) untuk menghindari kemafsadatan. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺟﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺪﻡ  ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺩﺭﺀ
“Menghindari yang membawa kerusakan didahulukan dari sesuatu tindakan yang mendatangkan kemaslahatan”[27]

Terkait dengan pertanggungjawaban terhadap anak yang lahir tanpa ikatan perkawinan (penzinaan) dari ayah biologisnya, Majelis Ulama Indonesia menawarkan solusi yang lebih maslahah dibandingkan dengan menasabkan anak tersebut dengan ayah biologisnya. Solusi tersebut sebagai mana ketentuan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, yang menyatakan bahwa “pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk: (a) mencukupi kebutuhan anak tersebut (memberi nafkah); (b) memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.[28] Solusi ini lebih sesuai dengan Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam Islam.










BAB III
PENUTUP


A.        Kesimpulan
1.      Hakikat perlindungan anak dalam Islam adalah pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya dari hal-hal yang membahayakan diri, jiwa, dan hartanya, yang mencakup aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial anak. Adapun beberapa hak-hak anak dalam Islam, yaitu hak hidup, hak mendapatkan pengakuan nasab, hak mendapatkan nama yang baik, hak memperoleh pengasuhan dan perawatan, hak mendapatkan nafkah (biaya hidup), dan hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
2.      Para ulama sepakat bahwa anak zina hanya bernasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya, dan nasab anak tersebut kepada ayahnya terputus. Hal tersebut karena nasab anak dengan ibunya terjadi secara alamiah, dalam arti bahwa kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan nasab antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayahnya  tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum, artinya oleh sebab telah berlangsung hubungan akad nikah (perkawinan) yang sah antara ibu dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. Maka anak yang lahir akibat penzinaan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
3.      Dalam prespektif Hukum Islam tentang perlindungan anak, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dapat ditinjau dari dua sisi yang berbeda, tergantung pada pemahaman makna frasa “anak yang lahir di luar perkawinan”. Ketika anak yang lahir di luar perkawinan ditafsirkan sebagai anak yang lahir dari Perkawinan Sirri, maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah berhasil mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak dalam Islam, dengan menjamin hak mendapatkan pengakuan nasab dan hak-hak yang timbul akibat pengakuan nasab tersebut terpenuhi. Namun, jika di tafsirkan/dimaknai sebagai anak yang lahir akibat perzinaan, maka Putusan ini telah menciderai prinsip dasar Maqashid Syar’iyah (tujuan persyariatan hukum) dalam Islam, yakni Hifdz an-Nasl (menjaga kemurnian nasab) yang dikategorikan sebagai suatu maslahah yang bersifat dharuri artinya sesuatu yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia.




DAFTAR PUSTAKA

A.        Buku

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Pena Media, 2008.

Imam As-Syaukani, Nailul Authar (E-Book) (terj. Muhammad Hamidy), jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.

Imam Malik bin Anas, al-Muwatha’ (E-Book) (terj. Muhammad Iqbal Qadir), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Iman Jauhari, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Medan: Perdana Publishing, 2012.

Mardi Candra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia: Analisis tentang Perkawinan di Bawah Umur, Jakarta: Kencana, 2018.

Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: FHUI, 2004.

Yudha Pandu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008.

B.        Artikel dan Jurnal

Hani Sholihah, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Afkar, Vol.1/No.1/Januari 2018 (https://al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal/article/view/3)

Imam Mustofa, Dimensi Hak dan Hukum Islam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, Jurnal Millah, No.1/Vol.XII/Agustus 2012.

Muhammad Zaki, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Islam, Jurnal Asas, Vol.6/No.2/Juli 2014.  (http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1715)

Sabilal Rosyad, Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010), Jurnal Hukum Islam, Vol.15/No.1/Juni 2017.

Siti Musawwamah, Pro-Kontra Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak Luar Kawin Dengan Ayat Biologis, Jurnal Nuansa, Vol.10/No.1/Januari 2013.
C.        Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

D.        Salinan Dokumen

Salinan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab Anak Yang Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina).

Salinan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya.

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010.


[1] Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: FHUI, 2004, hlm. 47.
[2] Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3] Imam Mustofa, Dimensi Hak dan Hukum Islam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, Jurnal Millah, No.1/Vol.XII/Agustus 2012, hlm. 166. Diakses pada Tanggal 14 April 2020 dari https://Journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5106/0. 
[4] Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, hlm. 37.
[5] Siti Musawwamah, Pro-Kontra Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak Luar Kawin Dengan Ayat Biologis, Jurnal Nuasa, Vol.10/No.1/Januari 2013, hlm. 192. Diakses Pada Tanggal 14 April 2020 dari http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/nuansa/article/view/167
[6] Salinan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, diakses pada Tanggal 15 April melalui www.mui.or.id
[7] Salinan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab Anak Yang Lahir Di Luar Nikah (Anak Zina), diakses pada Tanggal 15 April melalui https://mpu.acehprov.go.id
[8] Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Pena Media, 2008, hlm. 1.
[9] Mardi Candra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia: Analisis tentang Perkawinan di Bawah Umur, Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 1-2.
[10] Ibid., hlm. 2-3
[11] Yudha Pandu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008, hlm. 208.
[12] Mardi Candra, Op.Cit., hlm 92.
[13] Muhammad Zaki, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Islam, Jurnal Asas, Vol.6/No.2/Juli 2014, hlm. 6. Diakses dari http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1715, pada Tanggal 20 April 2020.
[14] Hani Sholihah, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Afkar, Vol.1/No.1/Januari 2018, hlm. 39-40, diakses dari https://al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal/article/view/3 pada Tanggal 21 April 2020.
[15] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hlm. 229.
[16] Hani Sholihah, Op.Cit., 40-41
[17] Ibid., hlm. 41-42
[18] Ibid., hlm. 42-52.
[19] Imam Malik bin Anas, al-Muwatha’ (E-Book) (terj. Muhammad Iqbal Qadir), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, hlm. 241.
[20] Imam As-Syaukani, Nailul Authar (E-Book) (terj. Muhammad Hamidy), jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, hlm. 2399.
[21] Ibid., hlm. 2400-2401
[22] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,  hlm. 148-149.
[23] Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, hlm. 35.
[24] Sabilal Rosyad, Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010), Jurnal Hukum Islam, Vol.15/No.1/Juni 2017, hlm. 161, di akses pada Tanggal 24 April 2020 dari http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/978.
[25] Ibid., hlm. 164.
[26] Ibid., hlm. 165.
[27] Iman Jauhari, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Medan: Perdana Publishing, 2012, hlm. 5.
[28] Salinan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, hlm. 10, diakses pada Tanggal 24 April melalui www.mui.or.id